Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta menyelenggarakan Majelis Duka memperingati malam keenam Muharram 1447 Hijriah pada Selasa malam, 1 Juli 2025. Dalam suasana duka yang mendalam, para hadirin kembali membasuh hati dan memperbarui ikrar kesetiaan kepada perjuangan Imam Husain as, dengan merenungi kisah pengorbanan utusan beliau, Muslim bin Aqil as.
Acara dibuka dengan sambutan dari Ustaz Zaki Amami. Dalam pembukaannya, beliau mengajak para hadirin untuk menghadirkan salam kepada Imam Husain as, yang secara ruhani hadir dalam majelis seperti ini. Beliau mengingatkan bahwa malam keenam Muharram adalah malam air mata atas syahadah Muslim bin Aqil as, sepupu sekaligus duta Imam Husain as ke Kufah.
Ustaz Zaki Amami menyinggung bagaimana Muslim bin Aqil as dikhianati oleh penduduk Kufah yang sebelumnya membaiatnya, namun kemudian mencabut janji karena ketakutan, tekanan, dan kecintaan terhadap dunia. Beliau mengingatkan pesan Imam Ja‘far Ash-Shadiq as agar menjadi musuh bagi orang-orang zalim dan penolong bagi yang dizalimi, serta menjadikan kisah Muslim bin Aqil as sebagai cermin bagi keberanian dan kesetiaan meski dalam kesendirian. Setelah sambutan, acara dilanjutkan dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an oleh Ustaz Ikrom Muzadi.
Ceramah utama malam itu disampaikan oleh Ustaz Abdullah Assegaf. Dalam penyampaiannya, beliau menekankan bahwa majelis duka ini tidak cukup diisi oleh tangisan emosional semata. Air mata yang keluar harus menjadi sarana pembersihan jiwa, sarana taubat, dan wujud komitmen terhadap jalan ilahi.
Ustaz Abdullah Assegaf memulai dengan mengurai situasi umat Islam pada tahun 60 Hijriah, saat Mu‘awiyah bin Abu Sufyan wafat dan Yazid secara sepihak mengumumkan kekhalifahan tanpa musyawarah atau pemilihan. Pada masa itu, umat Islam mengalami kemerosotan moral yang serius. Nilai-nilai akhlak yang ditanamkan Rasulullah saw ditinggalkan. Amar ma‘ruf nahi munkar ditanggalkan demi stabilitas, dan banyak ulama telah dibeli oleh penguasa untuk menerbitkan fatwa yang membenarkan kezaliman.
Yazid, sebagaimana dijelaskan beliau, adalah pribadi fasik yang secara terbuka melanggar syariat. Di istananya, para wanita dijadikan hiburan, syariat diinjak-injak, dan kekuasaan dijadikan alat penindasan. Namun masyarakat diam. Inilah awal dari Yazidisme: sebuah sistem kekuasaan absolut yang membungkam kebenaran, dan tetap eksis hingga hari ini dalam wajah-wajah baru.
Beliau melanjutkan, bahwa kebangkitan Imam Husain as bukan semata menolak baiat kepada Yazid sebagai pribadi, tetapi sebagai simbol penolakan terhadap setiap bentuk kekuasaan yang menolak nilai ilahi. Ketika Imam Husain as berkata, “Orang seperti aku tidak akan berbaiat kepada orang seperti dia,” itu adalah deklarasi universal — bahwa pertarungan ini bukan antar individu, melainkan antara nilai dan anti-nilai, antara kebenaran dan kekuasaan yang memperalat agama.
Imam Husain as, menurut Ustaz Abdullah Assegaf, membawa semangat risalah yang tidak akan padam oleh zaman. Maka Yazidisme, sebagai pola kekuasaan yang zalim dan menindas, akan selalu muncul kembali, baik dalam bentuk pemimpin yang menindas rakyatnya, negara-negara yang bungkam terhadap kezaliman, hingga penguasa yang merampas hak rakyat melalui korupsi struktural atau manipulasi agama.
Beliau menyebutkan bahwa pembantaian oleh Zionis Israel terhadap rakyat Palestina, serta sikap bungkam bahkan kolaboratif dari negara-negara yang mengaku Islam, adalah bentuk nyata Yazidisme masa kini. Penutupan akses bantuan, pembiaran terhadap kejahatan kemanusiaan, dan pembungkaman suara-suara kebenaran — semua ini adalah wajah kekuasaan zalim yang sama dengan Yazid bin Mu‘awiyah.
Beliau kemudian mengajak hadirin untuk bercermin: semangat Imam Husain as harus hidup dalam setiap diri yang mengaku beriman. Keberpihakan kepada kebenaran menuntut keberanian untuk keluar dari zona nyaman dan menolak diam di hadapan kezaliman. Beliau menegaskan bahwa tangisan dalam majelis ini tidak boleh menjadi pelarian batin yang menipu diri sendiri — karena dalam sejarah kebangkitan Imam Husain as, hanya sedikit yang benar-benar bersedia berdiri di sisi beliau.
Beliau kemudian mengisahkan para sahabat Imam Husain as yang tetap bertahan meski diizinkan meninggalkan Karbala. Mereka bersumpah, sekalipun dibunuh, dibakar, ditebar abunya, dihidupkan dan dibunuh kembali seribu kali, mereka tetap tidak akan meninggalkan Imam mereka. Jiwa seperti inilah, menurut beliau, yang diterangi cahaya Husaini.
Lebih jauh, Ustaz Abdullah Assegaf mengutip ucapan Imam Ja‘far Ash-Shadiq as tentang karakter mukmin sejati: bergembira ketika berbuat baik dan membagikan kebaikannya kepada orang lain, merasa takut dan menyesal saat berbuat salah, serta bersyukur dengan menjaga nikmat yang diterima. Dalam hal ini, beliau mengangkat teladan Syahid Qassem Soleimani, yang tidak pernah menyuruh orang untuk berperang, melainkan mengajak mereka untuk menyaksikan keindahan pengorbanan secara langsung.
Beliau juga menyinggung fenomena umat yang mudah marah dan terjebak dalam pertengkaran sia-sia akibat provokasi di media sosial. Ketika kehinaan menimpa Islam karena ulah segelintir orang bodoh, beliau mengingatkan untuk kembali melihat akar persoalan: musuh sejati adalah Amerika Serikat dan Zionis Israel, sebagaimana selalu ditekankan oleh Rahbar.
Di akhir ceramahnya, Ustaz Abdullah Assegaf mengingatkan bahwa kemenangan sejati hanya akan datang ketika umat mampu taat kepada pemimpin ilahi. Imam Mahdi afj dalam doanya memohon kepada Allah swt agar umat diberikan taufik untuk taat. Kegaiban beliau bukan tanpa alasan — ia adalah cermin dari kesulitan umat untuk tunduk dan menjauhi maksiat. Maka umat harus mengaminkan doa Imam Mahdi afj, berjuang membersihkan jiwa, dan memantaskan diri untuk menjadi bagian dari barisan yang siap menegakkan kebenaran.
Seusai ceramah, majelis dilanjutkan dengan pembacaan maktam oleh Robbani dan Sajjad yang membawakan syair-syair duka. Sebagai penutup, Ustaz Dr. Umar Shahab memimpin doa, memohonkan syafaat dan kekuatan agar semangat perjuangan Imam Husain as tetap hidup dalam diri kaum mukminin.