Oleh: Sayid Ja’far Murtadha Amili
Khumus
Saya telah menjanjikan kepada pembaca yang mulia untuk menyampaikan beberapa penjelasan mengenai penetapan hukum Khumus pada masa Rasulullah saw. Karena cendekiawan peneliti, Syekh Ali Ahmadi, semoga Allah senantiasa mendukungnya, telah membahas topik ini, maka kami akan mengambil manfaat semaksimal mungkin dari apa yang telah beliau sampaikan, disertai dengan tambahan dan suplemen dari berbagai teks, sumber, dan referensi yang kami anggap relevan dengan konteks ini. Kami katakana: Allah Ta’ala berfirman, “Dan ketahuilah, sesungguhnya apa pun yang kalian peroleh sebagai ganimah (harta rampasan/perolehan) dari sesuatu, maka sesungguhnya seperlimanya itu adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul (Dzawil Qurba), anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil…”(1)
Makna Ganimah
Para ulama dari sebagian kelompok muslim berpendapat bahwa ganimah adalah harta yang diambil dari orang-orang kafir di medan perang dan pertempuran.
Sedangkan Syiah, mengikuti para Imam mereka as, berpendapat: bahwa ganimah—sebagaimana ditafsirkan oleh para ahli bahasa—adalah harta mutlak yang diperoleh tanpa imbalan/ganti rugi.
Para ahli bahasa berkata: Al-ghanam adalah perolehan sesuatu tanpa kesulitan. Ghanima al-syay’ (memperoleh sesuatu), artinya dia berhasil mendapatkannya. Al-ightinam (memanfaatkan) adalah mengambil kesempatan. Ghanima al-syay’ ghanman: dia berhasil mendapatkannya tanpa kesulitan, dan memperolehnya tanpa imbalan/ganti rugi.
Menurut Raghib: Al-ghanam adalah mendapatkan sesuatu dan berhasil menguasainya; kemudian digunakan untuk setiap hal yang berhasil dikuasai.(2) Inilah yang disebutkan oleh para ahli bahasa dalam konteks ini.
Jika kita merujuk pada penggunaan kata “ghanim” dalam hadis-hadis dan khotbah-khotbah, kita akan menemukan bahwa kata itu digunakan untuk setiap perolehan sesuatu secara mutlak. Cukup sebagai bukti ucapan Ali as, “Siapa yang mengambilnya, dia akan mendapatkan dan ghanim.”(3) dan “Dia melihat perolehan (al-ghunm) sebagai kerugian (maghram) dan kerugian (al-ghurm) sebagai perolehan (maghnam)”(4) dan “Manfaatkanlah (ightanim) orang yang memberimu utang”(5) dan “Ketaatan adalah perolehan (ganimah) orang-orang yang cerdas.”(6)
Dalam hadis, “Gadai itu bagi yang menggadaikannya, baginya perolehannya (ghunmuhu) dan atasnya kerugiannya (ghurmuhu)”(7) dan “Puasa di musim dingin adalah perolehan (al-ghanimah) yang dingin.”(8)
Allah Ta’ala berfirman, “…maka di sisi Allah terdapat perolehan (maghanim) yang banyak…”(9)
Dan dalam doa ketika Nabi saw memberikan zakat, “Ya Allah! Jadikanlah ia perolehan (maghnaman) dan jangan jadikan ia kerugian (maghraman)”(10) dan “Perolehan (ghanimah) majelis zikir adalah surga.”(11) Dan dalam menjelaskan puasa, “Ia adalah perolehan (ghunm) seorang mukmin.”(12)
Dan banyak lagi yang tak terhitung dan tak dapat dilacak.
Karena itu, al-ghunm dalam bahasa adalah perolehan sesuatu secara mutlak.
Adapun batasan “tanpa kesulitan” yang ditambahkan oleh sebagian orang, itu bertentangan dengan konteks penggunaan sebelumnya dan yang lainnya. Memaksakan makna majas (kiasan) pada semua kasus tersebut akan mengakibatkan sebagian besar penggunaan kata ini berada dalam konteks majas.
Bahkan, Ayat Khumus itu sendiri dalam Alquran mulia secara umum merujuk pada segala sesuatu yang diperoleh (yughnam), termasuk apa yang diperoleh dalam perang setelah kesulitan.
Adapun apa yang disebutkan oleh sebagian orang(13) bahwa kata ini pada mulanya merujuk pada ganimah secara mutlak, kemudian dikhususkan untuk ganimah perang, ini juga tidak benar; karena kita mendapati bahwa penggunaan kata ini dalam hadis mulia tidak terbatas pada itu, bahkan lebih banyak merujuk pada selain itu, dan lebih menunjukkan hal tersebut. Dan jika ada keraguan, maka harus dikembalikan kepada makna linguistiknya.
Dengan demikian, ayat yang mulia ini menunjukkan kewajiban Khumus pada setiap hal mutlak yang diperoleh dan didapatkan oleh manusia, meskipun bukan dari medan perang dengan orang-orang kafir. Qurthubi mengakui bahwa bahasa tidak mengharuskan pengkhususan ayat pada ganimah perang. Namun, dia mengatakan bahwa para ulama telah bersepakat mengenai pengkhususan ini.(14)
Makna ucapannya adalah bahwa mereka telah bersepakat atas penyimpangan dari makna lahiriah ayat, dan dari apa yang segera terlintas di pikiran.
Khumus dalam Kitab-kitab dan Surat-surat Nabi saw
Kitab-kitab dan surat-surat Nabi saw kepada kabilah-kabilah juga menegaskan dan mendukung bahwa Khumus, sebagaimana wajib pada ganimah perang, juga wajib pada selain itu, dan bahwa yang dimaksud dengan ganimah adalah makna yang umum/luas. Perhatikan hal-hal berikut:
- Wasiat Nabi saw kepada Bani Abdul Qais, yang berkata kepadanya saw, “Kami tidak dapat mendatangimu kecuali pada bulan-bulan haram, dan antara kami dan engkau terdapat kabilah kafir dari Mudhar ini, maka perintahkanlah kami dengan perintah yang jelas, yang akan kami sampaikan kepada orang-orang di belakang kami dan dengannya kami dapat masuk surga,” dan mereka bertanya tentang minuman.
Maka beliau saw memerintahkan mereka empat hal dan melarang mereka empat hal. Beliau memerintahkan mereka untuk beriman kepada Allah semata.
Beliau bersabda, “Tahukah kalian apa itu beriman kepada Allah semata?”
Mereka menjawab, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.”
Beliau bersabda, “Bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan salat, menunaikan zakat, puasa Ramadan, dan memberikan seperlima dari al-maghnam (perolehan), dan melarang mereka (dan seterusnya).”(15)
Jelas, Bani Abdul Qais adalah kabilah yang lemah yang tidak berani keluar dari negeri mereka kecuali pada bulan haram; mereka tidak mampu berperang atau bertempur.
Hal ini juga didukung oleh fakta bahwa al-maghnam (perolehan) berada di bawah wewenang pemimpin dan amir, dan dialah yang bertanggung jawab untuk mengambil seperlima (khumus) darinya, mengirimkannya, dan membagikan sisanya kepada individu. Hal ini tidak berkaitan langsung dengan individu itu sendiri. Jelas dari perkataan Nabi saw sebelumnya bahwa beliau saw telah memerintahkan mereka dengan perintah-perintah yang khusus berkaitan dengan individu dan merupakan kewajiban yang harus mereka lakukan secara terus-menerus atau sering, seperti iman, salat, dan zakat. Demikian pula khumus, dia juga setara dengan hal-hal tersebut dan tidak berbeda dengannya.
