Jumat, 26 September 2025, Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta kembali menggelar salat Jumat berjamaah di aula utama. Khutbah Jumat disampaikan oleh Syaikh Mohammad Sharifani dan diterjemahkan oleh Ustaz Hafidh Alkaf. Dalam khutbahnya kali ini, beliau melanjutkan pembahasan tentang kunci keberhasilan Rasulullah SAW dalam menjalankan misi tabligh. Beliau menegaskan bahwa keberhasilan Rasulullah SAW bersumber dari dua hal besar, yaitu memiliki program yang jelas serta metode yang kokoh. Program tersebut sebagaimana termaktub dalam Surah Al-Jumu‘ah ayat 2, di mana Allah SWT berfirman: Huwalladzî ba‘atsa fil-ummiyyîna rasûlam min-hum yatlû ‘alaihim âyâtihî wa yuzakkîhim wa yu‘allimuhumul-kitâba wal-ḫikmata wa ing kânû ming qablu lafî dlalâlim mubîn — Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah, meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
Sementara itu, metode yang dijalankan Rasulullah SAW dijelaskan dalam Surah Ali Imran ayat 159. Dari ayat tersebut terdapat sepuluh metode, sembilan di antaranya telah dibahas dalam khutbah-khutbah sebelumnya, dan pada kesempatan kali ini beliau menyampaikan metode kesepuluh, yaitu tawakal. Syaikh Mohammad Sharifani menjelaskan bahwa pertanyaan pertama yang muncul adalah mengenai makna tawakal. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika seseorang sudah tidak lagi mengandalkan kemampuan dirinya, status sosialnya, dan orang-orang di sekitarnya, lalu menyerahkan segalanya kepada Allah SWT, di situlah letak tawakal. Namun, hal ini bukan berarti seorang mukmin tidak perlu memikirkan atau berusaha sama sekali. Beliau menyampaikan sebuah kisah ketika seorang Badui datang kepada Rasulullah SAW. Rasulullah bertanya apakah ia telah mengikat untanya. Badui itu menjawab tidak, karena ia bertawakal kepada Allah. Rasulullah SAW kemudian menegurnya dengan mengatakan: “Ikatlah terlebih dahulu untamu, lalu bertawakallah kepada Allah SWT.” Artinya, manusia tetap harus berusaha, barulah hasilnya diserahkan sepenuhnya kepada Allah SWT.
Untuk lebih memperdalam makna tawakal, Syaikh Mohammad Sharifani menuturkan beberapa kisah para nabi. Beliau menyebutkan kisah Nabi Yusuf AS yang dimasukkan ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya. Nabi Yusuf AS justru tertawa seraya mengatakan bahwa dengan apa yang dilakukan saudara-saudaranya, ia memperoleh pelajaran besar dari Allah SWT, bahwa bahkan saudara kandung sekalipun tidak bisa dijadikan sandaran, dan satu-satunya tempat bersandar hanyalah Allah SWT. Beliau juga membawakan kisah Nabi Zakaria AS yang berdoa memohon keturunan. Dalam Surah Ali Imran ayat 39 dikisahkan doa Nabi Zakaria AS yang dikabulkan Allah SWT dengan kelahiran Nabi Yahya AS. Nabi Zakaria AS bertanya: qâla rabbi annâ yakûnu lî ghulâmuw wa qad balaghaniyal-kibaru wamra’atî ‘âqir, qâla kadzâlikallâhu yaf‘alu mâ yasyâ’ — “Wahai Tuhanku, bagaimana aku bisa mendapat anak, sedangkan aku sudah sangat tua dan istriku pun mandul?” (Allah) berfirman, “Demikianlah, Allah melakukan apa yang Dia kehendaki.” Hal yang sama direkam dalam Surah Maryam ayat 4, di mana Nabi Zakaria AS dengan penuh tawakal berdoa meski secara lahiriah semua sebab sudah mustahil, namun Allah SWT yang Maha Kuasa mewujudkannya.
Kisah Nabi Ibrahim AS juga menjadi teladan agung tentang tawakal. Ketika beliau dilemparkan ke dalam api yang sangat besar dan panas, secara zahir pasti akan terbakar. Namun dengan kehendak Allah SWT sebab itu dibatalkan. Dalam sebuah riwayat bahkan Jibril AS menawarkan pertolongan, namun Nabi Ibrahim AS menjawab bahwa cukuplah Allah SWT yang mengetahui keadaannya. Hal ini ditegaskan dalam Surah Az-Zumar ayat 38: qul ḥasbiyallâh, ‘alaihi yatawakkalul-mutawakkilûn — Katakanlah, “Cukuplah Allah (sebagai pelindung) bagiku. Hanya kepada-Nya orang-orang yang bertawakal berserah diri.”
Memasuki khutbah kedua, Syaikh Mohammad Sharifani kembali menegaskan pentingnya tawakal. Beliau menjelaskan firman Allah SWT dalam Surah Ali Imran ayat 159: fa idzâ ‘azamta fa tawakkal ‘alallâh, innallâha yuḥibbul-mutawakkilîn — “Apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.” Ayat ini dilanjutkan dengan firman Allah SWT dalam Surah Ali Imran ayat 160: iy yanshurkumullâhu fa lâ ghâliba lakum, wa iy yakhdzulkum fa man dzalladzî yanshurukum mim ba‘dih, wa ‘alallâhi falyatawakkalil-mu’minûn — “Jika Allah menolongmu, tidak ada yang dapat mengalahkanmu. Jika Dia membiarkanmu, siapa yang dapat menolongmu setelah itu? Oleh karena itu, hendaklah kepada Allah orang-orang mukmin bertawakal.” Beliau menekankan bahwa pengulangan kata tawakal hingga tiga kali dalam rangkaian ayat tersebut menunjukkan betapa pentingnya sikap ini.
Beliau juga menyinggung riwayat ketika Rasulullah SAW bertanya kepada Jibril AS dalam peristiwa Isra’ Mi‘raj mengenai amal yang paling utama, dan Jibril AS menjawab: “Bertawakal kepada Allah SWT.” Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam Surah Ibrahim ayat 12: wa mâ lanâ allâ natawakkala ‘alallâhi wa qad hadânâ subulanâ, wa lanashbiranna ‘alâ mâ âdzaitumûnâ, wa ‘alallâhi falyatawakkalil-mutawakkilûn — “Mengapa kami tidak akan bertawakal kepada Allah, sedangkan Dia telah menunjukkan kepada kami jalan-jalan keselamatan? Sungguh, kami benar-benar akan tetap bersabar terhadap gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Hanya kepada Allah orang-orang yang bertawakal seharusnya berserah diri.”
Syaikh Mohammad Sharifani menambahkan bahwa seorang mukmin diajarkan untuk senantiasa mengucapkan hasbunallâh wa ni‘mal wakîl. Bahkan dalam riwayat, iblis yang diberi kesempatan untuk menyesatkan manusia mengakui bahwa dirinya tidak akan mampu menyesatkan orang yang benar-benar bertawakal kepada Allah SWT. Sebagai penutup, beliau kembali mengingatkan firman Allah SWT: wa ‘alallâhi falyatawakkalil-mu’minûn — “Kepada Allah hendaknya orang-orang mukmin itu bertawakal.”
