Majelis Taklim Akhwat ICC Zainab Al-Kubro kembali diselenggarakan pada Rabu, 3 September 2025, pukul 10.00 WIB di Aula ICC Jakarta. Kajian rutin ini menghadirkan Syaikh Mohammad Sharifani selaku Direktur ICC Jakarta sebagai penutur utama dan diterjemahkan oleh Ustaz Umar Shahab. Pada kesempatan kali ini, tema kajian difokuskan pada pembahasan dampak dari kemusyrikan, dengan penjelasan yang merujuk pada ayat-ayat pilihan, khususnya dari Surah Yusuf dan Surah Luqman.
Syaikh Mohammad Sharifani membuka kajian dengan membacakan firman Allah dalam Surah Yusuf ayat 39: “Yā shāḥibayis-sijni a’arbābun mutafarriqūna khairun amillāhul-wāḥidul-qahhār” – “Wahai dua penghuni penjara, manakah yang lebih baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Mahaperkasa?” Beliau menjelaskan bahwa ayat ini sejalan dengan pandangan Luqman al-Hakim yang banyak menekankan tauhid dalam nasihat-nasihatnya. Luqman bukan termasuk 25 nabi yang dikenal, namun masyhur sebagai seorang hamba yang sangat berilmu dan penuh hikmah. Hikmah sendiri adalah pengetahuan tentang nilai-nilai kebaikan, dan orang yang berpengetahuan benar tentang kebaikan itulah yang disebut hakim. Luqman digambarkan dalam Al-Qur’an sebagai seorang yang filosofis, bijaksana, dan hakim. Pandangan-pandangan Luqman lebih banyak difokuskan pada persoalan ketauhidan, dan hal itu menjadi dasar penting dalam memahami bahaya kemusyrikan.
Menurut Syaikh Sharifani, tauhid berarti menolak segala bentuk syirik. Salah satu dampak buruk dari syirik adalah kekalutan batin dan kebingungan pemikiran. Orang musyrik selalu berada dalam kegelisahan karena kehidupannya tidak diarahkan hanya kepada Allah. Bila manusia mengarahkan hidupnya kepada selain Allah, misalnya hanya mengejar materi atau kedudukan, maka ia akan kehilangan ketenangan. Karena itu, hidup semestinya diarahkan sepenuhnya kepada Allah: melakukan sesuatu untuk Allah, kepada Allah, dan karena Allah.
Dampak kedua dari syirik adalah dhulmun ‘azhīm atau kezaliman yang besar. Hal ini dijelaskan dalam Surah Luqman ayat 13: “Wa idz qāla Luqmānu libnihi wa huwa ya‘idhuhu yā bunayya lā tusyrik billāh, innasy-syrika la-dhulmun ‘azhīm.” (“Ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, saat dia menasihatinya, ‘Wahai anakku, janganlah mempersekutukan Allah! Sesungguhnya mempersekutukan Allah itu benar-benar kezaliman yang besar.’”) Beliau menekankan bahwa setiap kali Al-Qur’an menggunakan kata idz, itu menunjukkan sebuah pengingat penting. Karena itu ayat ini adalah peringatan agar kita memperhatikan serius pesan Luqman. Menariknya, Luqman menyapa anaknya dengan kata yā bunayya (wahai anakku), bukan dengan nama, untuk menunjukkan kedekatan emosional. Cara ini menegaskan bahwa nasihat akan lebih efektif bila disampaikan dengan penuh kasih sayang.
Dalam penjelasan Syaikh Sharifani, terdapat tiga bentuk cara berbicara dalam menyampaikan pesan: pertama, dengan argumentasi; kedua, dengan perdebatan; dan ketiga, dengan nasihat. Bentuk yang paling efektif adalah nasihat yang disertai argumentasi, sebagaimana dicontohkan Luqman.
Dampak ketiga dari syirik adalah dosa besar yang tidak akan diampuni kecuali dengan taubat. Hal ini ditegaskan dalam Surah An-Nisa’ ayat 48: “Innallāha lā yaghfiru an yusyraka bihī wa yaghfiru mā dūna dzālika liman yasyā’, wa may yusyrik billāhi faqadiftarā itsman ‘azhīmā.” (“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa karena mempersekutukan-Nya, dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa besar.”)