- Nabi saw juga menulis surat panjang kepada Amr bin Hazm ketika mengutusnya ke Yaman, yang di dalamnya terdapat, “Dan memerintahkannya untuk mengambil khumus Allah dari al-maghanim (perolehan).”(16) Pembahasan mengenai bagian ini tidak berbeda dengan pembahasan sebelumnya.
- Nabi saw menulis surat kepada Bani Abdul Kalal di Yaman, bersama Amr bin Hazm, berterima kasih kepada mereka atas kepatuhan mereka terhadap perintah yang telah beliau sampaikan sebelumnya melalui Amr bin Hazm sendiri, dan beliau bersabda, “Utusan kalian telah kembali, dan kalian telah memberikan seperlima dari al-ghanaim (perolehan) milik Allah Azza wa Jalla.”(17)
Jelas, kita tidak menemukan dalam sejarah bahwa setelah mereka masuk Islam, terjadi peperangan antara mereka dengan pihak lain, dan mereka memperoleh ghana’im dari peperangan tersebut, kemudian mereka membayar khumus, dan mengirimkannya bersama Amr bin Hazm.
- Nabi saw menulis surat kepada dua kabilah Sa’ad Hudzaim dari Qudha’ah dan Judzam, “Dan memerintahkan mereka: untuk menyerahkan sedekah dan khumus kepada kedua utusan beliau: Ubay dan Anbasah, atau kepada orang yang mereka berdua utus.”(18)
Padahal kabilah ini baru saja masuk Islam dan belum mengalami perang, sehingga tidak mungkin yang dimaksud adalah khumus dari ganimah-ganimah (maghanim) perang.
- Nabi saw telah mewajibkan khumus dalam enam belas surat lain, bahkan lebih, yang beliau kirimkan kepada kabilah-kabilah dan para pemimpin mereka, yaitu kabilah Buka’, kabilah Bani Zuhair, Hadsa, Lakhmi, Bani Jadis, kepada Asbadziyyin, Bani Muawiyah, Bani Hurqah, Bani Qil, Bani Qais, Bani Jarmiz, kepada Ajnadah dan kaumnya, Qais dan kaumnya, kepada Malik bin Ahmar, kepada Syaifi bin Amir syekh Bani Tsa’labah, Faji’ dan pengikutnya, Nahsyal bin Malik pemimpin Bani Amir, kepada Juhainah bin Zaid, dan juga disebutkan dalam surat kepada Yaman, kepada Raja-raja Himyar, dan kepada Raja-raja Oman.(19)
Tinjauan terhadap Surat-surat Tersebut
Mungkin ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata, “maghnam”, “ghanaim”, dan “maghanim” yang disebutkan dalam surat-surat tersebut adalah khusus ghanaim perang. Namun, hal ini tidak benar; karena alasan-alasan berikut:
- Pengumuman perang, kepemimpinan, dan pengaturannya pada saat itu adalah urusan Rasulullah saw atau orang yang beliau tunjuk. Kemudian, urusan tersebut beralih kepada para khalifah yang memegang tampuk kekuasaan setelah beliau, atau orang yang mereka tunjuk. Tidak ada kabilah mana pun yang dapat mengambil keputusan perang sendiri; dan sejarah tidak menceritakan adanya aktivitas perang independen oleh mereka. Sekalipun ada, yang pantas adalah Nabi saw menulis surat kepada para amir dan panglima mereka, yang bertugas mengeluarkan khumus ganimah dan mengirimkannya kepada beliau, kemudian membagikan sisanya kepada yang berhak.
- Kabilah-kabilah tersebut hidup di Hijaz, Syam, Bahrain, dan Oman, dan kebanyakan dari mereka adalah kabilah-kabilah kecil yang tidak memiliki kekuatan untuk memerangi siapa pun, sehingga tidak mungkin diminta untuk memberikan khumus dari ganimah perang mereka.
- Jika yang dimaksud adalah khumus ganimah perang, itu berarti mengizinkan siapa pun untuk melancarkan perang terhadap musuh, kapan pun dan di mana pun dia mau. Hal ini akan menimbulkan kekacauan dan menyebabkan masalah besar dan serius bagi negara Islam. Legislasi semacam ini tidak akan dikeluarkan oleh orang yang berakal, bijaksana, dan teratur. Selain itu, kita tidak menemukan dalam sejarah adanya kekacauan yang timbul dari pelaksanaan legislasi semacam ini.
- Telah disebutkan sebelumnya: bahwa surat-surat ini membahas sejumlah hukum yang berkaitan dengan individu, seperti iman kepada Allah dan Nabi, menunaikan zakat, dan khumus. Hal ini membuat kita hampir yakin bahwa khumus tidak berbeda esensinya dengan hukum-hukum tersebut; dan ia adalah kewajiban yang umum bagi individu; bukanlah hukum yang jarang terjadi, yang tidak berkaitan dengan mereka secara aktual, dan yang mungkin tidak akan mereka temui selama puluhan, bahkan mungkin ratusan tahun.
Khumus dalam Pemberian (Suyub)
Nabi saw juga menulis surat kepada Wa’il bin Hujr, yang di dalamnya terdapat, “Dalam al-suyub ada khumus.”(20)
Zaila’i berkata, “Al-sib adalah pemberian, dan suyub adalah rikaz (harta karun.”(21)
Anda akan menemukan penafsiran al-suyub sebagai “pemberian” di berbagai kitab bahasa.
Kita berhak bertanya: Mengapa mereka mengkhususkan suyub pada rikaz, padahal rikaz hanyalah salah satu bentuk sib, dan sib itu umum dan mutlak? Apakah ini hanya ijtihad dalam bahasa, dan pengubahan serta pemalsuan yang batil? Hal ini dilakukan agar mereka dapat menghindari pewajiban khumus pada semua perolehan (maghanim) secara mutlak!
Mereka juga mengkhususkannya pada harta yang terpendam di zaman Jahiliyah. Kami juga tidak tahu rahasia di balik pengkhususan ini, karena lafal suyub sama sekali tidak khusus untuk hal itu. Selain itu, ia juga telah digunakan pada zaman Jahiliyah, dan tidak masuk akal jika orang-orang Jahiliyah menganggapnya sebagai harta yang terpendam di zaman Jahiliyah!
Yang tampak adalah mereka ingin membuat kita keliru bahwa dengan demikian harta itu menjadi ganimah dari orang-orang kafir, yang wajib diperangi, agar sesuai dengan mazhab mereka tentang khumus.
Kami katakan: Kitab-kitab bahasa secara tegas menyatakan bahwa al-sib adalah yang diabaikan, dan al-sa’ibah adalah hewan yang tidak memiliki pemilik dan pengawas. Unta dibiarkan (tusayyab) di zaman Jahiliyah, artinya diabaikan.
Dalam hadis, “Setiap yang dimerdekakan adalah sa’ibah.”
Hal ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan al-suyub adalah setiap yang ditinggalkan dan diabaikan, yang tidak digunakan oleh manusia, sehingga wajib khumus di dalamnya.
