Pada Rabu malam, 2 Juli 2025, Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta kembali menggelar Majelis Duka Muharram untuk memperingati malam ketujuh, yang secara tradisi dinisbatkan kepada Abul Fadhl Al-Abbas as—saudara Imam Husain as dan simbol keberanian serta kesetiaan dalam tragedi Karbala.
Acara dibuka dengan sambutan dari Ustaz Hasan Shahab yang menggarisbawahi bahwa kehadiran jamaah di majelis duka adalah anugerah tersendiri. Beliau menekankan bahwa Imam Husain as adalah cerminan dari Rasulullah saw, pewaris kesempurnaan beliau dan penjelmaan kasih sayang serta kelembutan risalah ilahi. Bahkan kepada musuh-musuhnya, Imam Husain as tetap menyerukan nasihat dan kebenaran dengan ketulusan yang tak pernah surut. Beliau mencontohkan bagaimana Imam Husain as mengajak Umar bin Saad agar meninggalkan pasukan Yazid dan bergabung dengan kafilah kebenaran demi mendekatkan diri kepada Allah swt.
Setelah pembacaan Al-Qur’an oleh Ustaz Ikrom Muzadi, puncak acara diisi dengan ceramah utama oleh Ustaz Husain Shahab.
Dalam pemaparannya, Ustaz Husain Shahab mengajak hadirin untuk tidak sekadar mengenang Karbala sebagai peristiwa historis, tetapi sebagai cermin untuk menilai kualitas hidup masing-masing. Malam ketujuh, yang dikenang sebagai malam Abul Fadhl Al-Abbas as, menjadi momentum untuk merefleksikan makna keberanian dan kesetiaan terhadap agama Allah swt. Beliau menekankan bahwa pelajaran dari Karbala hanya akan membekas jika dihayati dengan hati, bukan hanya didengar sebagai rangkaian kisah.
Ustaz Husain Shahab menggambarkan detik-detik heroik Imam Husain as yang berdiri sendiri di padang Karbala, dikelilingi oleh ribuan musuh yang telah kehilangan nurani. Meski dalam kehausan dan kesendirian, Imam as tetap memanggil umat untuk kembali kepada kebenaran, menegaskan garis keturunan sucinya dari Sayyidah Fatimah az-Zahra as, Imam Ali as, dan Rasulullah saw. Namun, hati para musuh telah tertutup. Dalam kesedihan itu, riwayat menyebut bahwa jasad para syuhada seolah ingin bangkit dan menjawab seruan Imam: Labbaika ya Husain! Seruan itu kini diteruskan oleh para pencinta beliau sepanjang zaman.
Beliau kemudian menyinggung ayat ziarah Asyura yang menyatakan: “Ya Allah, jadikanlah hidupku seperti hidup Muhammad dan keluarga beliau, dan jadikanlah matiku seperti mati mereka.” Dari situ, beliau menguraikan bahwa perbedaan usia tidak menjadi ukuran dalam hidup, melainkan kualitas yang diisinya. Di Karbala, para syuhada berasal dari berbagai rentang usia—dari bayi seperti Ali Asghar as hingga sepuh seperti Habib bin Mazahir.
Ustaz Husain Shahab mengajak jamaah untuk meneladani tokoh-tokoh Karbala dari berbagai latar belakang. Beliau menyoroti sosok seperti John, yang meskipun bukan ulama atau tokoh besar, namun kualitas pengorbanannya membuat beliau dirangkul dan dipeluk oleh Imam Husain as dalam detik-detik syahidnya. Ini menunjukkan bahwa kualitas hidup spiritual tidak hanya ditentukan oleh ilmu atau status, tetapi oleh keikhlasan dan keberpihakan terhadap kebenaran.
Dalam refleksinya terhadap musuh-musuh Imam as, beliau menjelaskan bahwa sebagian dari mereka berasal dari lingkungan religius dan bahkan dekat dengan Ahlulbait as, seperti Syimr bin Dzil-Jawsyan dan Umar bin Saad. Namun, karena terpikat oleh kekuasaan dan gemerlap dunia, mereka tergelincir. Yazid bin Muawiyah memperoleh legitimasi dari mereka yang menyebut dirinya sebagai ulama. Maka, menurut beliau, kecintaan terhadap dunia menjadi akar dari segala penyimpangan. Ustaz Husain Shahab mengingatkan bahwa sejarah mencatat bagaimana seseorang bisa berpaling dari kebenaran hanya karena iming-iming kekuasaan dan materi.
Salah satu kisah yang sangat ditekankan adalah kisah Al-Hurr bin Yazid Ar-Riyahi, seorang komandan pasukan yang awalnya menghadang Imam Husain as, namun di hari Asyura memilih untuk berpindah ke barisan Imam as. Ia menyatakan bahwa dirinya berada di antara surga dan neraka, dan memilih untuk tidak menjadi bahan bakar neraka. Ustaz Husain Shahab menggarisbawahi bahwa keberpihakan Al-Hurr menjadi simbol bahwa setiap orang, selama hidupnya, masih memiliki peluang untuk bertaubat dan mengubah arah hidup menuju kualitas yang hakiki.
Beliau menyampaikan bahwa meski kita tidak hadir secara fisik di Karbala, namun setiap orang tetap memiliki kesempatan untuk melanjutkan perjuangan Imam Husain as dengan cara menegakkan nilai-nilai kebenaran, melawan kezaliman, dan memperbaiki umat Rasulullah saw. Meneladani Ahlulbait as adalah kewajiban moral yang tidak hanya berhenti pada rasa cinta, tetapi harus terwujud dalam tindakan dan pilihan hidup.
Ustaz Husain Shahab juga menyampaikan bahwa Rasulullah saw pernah berkata bahwa ada satu ayat dalam Surah Hud yang membuat rambut beliau berubah putih, yakni ayat perintah untuk istiqamah. Ayat itu tidak hanya menuntut pribadi beliau, tapi juga menuntut agar orang-orang yang bersama beliau pun tetap dalam jalan lurus. Maka dari itu, tantangan utama umat Islam hari ini adalah menshalehkan diri sendiri dan orang-orang di sekitar mereka.
Ceramah ditutup dengan pengingat bahwa dalam setiap majelis duka Imam Husain as, ruh para suci—Sayyidah Fatimah az-Zahra as, Imam Ali as, dan Rasulullah saw—hadir secara spiritual. Hal ini ditegaskan oleh Imam Ja’far Shadiq as, karena menurut Al-Qur’an, para syuhada hidup di sisi Allah swt. Segala amal perbuatan juga tidak luput dari perhatian Allah swt, Rasulullah saw, dan para Imam Maksum as, termasuk Imam Zaman af.
Acara malam itu ditutup dengan maktam oleh Ali Fatih Syubair dan doa penutup yang dipimpin oleh Ustaz Dr. Umar Shahab.