Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta kembali menggelar Majelis Duka Muharram 1447 H pada malam keempat, Ahad, 29 Juni 2025. Rangkaian kegiatan malam itu diawali dengan sambutan oleh Ustaz Hasan Shahab yang menekankan bahwa memperingati Asyura adalah bentuk karunia dan penghormatan kepada perjuangan Imam Husain bin Ali as. Meskipun banyak yang mengenal Imam Husain as, tidak semua merasa terdorong untuk menghidupkan majelis duka. Padahal, Asyura adalah medium untuk merawat sejarah, membalas jasa, dan meneladani nilai luhur.
Usai sambutan, suasana hening menyambut lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an oleh Ustaz Iqram Muzadi, sebelum memasuki sesi inti berupa ceramah yang disampaikan oleh Ustaz Miftah F. Rakhmat.
Dalam pembukaannya, Ustaz Miftah menegaskan bahwa Muharram adalah bulan duka cita yang menjadi identitas spiritual Mazhab Ahlulbait. Mazhab ini dikenal sebagai mazhab ibadah, doa yang mendalam, serta mazhab kesedihan yang melatih kesabaran dalam penderitaan. Cerita-cerita perjuangan di dalamnya bukan sekadar potongan sejarah, melainkan jalan kesucian yang ditempuh oleh para nabi dan wali Allah.
Beliau lalu menyoroti bahwa peringatan Asyura merupakan madrasah nilai, tempat setiap insan belajar mengenali makna pengorbanan dan kejujuran. Kisah Al-Hurr menjadi salah satu teladan penting—seseorang yang memilih mencintai Imam Husain as meski harus meninggalkan kedudukan dan pencapaian duniawi. Tafakur Al-Hurr pada malam Asyura bahkan digambarkan oleh Imam Muhammad Baqir as sebagai bentuk tafakur yang lebih bernilai daripada ibadah setahun penuh.
Ustaz Miftah melanjutkan dengan mengulas hakikat manusia sebagai makhluk pengingat. Kemampuan untuk mengenang peristiwa dan membangun kesadaran darinya merupakan anugerah Allah SWT yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Dalam konteks ini, Asyura tidak hanya menjadi peringatan sejarah, tetapi juga menjadi sarana untuk merajut kembali kesadaran kolektif umat. Al-Qur’an pun menguatkan pentingnya ingatan, antara lain melalui kata kerja perintah wadzkur (“ingatlah”)—sebagai bentuk dzikir yang bersifat wajib dan mendatangkan manfaat bagi kaum mukmin.
Beliau menekankan bahwa narasi adalah poros kehidupan manusia. Melalui kisah-kisah, manusia tidak sekadar mengenang, tetapi meneguhkan jati diri. Karena itu pula, sebagian besar ayat Al-Qur’an mengandung cerita, agar hati Rasulullah saw dan umatnya tetap kokoh menghadapi zaman. Maka ketika umat kian mudah melupakan, Asyura datang sebagai pengingat yang mengakar dan membebaskan.
Dalam lanjutan ceramahnya, Ustaz Miftah mengulas bagaimana tanda kemunafikan di masa Imam Husain as tampak dari kebencian terhadap Imam Ali as dan keturunannya. Mereka tahu siapa Imam Husain as, tetapi berpura-pura lupa akan kedudukan dan hak beliau. Di hadapan umat yang demikian, Imam Ali Zainal Abidin as, dalam majelis Yazid, kembali menggugah kesadaran mereka yang alpa.
Majelis duka, sebagaimana disampaikan beliau, adalah ruang perlawanan terhadap lupa. Duduk dalam majelis ini berarti mengikatkan diri dengan barisan para pejuang. Asyura adalah sejarah tentang pertarungan antara kesetiaan dan pengingkaran, antara mengingat dan melupakan. Dan di situlah cinta kepada Imam Husain as membentuk keteguhan hati dan memperkuat identitas sejati seorang mukmin.
Beliau kemudian mengisahkan sosok Sayyid Ali Qadhi, seorang ulama besar yang dikenal akan pengabdiannya di bulan Muharram. Setiap kali bulan duka tiba, ia berdiri di gerbang menyambut para peziarah dan mengambil sendiri sandal mereka—sebagai bentuk khidmat tertinggi kepada tamu Imam Husain as. Sebuah pelajaran bahwa cinta kepada Imam tidak sekadar terucap, tapi terwujud dalam pelayanan.
Menjelang akhir ceramah, Ustaz Miftah menggambarkan bagaimana kenangan atas penderitaan keluarga Rasulullah saw menggetarkan majelis. Penderitaan Rasulullah saw, keranda Imam Hasan as yang dihujani anak panah, jeritan Sayyidah Fatimah az-Zahra sa di balik pintu—semua itu hadir kembali dalam ingatan melalui nama suci Imam Husain as.
Sebagai penutup, beliau mengingatkan bahwa sejarah Islam akan terus berulang selama umat melupakan nilai perjuangan. Namun selagi ingatan tetap dirawat, semangat akan tetap hidup. Seruan yang diwariskan para pengikut Ahlulbait dari generasi ke generasi—”Abadan wallah, mā nansā Ḥusainā”—adalah deklarasi bersama yang menjaga makna Karbala tetap hidup di setiap zaman.
Majelis malam itu ditutup dengan pembacaan maktam oleh Burair dan Husain Syarif, serta doa penutup oleh Ustaz Abdullah Beik.