Ada bukti lain juga bahwa Nabi saw menulis kepada beberapa kabilah Arab, “Sesungguhnya bagi kalian perut bumi dan dataran rendahnya, dan lereng lembah serta permukaannya, asalkan kalian menggembala tumbuhannya, dan meminum airnya, dengan syarat kalian menunaikan khumus.”(22)
Konteks pembicaraan sangat jelas menunjukkan bahwa yang dimaksud bukanlah khumus ganimah perang, karena tidak ada korelasi antara penetapan perut bumi, dataran rendah, lereng lembah, dan permukaannya bagi mereka, dengan menggembala tumbuhannya dan meminum airnya, selain bahwa itu adalah khumus dari apa yang mereka peroleh dari hal-hal yang ditetapkan bagi mereka itu.
Hal ini diperkuat dan ditegaskan bahwa setelah khumus, di sini juga disebutkan zakat kambing, dan bahwa jika mereka bercocok tanam, mereka akan dibebaskan dari zakat kambing. Tampaknya hal ini adalah dorongan bagi mereka untuk bercocok tanam.
Khumus dalam Barang Tambang (Ma’din) dan Harta Karun (Rikaz)
Kemudian, telah menjadi ketetapan di kalangan mereka bahwa dalam rikaz ada khumus, demikian pula pada barang tambang (ma’adin).(23)
Asthakhri menyebutkan bahwa mereka mengambil khumus dari barang tambang.(24)
Selain Malik dan penduduk Madinah, menganggap barang tambang sebagai rikaz yang wajib khumus di dalamnya, dan mereka menganggapnya seperti ganimah.(25)
Abu Ubaid berkata: Ia lebih mirip dengan rikaz.(26)
Umar bin Abdul Aziz menulis kepada Urwah, menanyakan pendapat orang-orang terdahulu tentang khumus, lalu Urwah menjawab bahwa anbar (batu ambar) setara dengan ganimah, wajib diambil khumus darinya.(27)
Syaibani berkata: Rikaz dan barang tambang wajib khumus di dalamnya, dan keduanya termasuk perolehan (al-maghnam).(28)
Ali as telah mewajibkan khumus pada rikaz di Yaman, sebagaimana akan kita lihat.
Dari Jabir, “Apa pun yang ditemukan dari ganimah maka di dalamnya ada khumus,” dan ini mendekati apa yang diriwayatkan dari Ibnu Juraij.(29)
Akhirnya, disebutkan bahwa siapa pun yang mengambil sesuatu dari tanah musuh, lalu menjualnya dengan emas, perak, atau lainnya, maka wajib dikhumuskan.(30)
Semua yang disebutkan di atas bukanlah ganimah perang, sebagaimana diketahui, namun telah ditetapkan kewajiban khumus padanya. Lalu apa artinya mengkhususkan ayat tersebut pada ganimah perang!
Cukuplah apa yang telah kami sebutkan di sini, karena di dalamnya terdapat kepuasan dan kecukupan bagi siapa pun yang menginginkan petunjuk dan bimbingan.
Catatan Menarik (Latifah)
Menarik untuk disebutkan di sini bahwa Abu Bakar berwasiat seperlima hartanya, dan berkata, “Aku berwasiat dengan apa yang diridai Allah untuk Diri-Nya,” kemudian dia membaca, “Dan ketahuilah! Sesungguhnya apa pun yang kalian peroleh sebagai ganimah dari sesuatu, maka sesungguhnya seperlimanya itu adalah milik Allah.”(31)
Para Pemungut Khumus (Jubat al-Khums)
Tampaknya Nabi saw memiliki petugas pemungut Khumus, sebagaimana beliau memiliki petugas pemungut zakat (shadaqat). Beliau telah mengutus Amr bin Hazm ke Yaman, dan Amr datang membawa khumus dari Bani Abdul Kalal di Yaman, dan beliau mengutus surat kepada mereka untuk berterima kasih atas hal itu.
Beliau mengutus Ali as untuk mengambil khumus dari ganimah-ganimah (ghana’im) perang dari Khalid bin Walid.(32)
Bahkan Ibnul Qayyim mengatakan bahwa beliau saw, “Menugaskan Ali bin Abi Thalib atas khumus-khumus (al-akhmas) di Yaman, dan juga sebagai hakim di sana.”(33)
Perlu diketahui bahwa penduduk Yaman masuk Islam secara sukarela, dan tidak ada perang antara mereka dengan pihak lain.
Ali as telah mewajibkan khumus pada rikaz (harta karun) di Yaman.(34)
Mahmiyah bin Juz’, seorang laki-laki dari Bani Zubaid, ditunjuk oleh Rasulullah saw sebagai penanggung jawab khumus (al-akhmas).(35)
Pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah beliau mengutus Ali as untuk mengurus zakat (shadaqat) ke Yaman, dibantah oleh fakta bahwa beliau saw tidak pernah menugaskan Bani Hasyim untuk mengurus zakat. Kisah Abdul Muththalib bin Rabi’ah dan Fadhl bin Abbas sudah terkenal.(36)
Bahkan beliau melarang hamba sahaya (mawali) beliau untuk mengurusnya. Beliau melarang Abu Rafi’ dari hal itu, dan bersabda kepadanya, “Hamba sahaya suatu kaum adalah dari diri mereka sendiri, dan zakat itu tidak halal bagi kita.”(37)
Tempat-tempat Khumus dalam Alquran dan Sunah
Ayat Khumus dalam Alquran yang mulia secara tegas menyatakan bahwa khumus adalah untuk Allah, rasul-Nya, kerabat dekatnya (dzawil qurbah), anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil. Rasulullah saw memberikan khumus kepada kerabat dekatnya hingga beliau wafat.(38)
Adapun anak yatim dan orang miskin, dalam riwayat: diriwayatkan dari Ali bin Husain as bahwa ditanyakan kepadanya, “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, ‘…dan anak-anak yatim dan orang-orang miskin…’?”(39) Beliau menjawab, “Anak yatim dan orang miskin kami (dari Bani Hasyim).”(40)
Dalam riwayat para Imam Ahlulbait as bahwa bagian Allah, rasul-Nya, dan bagian Dzawil Qurba adalah untuk Imam as, sedangkan bagian anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil(41) adalah untuk Bani Hasyim dari mereka (yang miskin).
Bani Hasyim adalah Bani Abdul Muththalib.(42) Baik laki-laki maupun perempuan dari mereka berhak atas khumus; setengah dari khumus dibagi kepada tiga kelompok (anak yatim, orang miskin, ibnu sabil) jika mereka miskin, karena kekerabatan mereka dengan Rasulullah, dan karena kebutuhan mereka akan hal itu untuk nafkah mereka.
Cukup dinisbatkan kepada Abdul Muththalib melalui pihak ayah, dan tidak cukup hanya melalui pihak ibu.
