Pada Jumat malam, 4 Juli 2025, ICC Jakarta menyelenggarakan Majelis Duka menyambut malam kesembilan Muharram 1447 H. Rangkaian acara dimulai dengan sambutan oleh Ustaz Arif Mulyadi yang menegaskan bahwa malam duka ini bukan sekadar momen mengenang pengorbanan di Karbala, melainkan ruang untuk meneladani nilai-nilai yang diwariskan para syuhada. Suasana khidmat dilanjutkan dengan tilawah Al-Qur’an yang dibacakan oleh Ustaz Usep Irawan, sebelum akhirnya memasuki inti acara berupa ceramah utama yang disampaikan oleh Ustaz Muhsin Labib.
Ustaz Muhsin Labib membuka ceramah dengan mengangkat kembali makna hakiki dari syukur. Menurut beliau, ungkapan alhamdulillah yang lazim mengikuti bismillah bukan sekadar formalitas lisan, tetapi ekspresi dari penerimaan total terhadap segala yang datang dari Allah swt.—baik yang menyenangkan maupun yang tampak tidak menguntungkan. Sayangnya, manusia kerap membatasi rasa syukur hanya pada hal-hal yang sesuai dengan kehendak dan harapan. Padahal, tidak semua yang kita inginkan membawa kebaikan, dan tidak semua yang kita hindari adalah keburukan.
Beliau menegaskan bahwa rezeki paling berharga justru bukan yang bersifat material. Ilmu, kesadaran, dan iman merupakan bagian dari rezeki nonmaterial yang menjadi fondasi keimanan, namun sering diabaikan karena tidak memberi kenyamanan instan. Dalam konteks ini, makna ghaib—yang sejatinya menunjuk pada realitas nonindrawi yang rasional, seperti eksistensi dan kesadaran diri—telah direduksi menjadi sesuatu yang irasional dan mistis. Oleh karena itu, menurut beliau, konsep syukur harus didefinisikan ulang sebagai pengakuan terhadap segala bentuk kebaikan, termasuk ujian yang tidak diinginkan.
Dari sini, beliau mengaitkan langsung ke peristiwa Karbala. Ketika syukur dan iman direduksi menjadi sekadar emosi sesaat atau respons terhadap kenyamanan, maka Karbala pun hanya akan dipahami sebagai kisah tragis atau epik heroik belaka. Padahal, Imam Husain a.s. tidak sedang menulis cerita, melainkan menegakkan sistem nilai yang hidup dan harus diwarisi. Jika peristiwa Karbala hanya diletakkan dalam bingkai historis, umat akan berhenti sebagai pengagum sejarah, bukan sebagai pelanjut perjuangan.
Asyura, ujar beliau, bukan hanya milik tahun 61 H. Karbala adalah panggung nilai yang terus berulang karena bentuk-bentuk kezaliman tidak pernah benar-benar punah. Setiap zaman punya wajah “Yazid”-nya sendiri, dan setiap hari bisa menjadi Asyura. Dalam kerangka ini, pengorbanan Imam Husain a.s. menjadi simbol puncak dari keberpihakan total terhadap nilai kebenaran—sebuah keberpihakan yang berakar pada kedekatan beliau dengan Rasulullah saw., namun lebih dari itu, pada kesetiaan terhadap prinsip agama.
Beliau kemudian menanggapi tuduhan yang sering dilontarkan terhadap pengikut Ahlulbait a.s., seolah mereka menyimpan dendam kepada figur-figur seperti Yazid, Syimir, atau Umar bin Sa’ad. Menurut beliau, ini adalah kesalahpahaman besar. Yang ditolak bukanlah orang per orang, tetapi sistem kezaliman yang mereka wakili—sistem yang tidak pernah mati dan terus bermetamorfosis dalam sejarah. Karbala, dalam hal ini, menjadi panggung dialektika moral antara kebenaran dan kebatilan, antara terang dan gelap, yang akan selalu muncul dan harus selalu dihadapi.
Untuk memperjelas makna ini, beliau mengibaratkan bahwa rumah yang utuh pasti memiliki toilet—analogi yang menegaskan bahwa kehadiran unsur buruk adalah bagian dari struktur ujian moral yang tak terhindarkan. Dengan logika serupa, kezaliman yang dihadapi Imam Husain a.s. bukanlah kesalahan sejarah, melainkan bagian dari tatanan nilai yang menguji kualitas keberpihakan. Rasulullah saw. memulai dakwah dari rumah beliau sendiri, dan karena itu kedudukan Imam Husain a.s. sebagai pewaris risalah bukan hanya soal nasab, melainkan bukti bahwa nilai-nilai kenabian ditanamkan langsung melalui keluarga.
Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa agama memiliki dua sisi: pertama, sebagai fitrah yang hidup dalam nurani manusia dan melahirkan norma-norma moral universal; kedua, sebagai wahyu yang termaktub dalam teks dan menuntut penjelasan otoritatif. Tanpa otoritas, teks agama akan melahirkan penafsiran liar yang saling bertabrakan. Karena itu, Rasulullah saw. tidak hanya menyampaikan ajaran, tetapi juga menetapkan otoritas untuk menjaganya.
Dalam konteks kekinian, beliau menyebut figur seperti Ayatullah Sayyid Ali Khamenei sebagai representasi dari sistem otoritas tersebut. Ini bukan sekadar soal pribadi, melainkan struktur nilai yang mampu menyatukan ras, bangsa, dan kelompok etnis dalam satu barisan yang menolak tunduk kepada kebatilan. Mazhab ini tidak dibenci karena ritualnya, tetapi karena keberaniannya bersikap terhadap ketidakadilan.
Beliau menekankan bahwa kedekatan dengan Rasulullah saw. tidak cukup diukur dengan pengakuan atau simbol, melainkan dibuktikan melalui pengorbanan. Karbala adalah panggung kolektif yang memerlukan peran dari semua pihak—bukan hanya tokoh sentral, tetapi juga para pengikut, bahkan perempuan. Sayyidah Zainab a.s., ketika berdiri di hadapan Yazid, menyatakan bahwa yang beliau lihat hanyalah keindahan. Ini bukan respons emosional semata, melainkan hasil dari pandangan dunia yang logis, spiritual, dan menyeluruh.
Ustaz Muhsin Labib mengingatkan bahwa Ahlulbait a.s. tidak hanya sebagai penafsir, tetapi penjelas Alquran. Penjelasan yang mereka berikan bersifat otoritatif, bukan spekulatif. Tanpa otoritas seperti itu, agama hanya akan melahirkan kekacauan tafsir. Tauhid, dalam pandangan beliau, bukan hanya soal keesaan Tuhan, tetapi juga pengakuan bahwa hanya Allah swt. yang berhak menetapkan otoritas mutlak dalam agama.
Dari prinsip ini lahir militansi pengikut Ahlulbait a.s.—militansi yang bukan dibangun dari kebencian, tetapi dari kepatuhan pada sistem ilahiah. Dalam konflik seperti agresi Israel, yang menjadi faktor kekalahan bukan sekadar kekurangan senjata, tetapi kehilangan nilai. Karbala mengajarkan bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada jumlah atau teknologi, tetapi pada keberanian menanggung risiko demi kebenaran.
Karena itu, menurut beliau, peringatan Karbala tidak boleh jatuh menjadi seremoni kosong. Tanpa partisipasi aktif dalam bentuk waktu, tenaga, atau harta, maka Asyura hanya akan berlalu sebagai simbol tanpa makna. Setiap tahun, momen ini harus menjadi waktu untuk mengukur kembali kontribusi kita terhadap agama dan komunitas.
Beliau menutup ceramah dengan penekanan bahwa dalam dakwah, kita perlu membedakan antara kebenaran dan ketepatan. Tidak semua yang benar harus diucapkan, jika konteksnya tidak tepat. Misalnya, memperingati Idul Ghadir memang benar secara teologis, tetapi jika dilakukan dengan cara yang menajamkan perbedaan mazhab, manfaat sosialnya patut dipertimbangkan ulang. Ketepatan adalah bagian dari hikmah.
Sebagai penutup, beliau mengingatkan bahwa otoritas tanpa kompetensi hanya akan menimbulkan kekacauan, dan kompetensi tanpa loyalitas akan kehilangan arah. Karena itu, generasi penerus harus menyerahkan amanah kepada mereka yang telah berkorban dan terbukti menjaga komunitas. Allah swt. merahmati siapa pun yang mampu mengenali kapasitas dirinya—bahkan dalam hal takwa.
Setelah pembacaan maqtal yang menyentuh oleh Sayyid Bagir Alattas, suasana duka dilanjutkan dengan maktam yang dilantunkan bergantian oleh Burair, Syubbar Al Muhdar, dan Haidar Shahab, sebelum akhirnya ditutup dengan doa yang dipimpin penuh khidmat oleh Ustaz Umar Shahab.