Dalam suasana khidmat di Majelis Taklim Zainab Al-Kubro yang diselenggarakan di Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta, pada 18 Juni 2025, Direktur ICC, Dr. Mohammad Sharifani, menyampaikan ceramah bertema konsep keluarga di dalam Al-Qur’an dan tafsir Surah Al-Kautsar. Acara ini dihadiri oleh para jamaah ibu-ibu pengajian, dan diterjemahkan langsung oleh Ustaz Dr. Umar Shahab untuk memperjelas materi yang disampaikan.
Dr. Mohammad Sharifani membuka ceramahnya dengan mengingatkan pentingnya bersyukur kepada Allah SWT dan memohon hidayah-Nya. Beliau menekankan bahwa pembahasan-pembahasan mendalam seperti yang dibawakan tidak cukup jika hanya dilakukan sekali. “Mungkin di awal akan terkesan berat, sulit dipahami, bahkan membosankan. Tapi kalau kita sabar dan tekun, niscaya kita akan jatuh cinta kepada ilmu itu sendiri,” ujar beliau.
Untuk menjelaskan pentingnya kesabaran dalam menuntut ilmu, Dr. Sharifani menukil kisah Ayatullah Mizbah Yazdi, seorang filsuf besar Iran, yang selama enam bulan mengikuti majelis Allamah Thabathaba’i tanpa merasakan peningkatan pemahaman yang berarti. Namun, setelah enam bulan berlalu, satu penjelasan Allamah Thabathaba’i membuka pemahaman besar baginya, seolah menggantikan enam tahun pembelajaran. Dari pengalaman itu, Dr. Sharifani menarik kesimpulan bahwa ilmu yang benar menuntut ketekunan dan kesabaran.
Dr. Sharifani kemudian menyampaikan tentang klasifikasi keluarga dalam Al-Qur’an, yang secara garis besar terbagi menjadi empat kategori.
Kategori pertama adalah keluarga dengan suami dan istri yang sama-sama buruk. Contoh dari kategori ini adalah keluarga Abu Lahab. Kedua tokoh ini tidak hanya menolak risalah Nabi, tetapi juga aktif mengganggu dan melawan perjuangan Rasulullah SAW sepanjang hayat mereka.
Kategori kedua memperlihatkan perbedaan tingkat keimanan dalam rumah tangga: seorang istri yang salehah, namun memiliki suami yang kafir dan zalim. Asiyah, istri Firaun, dijadikan contoh. Ia hidup sebagai istri seorang penguasa bengis, namun tetap menjaga imannya. Lebih dari itu, Asiyah menjadi satu dari empat perempuan mulia. Tiga lainnya adalah Maryam (ibu Nabi Isa as), Sayyidah Khadijah (istri Rasulullah), dan Sayyidah Fatimah (putri Rasulullah). Yang menarik, hanya Asiyah yang tidak berasal dari keluarga kenabian, namun pencapaian spiritualnya membuatnya sejajar dengan para wanita suci lainnya.
Kategori ketiga adalah kebalikannya: suami yang saleh namun memiliki istri yang menolak kebenaran. Contohnya adalah Nabi Nuh as dan Nabi Luth as.
Dr. Sharifani menekankan bahwa tiga kategori tersebut bukanlah gambaran keluarga ideal. Karena itu, Al-Qur’an menegaskan pentingnya kufu dalam pernikahan—kecocokan dalam nilai, iman, dan akhlak. Sebab tanpa itu, keluarga akan menjadi ladang ujian yang berat.
Sebagai contoh keluarga ideal, beliau menyebut keluarga Sayyidah Fatimah as dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Riwayat menyatakan bahwa “kalau bukan karena Ali, tak akan ada lelaki yang layak untuk Fatimah.” Begitu pun sebaliknya. Sebuah kesepadanan spiritual dan akhlak yang sempurna.