Dari Sumber Selain Ahlulbait as Kami Sebutkan
Ada sebuah riwayat yang terdapat dalam kitab-kitab Shahih, yang menjelaskan tempat khumus di masa Rasulullah saw, yaitu:
Dari Jubair bin Muth’im, yang berkata, “Ketika terjadi Perang Khaibar—dan dalam riwayat lain: Hunain—Rasulullah saw menetapkan bagian Dzawil Qurba pada Bani Hasyim dan Bani Muththalib, dan meninggalkan Bani Naufal dan Bani Abdi Syams. Maka aku dan Usman bin Affan pergi menemui Nabi saw dan kami berkata, ‘Wahai Rasulullah! Mereka ini Bani Hasyim. Kami tidak mengingkari keutamaan mereka; karena kedudukan yang Allah berikan kepadamu dari mereka, tetapi mengapa saudara-saudara kami Bani Muththalib engkau beri, sedangkan kami engkau tinggalkan, padahal kekerabatan kami sama?” Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya kami dan Bani Muththalib tidak berpisah”—dan dalam riwayat Nasa’i, “Sesungguhnya Bani Muththalib tidak pernah berpisah denganku”—”baik di masa Jahiliyah maupun Islam, dan sesungguhnya kami dan mereka adalah satu kesatuan,” sambil beliau menyilangkan jari-jarinya.(43)
Setelah apa yang telah disampaikan, kami akan merangkum di sini apa yang disebutkan oleh beberapa peneliti,(44) dengan beberapa penyesuaian dan tambahan, maka kami katakan:
Khumus pada Masa Abu Bakar
Jika kita perhatikan sifat zaman di mana Abu Bakar hidup, kita dapati bahwa politik saat itu mengarah pada pengiriman pasukan untuk menundukkan kelompok-kelompok yang menentang pemerintahan baru, yang tidak menerima baiat Abu Bakar. Maka, Khumus dan bagian Dzawil Qurba pada saat itu ditetapkan untuk kuda dan senjata (al-kura’ wa al-shilah).
Para penulis menyebutkan: bahwa para sahabat setelah wafatnya beliau saw berselisih; sebagian kelompok berkata, “Bagian Rasul adalah untuk khalifah setelahnya.” Sebagian kelompok berkata, “Bagian Dzawil Qurba adalah untuk kerabat Rasul.” Dan yang lain berkata, “Bagian Dzawil Qurba adalah untuk kerabat khalifah. Lalu mereka sepakat untuk menjadikan dua bagian ini untuk kuda dan senjata.”
Dalam Sunan Nasa’i dan al-Amwal karya Abu Ubaid, “Maka keduanya (dua bagian Khumus itu) berlaku demikian selama kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.”
Dalam sebuah riwayat, “Ketika Allah mewafatkan rasul-Nya, Abu Bakar mengembalikan bagian kerabat (Nabi saw) kepada kaum muslim dan menjadikannya untuk Sabilillah.”
Riwayat lain yang serupa menambahkan Umar kepada Abu Bakar. Dan riwayat-riwayat lain selain itu.(45)
Hal ini diperjelas oleh riwayat dari Jubair bin Muth’im, “Bahwa Rasulullah saw tidak membagi sesuatu pun dari Khumus untuk Bani Abdi Syams dan Bani Naufal, sebagaimana beliau membagikannya untuk Bani Hasyim dan Bani Muththalib. Dan bahwa Abu Bakar membagi Khumus serupa dengan pembagian Rasulullah saw, hanya saja dia tidak memberikan kepada kerabat Rasulullah saw sebagaimana Rasulullah saw memberikannya kepada mereka,”(46) dan seterusnya.
Khumus pada Masa Umar
Pada masa Umar, penaklukan (futuhat) meluas, sehingga kekayaan bertambah, dan mereka membagikan khumus kepada kaum muslim. Umar ingin memberikan sebagian dari khumus kepada Bani Hasyim, tetapi mereka menolak mengambil kecuali seluruh bagian mereka; maka Umar menolak hal itu dan melarang mereka darinya.
Ini datang dalam jawaban Ibnu Abbas kepada Najdah Haruri ketika dia bertanya tentang bagian Dzawil Qurba untuk siapa?
Ibnu Abbas berkata, “Itu adalah hak kami, Ahlulbait. Umar pernah mengundang kami untuk menikahkan janda kami dengannya, melayani orang-orang yang bergantung pada kami dengannya, dan membayar utang orang yang terlilit utang dari kami dengannya. Tetapi kami menolak kecuali dia menyerahkan seluruhnya kepada kami. Dia menolak, maka kami meninggalkannya (khumus itu) padanya.”
Hal serupa diriwayatkan juga dari Ali, bahwa Umar menawarkan sebagian kepada mereka, dan berkata, “Pengetahuannya belum sampai bahwa jika harta itu banyak maka semuanya menjadi milik mereka, tetapi mereka menolak kecuali keseluruhan bagian.”(47)
Khumus pada Masa Usman
Usman memberikan Khumus dari penaklukan Afrika sekali kepada Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah,(48) dan pada serangan kedua ia memberikannya kepada Marwan bin Hakam. Mengenai hal ini, Aslam bin Aus Sa’idi, yang dilarang menguburkan Usman di Baqi’, berkata,
Dan Khumus hamba sahaya diberikan kepada Marwan
Secara zalim kepada mereka, dan dia melindungi tanah terlarang.(49)
Orang-orang Mencela Usman karena Dua Hal
- Meskipun dua khalifah sebelumnya telah mengambilnya dari yang berhak, mereka menempatkan harta itu untuk pengeluaran umum, sedangkan Usman mengkhususkannya untuk kerabatnya.
- Perilaku orang-orang yang dia beri hadiah besar dari harta yang tidak berhak mereka terima itu sangat buruk, dan mereka dikenal karena penyimpangan dan ketidakjujuran.
Praktik Ali as dalam Khumus
Abu Ja’far al-Baqir as ditanya tentang Ali as, “Apa yang dia lakukan dengan bagian Dzawil Qurba ketika dia memerintah manusia?” Beliau menjawab, “Dia mengikuti jalan Abu Bakar dan Umar.” Saya bertanya, “Bagaimana bisa, padahal kalian mengatakan apa yang kalian katakan (tentang khumus)?” Beliau menjawab, “Keluarganya (Ahlulbait) tidak bertindak kecuali berdasarkan pendapatnya (Ali).” Saya bertanya, “Apa yang menghalanginya?” Beliau menjawab, “Demi Allah! Beliau khawatir dituduh melanggar (pendapat) Abu Bakar dan Umar.”(50)
Dalam Sunan Baihaqi disebutkan bahwa Hasan, Husain, Ibnu Abbas, dan Abdullah bin Ja’far ra meminta bagian khumus mereka kepada Ali ra, maka Ali berkata, “Itu adalah hak kalian, tetapi aku sedang memerangi Muawiyah. Jika kalian mau, tinggalkanlah hak kalian darinya.”(51)
Maka, Ali as tidak mengubah apa pun yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar dalam hal khumus, karena hal itu dapat memicu perlawanan orang banyak terhadapnya, dan mereka akan menuduhnya melanggar (pendapat) Abu Bakar dan Umar.
Dan jika beliau ingin memerangi Muawiyah, maka hal yang lebih penting ini menuntut agar hal yang penting lainnya ditunda hingga waktu di mana tindakan tersebut tidak menimbulkan komplikasi yang berbahaya.
Khumus pada Masa Muawiyah
Bani Hasyim telah diharamkan dari Khumus sejak zaman Muawiyah, yang mulai memilih untuk dirinya sendiri emas dan perak, dan tidak membagikan emas maupun perak tersebut kepada kaum muslim.
Diriwayatkan dari Ali bin Abdullah bin Abbas dan Abu Ja’far Muhammad bin Ali as, keduanya berkata, “Khumus tidak pernah dibagikan kepada kami sejak zaman Muawiyah hingga hari ini.”(52)
Ketika Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk memberikan sebagian khumus kepada Bani Hasyim, sekelompok dari mereka berkumpul dan menulis surat kepadanya, berterima kasih kepadanya atas silaturahimnya, dan di dalamnya disebutkan, “Sesungguhnya mereka (Bani Hasyim) senantiasa dijauhi sejak masa Muawiyah.”(53)
Demikian pula, Ziyad menulis kepada gubernurnya di Khurasan, Hakam bin Amr Ghifari, mengenai ghana’im (harta rampasan) yang banyak yang mereka peroleh, “Amma ba’d. Amirul mukminin telah menulis agar emas dan perak (al-shafra’ wa al-baydha’) dikhususkan untuknya, dan tidak dibagikan emas maupun perak itu di antara kaum muslim.”