Beliau menjelaskan bahwa dosa terbagi dua: pertama, dosa yang meskipun besar masih terbuka peluang untuk diampuni Allah tanpa taubat, seperti ghibah yang insyaAllah dapat ditebus dengan salat dua rakaat; kedua, dosa yang tidak akan diampuni kecuali dengan taubat, yaitu syirik. Karena itu, syirik disebut dosa yang paling berbahaya. Namun demikian, pintu taubat tetap terbuka. Dalam Surah Az-Zumar ayat 53, Allah berfirman: “Qul yā ‘ibādiya alladzīna asrafū ‘alā anfusihim lā taqnaṭū min raḥmatillāh, innallāha yaghfirudz-dzunūba jamī‘ā, innahu huwa al-ghafūrur-raḥīm.” (“Katakanlah, wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas atas dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni segala dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”) Ayat ini menegaskan bahwa semua dosa bisa diampuni, tetapi syirik menjadi pengecualian bila tanpa taubat. Adapun dosa selain syirik bisa terhapus tidak hanya dengan salat, tetapi juga dengan ziarah kepada Imam Husain as, doa orang tua untuk anak, atau dengan sedekah.
Dampak keempat dari syirik adalah kehinaan hidup. Surah Al-Isra’ ayat 22 menegaskan: “Lā taj‘al ma‘allāhi ilāhan ākhara fa taq‘uda madzmūman makhdzūlā.” (“Janganlah engkau menjadikan tuhan lain bersama Allah, nanti engkau menjadi tercela dan terhina.”)
Dampak kelima adalah masuk neraka. Surah Al-Isra’ ayat 39 menyebutkan: “Dzālika mimmā awḥā ilayka rabbuka minal-ḥikmah, walā taj‘al ma‘allāhi ilāhan ākhara fa tulqā fī jahannama malūman madḥūrā.” (“Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhan kepadamu. Janganlah engkau menjadikan tuhan lain di samping Allah, yang menyebabkan engkau dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela lagi terusir.”)
Dampak keenam, orang musyrik tidak akan mampu menyelesaikan masalah hidupnya. Meskipun memiliki kemajuan ekonomi dan teknologi, kehidupan yang tidak berpijak pada jalan Allah tetap akan menemui jalan buntu. Surah Al-Isra’ ayat 42 menegaskan: “Qul law kāna ma‘ahu ālihatun kamā yaqūlūna idzan labtaghaw ilā dzīl-‘arsyi sabīlā.” (“Katakanlah, seandainya ada tuhan-tuhan di samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada Tuhan Pemilik ‘Arasy.”)
Dampak ketujuh adalah terhapusnya pahala amal kebaikan. Surah Az-Zumar ayat 65 menyebutkan: “Wa laqad ūḥiya ilayka wa ilalladzīna min qablika la’in asyrakta layaḥbaṭanna ‘amaluka wa latakūnanna minal-khāsirīn.” (“Sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu, bahwa jika kamu mempersekutukan Allah, niscaya gugurlah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.”) Dengan demikian, amal saleh orang musyrik tidak akan bernilai di sisi Allah.
Menutup pembahasan ini, Syaikh Mohammad Sharifani juga menjelaskan motif orang-orang musyrik yang dibeberkan dalam Al-Qur’an. Mereka senantiasa mengejar kekuasaan, padahal manusia itu lemah. Dalam Surah Al-Hajj ayat 73 Allah berfirman: “Yā ayyuhan-nāsu ḍuriba matsalun fastami‘ū lah, innalladzīna tad‘ūna min dūnillāhi lay yakhluqū dzubāban wa lawijtama‘ū lah, wa iy yaslubhumudz-dzubābu syai’an lā yastanqidzūhu minh, ḍa‘ufaṭ-ṭālibu wal-maṭlūb.” (“Wahai manusia, telah dibuat suatu perumpamaan, maka dengarkanlah! Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, meskipun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, mereka tidak akan dapat merebutnya kembali darinya. Lemahlah yang menyembah dan yang disembah.”) Ayat ini menegaskan bahwa pemilik kekuasaan sejati hanyalah Allah SWT.
Beliau kemudian merinci lima kategori kekuasaan: pertama, kekuasaan sosial seperti penguasa atau pejabat; kedua, kekuatan ekonomi; ketiga, kekuatan fisik; keempat, kekuatan ilmu; dan kelima, kekuatan spiritual. Dari semua kategori ini, hanya kekuatan spiritual yang memiliki dimensi hakiki karena bersumber dari Allah. Semua kekuatan lain pada dasarnya lemah.
Kajian kemudian ditutup dengan doa dan ajakan untuk meneguhkan tauhid dalam kehidupan sehari-hari. Seperti biasa, Majelis Taklim Akhwat ICC Zainab Al-Kubro menjadi wadah rutin setiap Rabu pukul 10.00 WIB di Aula ICC Jakarta untuk memperdalam ajaran Al-Qur’an dan nilai-nilai Ahlulbait. InsyaAllah pada pekan mendatang, kajian akan kembali dilanjutkan dengan tema berikutnya.