Untuk memperdalam pemahaman tentang kesempurnaan keluarga tersebut, Dr. Sharifani mengajak hadirin menelaah Surah Al-Kautsar secara rinci. Menurutnya, surah ini bukan hanya berkaitan dengan anugerah besar yang diberikan kepada Rasulullah SAW, tetapi juga menyimpan isyarat penting. Surah ini dimulai dengan kata inna—“Sesungguhnya Kami”. Kata ini hanya digunakan saat Allah SWT hendak menyampaikan sesuatu yang sangat penting.
Beliau menyebutkan beberapa contoh untuk memperkuat hal ini. Yang pertama adalah ayat tentang pengutusan Nabi Nuh as: inna arsalnā Nūḥā. Nabi Nuh dipilih sebagai rasul pertama pembawa risalah samawi dalam sejarah umat manusia. Dalam pandangan Dr. Sharifani, hal yang datang lebih dulu dalam sejarah kenabian sering kali menjadi fondasi bagi yang datang sesudahnya. Maka, penggunaan kata inna di sini menandakan pentingnya peristiwa tersebut.
Contoh kedua yang beliau sampaikan adalah firman Allah kepada Nabi Muhammad SAW: innā fataḥnā laka fatḥan mubīnâ (Sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepadamu kemenangan yang nyata). Menurut beliau, meski Rasulullah SAW mengalami banyak peristiwa besar sejak masa kelahiran hingga wafat, pembebasan Kota Makkah adalah puncak dari semuanya. Momen ini menjadi titik balik besar dalam sejarah dakwah Islam—ketika seluruh Jazirah Arab yang semula memerangi akhirnya tunduk pada risalah Islam.
Contoh ketiga adalah Surah Al-Qadr: innā anzalnāhu fī lailatil-qadr (Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada Lailatul Qadar). Dr. Sharifani menjelaskan bahwa turunnya Al-Qur’an merupakan momen yang tidak hanya penting bagi umat manusia, tetapi juga bagi seluruh alam semesta. Penggunaan kata inna menunjukkan bobot spiritual peristiwa tersebut. Lebih dari itu, beliau menekankan bagaimana Allah SWT menyusul ayat itu dengan pertanyaan: wa mā adrāka mā lailatul-qadr (Tahukah kamu apakah Lailatul Qadar itu?). Pertanyaan ini, kata beliau, adalah penanda lain bahwa Lailatul Qadar mengandung makna yang luar biasa.
Barulah setelah itu Dr. Sharifani masuk pada Surah Al-Kautsar. Di sini, beliau mengajak jamaah merenungi logika pemberian: nilai suatu hadiah tidak hanya terletak pada bentuknya, tetapi pada siapa pemberinya. Beliau memberi analogi, jika seorang presiden atau guru besar memberi hadiah kepada kita, nilainya menjadi sangat tinggi. Maka ketika Allah SWT sendiri yang memberikan hadiah kepada Rasulullah SAW, yaitu Sayyidah Fatimah as, maka jelas bahwa hadiah itu bernilai sangat tinggi.
Dr. Sharifani menjelaskan bahwa secara bahasa, kata Al-Kautsar itu memiliki 19 makna. Tapi arti yang paling tepat adalah khairan katsīr, yang berarti kebaikan yang melimpah. Artinya, Sayyidah Fatimah akan membawa kebaikan yang sangat berlimpah kepada Rasulullah SAW, kaum Muslimin, dan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat. Di dalam ayat lain Allah SWT juga menggunakan kata khairan katsīr: wa may yu’ṭal-ḥikmata faqad ūtiya khairan katsīrā (Siapa yang dianugerahi hikmah, sungguh dia telah dianugerahi kebaikan yang banyak).
Menurut Dr. Sharifani, hikmah yang dimaksud adalah makna tersembunyi atau rahasia dari segala sesuatu. Kalau kita hubungkan makna khairan katsīr dalam Surah Al-Kautsar, Sayyidah Fatimah adalah rahasia sekaligus inti dari alam semesta ini. Maka seluruh kebaikan dari alam semesta ini ada pada diri Sayyidah Fatimah.