Thabari menambahkan, “Yang berharga (al-rawa’i’)(53) pada emas dan perak.” Namun, Hakam menolak hal itu dan membagikan ghana’im. Muawiyah kemudian mengutus seseorang yang menangkapnya, membelenggunya, dan memenjarakannya, hingga ia meninggal dalam belenggu, dan dimakamkan di dalamnya, seraya berkata, “Sesungguhnya aku adalah yang akan menuntut.”(54)
Hingga Masa Umar bin Abdul Aziz
Khumus tetap berada di tangan Bani Umayah, yang menggunakannya seperti pemilik, hingga pada masa Umar bin Abdul Aziz. Dia berusaha mengembalikan sebagian hak Bani Hasyim karena suatu kemaslahatan yang dia lihat, lalu dia membagikan sebagiannya kepada mereka, dan berjanji bahwa jika masih ada sisanya bagi mereka, ia akan memberikan seluruh hak mereka.(55)
Namun, upaya ini—seperti masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz sendiri—segera berakhir dan dampaknya hilang, dan keadaan kembali berjalan ke arah yang sama yang telah ditetapkan oleh musuh-musuh Ali as dan musuh-musuh Ahlulbaitnya, sebagaimana diketahui dengan merujuk sedikit saja pada kitab-kitab sejarah dan biografi.
Pendapat Para Fukaha Ahlusunnah mengenai Khumus
Pendapat para fukaha Ahlusunnah saling bertentangan, mengikuti apa yang dilakukan oleh para khalifah.
Ibnu Rusyd berkata: Mereka berselisih mengenai khumus menjadi empat mazhab yang terkenal:
- Bahwa Khumus dibagi menjadi lima bagian sesuai dengan nash ayat, dan ini adalah pendapat Syafi’i.
- Bahwa khumus dibagi menjadi empat bagian.
- Bahwa Khumus hari ini dibagi menjadi tiga bagian, dan bagian Nabi saw serta Dzawil Qurba gugur dengan wafatnya Nabi saw.
- Bahwa khumus setara dengan fai’ (harta yang diperoleh tanpa perang), yang dapat diberikan kepada orang kaya dan orang miskin.
Mereka yang berpendapat dibagi empat atau lima bagian berselisih mengenai apa yang harus dilakukan dengan bagian Rasulullah saw dan bagian kerabat setelah wafatnya beliau.
Sebagian kaum berkata: Dikembalikan kepada golongan-golongan lain yang berhak atas khumus.
Sebagian kaum berkata: Justru dikembalikan kepada sisa pasukan (al-jaisy).
Sebagian kaum berkata: Bagian Rasulullah saw adalah untuk Imam (pemimpin), dan bagian Dzawil Qurba adalah untuk kerabat Imam.
Sebagian kaum berkata: Keduanya dijadikan untuk senjata dan perlengkapan. Dan mereka berselisih mengenai siapa itu Dzawil Qurba (kerabat dekat).(56)
Adapun Ibnu Qudamah menyebutkan bahwa Abu Bakar membagi khumus menjadi tiga bagian, dan dia menyebutkan bahwa ini adalah pendapat para ashhabul ra’yi (ahli nalar), yaitu Abu Hanifah dan kelompoknya. Mereka berkata: Khumus dibagi menjadi tiga bagian: anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil, dan mereka menggugurkan bagian Rasulullah saw karena wafatnya beliau, dan juga bagian kerabat beliau.
Malik berkata: Khumus dan fai’ adalah satu, keduanya dimasukkan ke dalam Baitulmal (kas negara).
Kemudian Ibnu Qudamah berkata, “Apa yang dikatakan oleh Abu Hanifah bertentangan dengan makna lahiriah ayat; karena Allah Ta’ala telah menamai bagian untuk rasul-Nya dan kerabatnya, dan menjadikan hak bagi keduanya dalam khumus, sebagaimana Dia menamai tiga golongan yang tersisa. Barang siapa yang menyalahi hal itu, maka dia telah menyalahi nas kitab (Alquran). Adapun tindakan Abu Bakar dan Umar ra yang mengalihkan bagian Dzawil Qurba ke sabilillah, hal itu disebutkan kepada Ahmad lalu dia diam dan menggelengkan kepalanya, dan tidak mengikuti pendapat itu. Dia berpendapat bahwa pendapat Ibnu Abbas dan orang-orang yang setuju dengannya lebih utama; karena sesuai dengan kitab Allah dan sunah rasul-Nya saw.”(57)
Abu Ya’la dan Mawardi berpendapat bahwa penentuan penggunaan khumus tergantung pada ijtihad para khalifah.(58)
Ahlulbait as dan Para Pengikut Mereka (Syiah) mengenai Masalah Khumus
Khumus dibagi di kalangan Ahlulbait as dan para pengikut mereka menjadi enam bagian: Tiga bagian untuk Allah, rasul-Nya, dan Dzawil Qurba, yang Nabi saw terima bagian-bagian ini selama hidupnya, dan urusan tersebut kembali kepada para Imam Yang Dua Belas dari Ahlulbaitnya setelah wafatnya beliau saw. Tiga bagian lainnya adalah untuk fakir miskin dari Bani Hasyim, ibnu sabil mereka, dan anak yatim mereka, dengan syarat fakir.
Mereka juga berkata: Wajib mengeluarkan Khumus dari setiap harta yang diperoleh seorang muslim, baik dari pihak musuh maupun selainnya. Para pengikut Ahlulbait as tidak berhenti pada hal ini, tetapi juga berdalil dengan banyak hadis yang menunjukkan hal tersebut, yang diriwayatkan dari para Imam Ahlulbait as, yang merupakan salah satu dari dua pusaka (tsaqalain) yang kita diperintahkan untuk berpegang teguh pada keduanya, dan mereka adalah Bahtera Nuh dan Pintu Hiththah (Pengampunan Dosa). Semoga Allah membimbing kita semua untuk semakin mencintai, berpegang teguh, dan mengikuti mereka dalam perkataan dan perbuatan mereka, dan hal itu tidaklah sulit bagi Allah.(59)
Catatan Kaki:
- al-Anfal [8]:41, hal.182.
- Lihat: Lisan al-’Arab, Aqrab al-Mawarid, Mufradat al-Raghib, al-Qamus, Nihayah Ibnu Atsir, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Tafsir al-Razi, dan kitab-kitab bahasa lainnya.
- Nahj al-Balaghah, khotbah ke-118.
- Ibid, hikmah ke-150.
- Ibid, surat ke–31.
- Ibid, hikmah ke-331.
- Nihayah Ibnu Atsir, entri (maddah) (ghanim).
- Ibid.
- al-Nisa’ [4]:94, hal.93.
- Sunan Ibnu Majah (Kitab al-Zakah), hadis ke-1797.
- Musnad Ahmad, jil.2, hal.177.
- Lihat: Muqaddimah Mir’ah al-Uqul, jil.1, hal.84 dan 85.
- Beliau adalah Allamah Sayid Murtadha Askari dalam Muqaddimah Mir’ah al-Uqul.
- Tafsir al-Qurthubi, jil.8, hal.1.
- Bukhari cetakan Masykul, jil.1, hal.22, 32, dan 139; jil.2, hal.131; jil.5, hal.213; jil.9, hal.112; Shahih Muslim, jil.1, hal.36; Sunan Nasa’i, jil.2, hal.333; Musnad Ahmad, jil.1, hal.228 dan 361; jil.3, hal.318; jil.5, hal.36; Abu Ubaid, al-Amwal, hal.20; Tirmizi, Bab al-Iman; Sunan Abi Dawud, jil.3, hal.330; jil.4, hal.219; Fath al-Bari, jil.1, hal.120; Kanz al-Ummal, jil.1, hal.20; dan hal.19, hadis ke-6.
- Tarikh Ibnu Khaldun, jil.2; Tanwir al-Hawalik, jil.1, hal.157; al-Bidayah wa al-Nihayah, jil.5, hal.76; Sirah Ibnu Hisyam, jil.4, hal.242; Kanz al-Ummal, jil.3, hal.186; al-Isti’ab (Catatan kaki al-Ishabah), jil.2, hal.517; Abu Yusuf, al-Kharaj, hal.77; Musnad Ahmad, jil.2, hal.14 dan 15; Ibnu Majah, jil.1, hal.573, 575, dan 577; Sunan Darimi, jil.1, hal.281 dan 385; jil.2, hal.161–195; al-Ishabah, jil.2, hal.532; Sunan Abi Dawud, jil.2, hal.98 dan 99; al-Durr al-Mantsur, jil.2, hal.253; al-Taratib al-Idariyyah, jil.1, hal.248 dan 249; Sunan Tirmizi, jil.3, hal.17. Dan dari: Risalah Nabawiyyah, hal.204; Thabari, jil.2, hal.388; Baladzuri, Futuh al-Buldan, hal.80; A’lam al-Sa’ilin, hal.45; Majmu’ah al-Watsaiq al-Siyasiyyah, hal.175; Faridun, jil.1, hal.34; Ihdali, hal.68; Maqrizi, al-Imta’, hal.139.
- Abu Ubaid, al-Amwal, hal.21; Sunan Baihaqi, jil.4, hal.89; Kanz al-Ummal, jil.3, hal.186, 252, dan 253 dari Thabrani dan lainnya; Mustadrak al-Hakim, jil.1, hal.395; al-Durr al-Mantsur, jil.1, hal.343; Majma’ al-Zawaid, jil.3. Dan dari Tahdzib Ibnu Asakir, jil.6, hal.273 dan 274; Jamharat Rasail al-’Arab, jil.1, hal.89; Majmu’ah al-Watsaiq al-Siyasiyyah, hal.185 dari Ihdal, hal.67 dan 68, dari Ibnu Hibban; al-Mab’ats, hal.141.
- Thabaqat Ibnu Sa’ad, jil.1, Bagian 2, hal.23 dan 24; Majmu’ah al-Watsaiq al-Siyasiyyah, hal.224; Pengantar Mir’ah al-Uqul, jil.1, hal.102 dan 103.
- Lihat teks-teks ini dalam sumber-sumber berikut: Usdu al-Ghabah, jil.4, hal.175, 271, dan 328; jil.5, hal.40 dan 389; jil.1, hal.300; al-Ishabah, jil.3, hal.338, 199, dan 573; jil.1, hal.53, 247, dan 278; jil.2, hal.197; Thabaqat Ibnu Sa’ad, jil.1, hal.274, 279, 66, 269, 271, 268, 270, dan 284; jil.7, Bagian 1, hal.26; jil.5, hal.385; Risalah al-Nabawiyyah, hal.237, 102, 103, 131, 253, 138, 188, dan 134; Majmu’ah al-Watsaiq al-Siyasiyyah, hal.121, 264, dan 273 dari A’lam al-Sailin, dan hal.98, 99, 252, 250, 216, 196, 138, 232, 245, dan 180; Kanz al-Ummal, jil.2, hal.271; jil.5, hal.320; jil.7, hal.64 dari Ruyani, Ibn Asakir, dan Abi Dawud; Kitab al-Kharaj dan Thabaqat al-Syu’ara karya Jumhi, hal.38; Sunan Baihaqi, jil.6, hal.303; jil.7, hal.58; jil.9, hal.13; Musnad Ahmad, jil.4, hal.77, 78, dan 363; Sunan Nasa’i, jil.7, hal.134; al-Amwal karya Abu Ubaid, hal.12, 19, 20, dan 30; al-Isti’ab (Tarjamah Umar bin Thaulab), jil.3, hal.38; Jamharat Rasail al-’Arab, jil.1, hal.55 dan 68 dari Syarh al-Mawahib karya Zarqani, jil.3, hal.382; Shubh al-A’sya, jil.13, hal.329; Majmu’ah al-Watsaiq dari A’lam al-Sailin dan Nashb al-Rayah; Maghazi Ibnu Ishaq, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, Mu’jam al-Shahabah, al-Muntaqa, Mizan al-I’tidal, Lisan al-Mizan, Tarikh al-Ya’qubi, dan Amwal Ibnu Zanjawaih. Dan Tarikh al-Ya’qubi, jil.2, hal.64; al-Bidayah wa al-Nihayah, jil.5, hal.46 dan 75; jil.2, hal.351 dari Abu Nu’aim; Tarikh al-Thabari, jil.2, hal.384; Futuh al-Buldan karya Baladzuri, hal.82; al-Sirah al-Halabiyyah, jil.3, hal.258; Sirah Ibnu Hisyam, jil.4, hal.258 dan 260; Sirah Zaini Dahlan, jil.3, hal.30; al-Mushannaf, jil.4, hal.300; Thabaqat al-Syu’ara karya Ibnu Sallam, hal.38; Majma’ al-Zawaid, jil.8, hal.244.
- Usdu al-Ghabah, jil.3, hal.38; al-Ishabah, jil.2, hal.208; jil.3, hal.413; al-Bihar, juz 96, hal.83 dan 190; al-Isti’ab (Catatan kaki al-Ishabah), jil.3, hal.643; Jami’ Ahadits al-Syi’ah, jil.8, hal.73; al-’Iqd al-Farid, Bab al-Wufud; al-Bayan wa al-Tabyin; al-Wasail (Kitab al-Zakah, Bab Taqdir Nishab al-Ghanam); Ma’ani al-Akhbar, hal.275; Syarh al-Syifa karya Qari, jil.1, hal.18; Tarikh Ibnu Khaldun, jil.2; al-Sirah al-Nabawiyyah karya Dahlan (Catatan kaki al-Halabiyyah), jil.3, hal.94; al-Fa’iq karya Zamakhsyari, jil.1, hal.14. Dan dari al-Mu’jam al-Shaghir, hal.243; Risalah al-Nabawiyyah, hal.67 dan 297; Jamharat Rasail al-’Arab, jil.1, hal.58 dan 59; Majmu’ah al-Watsaiq al-Siyasiyyah, hal.205 dan 206, dari al-Mawahib al-Laduniyyah dan Zarqani; Entri sib dalam Nihayah Ibnul Atsir, Lisan al-’Arab, Taj al-’Arus, Nihayah al-Arab, dan Gharib al-Hadits karya Abu Ubaid dalam entri: qil dan sib; Thabaqat Ibnu Sa’ad, jil.1, hal.287.