Di dalam sebuah hadis Qudsi, Allah SWT berfirman kepada Nabi SAW: “Kalau bukan karena engkau (wahai Muhammad), niscaya Aku tidak akan menciptakan alam semesta. Kalau bukan karena Ali, Aku tidak akan menciptakanmu. Dan kalau bukan karena Fatimah, Aku tidak akan menciptakan engkau dan Ali.”
Menurut Dr. Sharifani, Al-Kautsar adalah satu-satunya surah di mana Allah SWT menyeru “Engkau” kepada Nabi SAW sebanyak lima kali. Ini menunjukkan bagaimana Nabi Muhammad SAW diminta oleh Allah SWT untuk memperhatikan benar-benar sesuatu yang Allah SWT berikan, yaitu Sayyidah Fatimah as. Allah SWT telah memberikan Rasulullah SAW sebuah hadiah yang sangat istimewa sehingga Allah SWT meminta kepada Rasulullah SAW untuk membalas atau melakukan sesuatu sebagai bentuk terima kasih, yaitu: fa ṣalli li rabbika wanḥar (mendirikan salat dan berbagi). Dr. Sharifani menyampaikan bahwa hal ini punya makna yang sangat tinggi di dalam irfan.
Menurut Dr. Sharifani, makna mendalam dari Surah Al-Kautsar tidak dapat dilepaskan dari ayat-ayat lain dalam Al-Qur’an yang menghubungkan antara nikmat Ilahi, rasa syukur, dan tanggung jawab spiritual-sosial. Di sejumlah permulaan surah seperti Al-Baqarah, An-Naml, Al-Anfal, dan Luqman, Allah SWT menyatakan bahwa dua pilar utama kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat adalah salat (hubungan vertikal dengan Allah) dan infak (hubungan horizontal dengan sesama manusia). Dua hal inilah yang juga ditekankan dalam Surah Al-Kautsar ketika Allah SWT memerintahkan Nabi SAW mendirikan salat dan berbagi sebagai bentuk syukur atas karunia agung: Sayyidah Fatimah as.
Dr. Sharifani kemudian menekankan bahwa perintah Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW ini bukan sekadar bentuk balas budi, tetapi merupakan jaminan. Sebagaimana nikmat harus dijaga agar tidak dicabut, demikian pula Sayyidah Fatimah as adalah amanah yang memerlukan penjagaan dalam bentuk ibadah dan pengorbanan. Maka dari itu, kita pun—dalam hidup kita hari ini—membutuhkan bentuk jaminan atas nikmat yang Allah berikan. Dan cara menjaganya, kata beliau, adalah dengan dua rakaat salat dan sedekah.
Dalam kaitan yang lebih luas, Dr. Sharifani mengutip ayat:
Huwa alladzī arsala rasūlahu bil-hudā wa dīn al-ḥaqqi liyuẓ-hirahu ‘ala ad-dīn kullihī walaw kariha al-musyrikūn (Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia menampakkannya di atas semua agama, walaupun orang-orang musyrik membencinya).
Ini menunjukkan bahwa Islam akan unggul di atas semua agama lain dan sudah merupakan ketetapan ilahi. Kemenangan itu kemudian ditegaskan pula dalam ayat lain:
Wa laqad katabnā fī az-Zabūr mim ba‘diż-Żikr anna al-arḍa yarithuhā ‘ibādiyyaṣ-ṣāliḥūn (Sungguh, Kami telah menuliskan dalam Zabur, setelah (tertulis) dalam az-Zikr, bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh).
Dr. Sharifani menutup pembelajaran hari itu dengan membahas ayat terakhir dalam Surah Al-Kautsar yang berbunyi: inna syāni’aka huwa al-abtar (Sesungguhnya orang yang membencimu, dialah yang terputus [dari rahmat Allah]). Beliau menegaskan bahwa Al-Kautsar juga bermakna kesinambungan risalah. Karena Allah SWT memberikan Al-Kautsar, maka justru musuh-musuh Nabi SAW yang terputus dan kalah. Pada saat itu, banyak yang meragukannya karena kaum Muslimin masih sangat sedikit. Tapi ayat ini terbukti: pengikut Nabi SAW terus bertambah dan hari ini Islam menjadi agama yang besar.