- Tabyin al-Haqaiq, jil.1, hal.288 (Al-Rikaz adalah apa yang Allah tegakkan, yaitu yang Dia ciptakan dan pendam di tambang, berupa emas, perak, atau lainnya).
- Thabaqat Ibnu Sa’ad, jil.4, Bagian 2, hal.167. Dan dari Majmu’ah al-Watsaiq al-Siyasiyyah, hal.219; Risalah al-Nabawiyyah, hal.228; Kanz al-Ummal, jil.7, hal.65; Jam’ al-Jawami’ (Musnad ‘Amr bin Murrah), dan dinukil dalam Pengantar Mir’ah al-Uqul, jil.1, dari Nihayah Ibnul Atsir, dan dari Ibnu Manzhur dalam Lisan al-’Arab dalam kata: sharm.
- Al-Amwal karya Abu Ubaid, jil.[tidak jelas, tertulis 33 di awal], hal.337, 473, 477, 476, 468, dan 467; Nashb al-Rayah, jil.2, hal.382, 381, dan 380; Musnad Ahmad, jil.2, hal.228, 239, 254, 274, 314, 186, 202, 207, 285, 319, 382, 386, 406, 411, 415, 454, 456, 467, 475, 482, 493, 495, 499, 501, dan 507; jil.3, hal.354, 353, 336, 356, 335, dan 128; jil.5, hal.326; Kanz al-Ummal, jil.4, hal.227 dan 228; jil.19, hal.8 dan 9; jil.5, hal.311; Mustadrak al-Hakim, jil.2, hal.56; Majma’ al-Zawaid, jil.3, hal.77 dan 78, dan dari Thabrani dalam al-Kabir dan al-Awsath, dan dari Ahmad dan Bazzar; al-Mushannaf karya Abdurrazzaq, jil.10, hal.128 dan 66; jil.4, hal.117, 64, 65, 116, dan 300; jil.6, hal.98 tentang khumus ambar; Pengantar Mir’ah al-Uqul, jil.1, hal.97 dan 96; Maghazi al-Waqidi, hal.682; Sunan Baihaqi, jil.4, hal.157, 156, dan 155; jil.8, hal.110; al-Mu’jam al-Shaghir, jil.1, hal.120, 121, dan 153; Thahawi, jil.1, hal.180; Sunan Nasa’i, jil.5, hal.44 dan 45; Shahih Bukhari, cetakan Masykul, jil.2, hal.159 dan 160 (Bab Fi al-Rikaz al-Khums), dan (Bab Man hafara bi’ran fi mulkihi) dan cetakan tahun 1309 H, jil.4, hal.124; al-Hidayah Syarh al-Bidayah, jil.1, hal.108; Kharaj Abi Yusuf, hal.26; Sunan Ibnu Majah, jil.2, hal.839 dan 803; Sunan Abi Dawud, jil.3, hal.181; jil.4, hal.196; Syarh al-Muwaththa’ karya Zarqani, jil.2, hal.321; Kitab al-Ashl karya Syaibani, jil.2, hal.138; Sunan Darimi, jil.1, hal.393; jil.2, hal.196; Nayl al-Awthar, jil.4, hal.210; al-Muwaththa’, jil.1, hal.244; jil.3, hal.71 (dicetak bersama Tanwir al-Hawalik); Minhah al-Ma’bud, jil.1, hal.175; Sunan Tirmizi, jil.1, hal.219; jil.3, hal.138; Shahih Muslim, jil.5, hal.127, 11, dan 225; Al-’Iqd al-Farid dan Nihayah al-Arab, al-Isti’ab, Tahdzib Tarikh Dimasyq, jil.6, hal.207; Tarikh Baghdad, jil.5, hal.53 dan 54; Mashabih al-Sunnah cetakan Dar al-Ma’rifah, jil.2, hal.17; al-Musnad karya Humaidi, jil.2, hal.462; Musnad Abi Ya’la, jil.10, hal.437, 461, dan 459; jil.11, hal.202, dan dalam catatan kakinya terdapat rujukan dari banyak sumber.
- Masalik al-Mamalik, hal.158.
- Lihat: al-Amwal karya Abu Ubaid, hal.472.
- Al-Amwal, hal.474.
- Al-Mushannaf karya Hafiz Abdurrazzaq, jil.4, hal.64/65.
- Kitab al-Ashl karya Syaibani, jil.2, hal.138.
- Mushannaf karya Hafiz Abdurrazzaq, jil.4, hal.116.
- Al-Mushannaf karya Abdurrazzaq, jil.5, hal.179 dan 181; jil.9, hal.67; Tuhaf al-’Uqul, hal.260.
- Al-Mushannaf karya Hafiz Abdurrazzaq, jil.9, hal.66.
- Nashb al-Rayah, jil.2, hal.382; al-Mushannaf karya Abdurrazzaq, jil.4, hal.116; Majma’ al-Zawaid, jil.3, hal.78. Dan lihat: Al-Bihar, jil.21, hal.360, dari I’lam al-Wara.
- Lihat: Al-Bidayah wa al-Nihayah.
- Zad al-Ma’ad, jil.1, hal.32. Dan lihat: Sunan Abi Dawud, jil.3, hal.127 (Bab Kaifa al-Qadha’).
- Al-Amwal karya Abu Ubaid, hal.461.
- Majma’ al-Zawaid, jil.3, hal.91; Usdu al-Ghabah (Tarjamah Abdul Muththalib bin Rabi’ah, Naufal bin al-Harits, dan Mahmiyah); Shahih Muslim, jil.3, hal.118 (Bab Tahrim al-Zakah ‘ala Ali al-Nabi saw); Sunan Nasa’i, jil.1, hal.365; Sunan Abi Dawud; al-Amwal karya Abu Ubaid, hal.329; Maghazi al-Waqidi, hal.696 dan 697; Tafsir al-’Ayyasyi, jil.2, hal.93.
- Sunan Abi Dawud (Kitab al-Zakah), jil.2, hal.212; Sunan Tirmizi (Kitab al-Zakah), jil.3, hal.159; Sunan Nasa’i (Kitab al-Zakah), jil.1, hal.366; Majma’ al-Zawaid, jil.3, hal.90 dan 91; Kanz al-Ummal, jil.6, hal.252–256; Amali al-Thusi, jil.2, hal.17; al-Bihar, juz 96, hal.57; Sunan Baihaqi, jil.7, hal.32.
- Lihat: Tafsir al-Thabari, jil.15, hal.504 dan 506, dan di catatan kakinya Tafsir al-Naisaburi, jil.15; Ahkam Alquran karya Jashshash, jil.3, hal.65 dan 61; al-Amwal karya Abu Ubaid, hal.22, 447, 453, dan 454.
- al-Hasyr [59]:7, hal.546.
- Tafsir al-Naisaburi di catatan kaki Tarikh Thabari, dan Tafsir al-Thabari, jil.15, hal.7.
- Lihat: al-Wasail, jil.9, hal.356, 358, 359, 361, dan 362.
- Al-Wasail, jil.9, hal.358 dan 359; Pengantar Mir’ah al-Uqul karya Askari, jil.1, hal.116 dan 117.
- Shahih Bukhari (Bab Ghazwat Khaibar), jil.3, hal.36, dan cetakan tahun 1311 H, jil.4, hal.111, dan, jil.6, hal.174; Sunan Abi Dawud, jil.3, hal.145 dan 146; Tafsir al-Thabari, jil.15, hal.5; Musnad Ahmad, jil.4, hal.81, 85, dan 83; Sunan Nasa’i, jil.7, hal.130 dan 131; Sunan Ibnu Majah, hal.961; Maghazi al-Waqidi, jil.2, hal.696; Amwal Abi Ubaid, hal.461 dan 462; Sunan Baihaqi, jil.6, hal.340–342; al-Sirah al-Halabiyyah, jil.2, hal.209; al-Muhalla, jil.7, hal.328; al-Bidayah wa al-Nihayah, jil.4, hal.200; Syarh al-Nahj, jil.15, hal.284; Majma’ al-Zawaid, jil.5, hal.341; Nayl al-Awthar, jil.8, hal.228 dari Barqani, Bukhari, dan lainnya; al-Ishabah, jil.1, hal.226; Bidayah al-Mujtahid, jil.1, hal.402; al-Kharaj karya Abu Yusuf, hal.21; Tasyid al-Matha’in, jil.2, hal.818 dan 819 dari Zad al-Ma’ad; al-Durr al-Mantsur, jil.3, hal.186, dari Ibnu Abi Syaibah; al-Bahr al-Ra’iq, jil.5, hal.98; Tabyin al-Haqaiq, jil.3, hal.257; Nashb al-Rayah, jil.3, hal.425 dan 426 dari banyak perawi. Dan Mashabih al-Sunnah, jil.2, hal.70; Tafsir Alquran al-’Azhim, jil.2, hal.312; Fath al-Qadir, jil.2, hal.310; Lubab al-Ta’wil, jil.2, hal.185; Madarik al-Tanzil (dicetak di catatan kaki al-Khazin), jil.2, hal.186; al-Kasysyaf, jil.2, hal.221. Dan dinukil dari sumber-sumber berikut: al-Jami’ li Ahkam Alquran, jil.7, hal.12; Fath al-Bari, jil.7, hal.174; jil.6, hal.150; Tafsir al-Manar, jil.10, hal.7; Tartib Musnad al-Syafi’i, jil.2, hal.125 dan 126; Irsyad al-Sari, jil.5, hal.202.
- Beliau adalah Allamah Sayid Murtadha Askari (semoga Allah melindunginya).
- Lihat tentang semua itu dan hal lain yang berkaitan dengan topik: Sunan Nasa’i, jil.2, hal.179; Kitab al-Kharaj, hal.24 dan 25; al-Amwal karya Abu Ubaid, hal.463; Jami’ al-Bayan karya Thabari, jil.15, hal.6; Ahkam Alquran karya Jashshash, jil.3, hal.62 dan 60; Sunan Baihaqi, jil.6, hal.342–343; Sunan Abi Dawud (Penjelasan Tempat-Tempat Khumus); Musnad Ahmad, jil.4, hal.83; Majma’ al-Zawaid, jil.5, hal.341.
- Musnad Ahmad, jil.4, hal.83.
- Lihat Hadis dalam: Al-Kharaj karya Abu Yusuf, hal.21 dan 24; Maghazi al-Waqidi, hal.697; al-Amwal karya Abu Ubaid, hal.465 dan 467; Sunan Nasa’i, jil.2, hal.178 dan 177; jil.7, hal.129 dan 128; Syarh Ma’ani al-Atsar, jil.3, hal.235 dan 220; Musnad al-Humaidi, nomor 532; al-Jami’ ash-Shahih (al-Siyar), nomor 1556; Ahkam Alquran oleh Jashshash, jil.3, hal.63; Lisan al-Mizan, jil.6, hal.148; Shahih Muslim, jil.5, hal.198 (Bab al-Nisa’ al-Ghaziyat Yurdakh Lahunna); Musnad Ahmad, jil.10, hal.225; jil.1, hal.320, 308, 248, 249, 294, dan 224; Musykil al-Atsar, jil.2, hal.136 dan 179; Musnad al-Syafi’i, hal.183 dan 187; Hilyah Abi Nu’aim, jil.3, hal.205; Tafsir al-Thabari, jil.10, hal.5; Sunan Abi Dawud, jil.3, hal.146 (Kitab al-Kharaj); Sunan Baihaqi, jil.6, hal.344, 345, dan 332; Kanz al-Ummal, jil.2, hal.305; al-Mushannaf, jil.5, hal.228 dan lihat, hal.238; al-Mahasin wa al-Masawi’, jil.1, hal.264; Wafa’ al-Wafa’, hal.995; al-Rawdh al-Anf, jil.3, hal.80; Musnad Abi Ya’la, jil.4, hal.424; jil.5, hal.41 dan 42.
- Lihat: Tarikh al-Islam karya Dzahabi, jil.2, hal.79 dan 80; Tarikh Ibnu Atir, cetakan Eropa, jil.3, hal.71; Syarh al-Nahj, jil.1, hal.67.
- Lihat tentang hal itu: al-Kamil, jil.3, hal.71; Thabari cetakan Eropa Bagian 1, hal.2818; Ibnu Katsir, jil.7, hal.152; Futuh Afriqiya karya Ibn Abdil Hakam, hal.58 dan 60; Baladzuri, jil.5, hal.25, 27, dan 28; Tarikh al-Khulafa’ karya Suyuthi, hal.156; dan al-Aghani, jil.6, hal.57.
- Al-Amwal karya Abu Ubaid, hal.463; al-Kharaj, hal.23; Ahkam Alquran karya Jashshash, jil.3, hal.63; Sunan Baihaqi, jil.6, hal.323; Ansab al-Asyraf, jil.1, hal.517; Tarikh al-Madinah karya Ibnu Syabbah, jil.1, hal.217; Kanz al-Ummal, jil.4, hal.330 dari Abu Ubaid, dan dari Ibnl Anbari dalam al-Mashahif.
- Sunan Baihaqi, jil.6, hal.363.
- Thabaqat Ibnu Sa’ad, jil.5, hal.288, cetakan Eropa.
- Mustadrak al-Hakim dan ringkasan oleh Dzahabi di catatan kakinya, jil.3, hal.442; Thabaqat Ibnu Sa’ad cetakan Eropa, jil.7, hal.18; al-Isti’ab, jil.1, hal.118; Usdu al-Ghabah, jil.2, hal.36; Thabari cetakan Eropa, jil.2, hal.111; Ibnu Atsir cetakan Eropa, jil.3, hal.391; Dzahabi, jil.2, hal.220; Ibn Katsir, jil.8, hal.47.
- Tahdzib al-Tahdzib, jil.2, hal.437; Mustadrak al-Hakim, jil.3, hal.442.
- Lihat tentang hal itu dalam: Thabaqat Ibnu Sa’ad, jil.5, hal.281, 285, 287, dan 289; al-Kharaj, hal.25; Sunan Nasa’i (Bab Qism al-Fai’), jil.2, hal.178.
- Bidayah al-Mujtahid (Hukum Khumus), jil.1, hal.401.
- Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, jil.7, hal.351 (Bab Qismat al-Fai’ wa al-Ghanimah).
- Al-Ahkam al-Sulthaniyyah karya Mawardi (Bab Qism al-Fai’), hal.126; al-Ahkam al-Sulthaniyyah karya Abu Ya’la, hal.125.
- Al-Shahih min Sirah al-Nabi al-A’zham saw karya Allamah Muhaqqiq Sayid Ja’far Murtadha Amili, al-Markaz al-Islami li al-Dirasat, Edisi Kelima, 2005 M/1425 H, jil.Keenam.