Majelis Taklim Zainab Al-Kubro di Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta pada 16 Juli 2025 menghadirkan kajian mendalam bersama Direktur ICC, Syaikh Mohammad Sharifani, dengan Ustaz Umar Shahab bertindak sebagai penerjemah. Pada kesempatan tersebut, Syaikh Sharifani membawakan materi khusus tentang tadabbur Surah Al-Fatihah, dengan penjelasan yang menekankan pentingnya penghayatan ayat demi ayat.
Dalam pembukaannya, beliau menekankan bahwa setiap Muslim memiliki tiga langkah pokok yang harus dijalankan agar bisa berinteraksi dengan Al-Qur’an secara utuh. Langkah pertama adalah qiraat, yaitu membaca ayat-ayat Al-Qur’an dengan tartil dan sesuai adab tilawah. Membaca menjadi fondasi pengikat hubungan ruhani seorang hamba dengan Tuhannya. Langkah kedua adalah tadabbur, yakni menelaah maksud yang terkandung di balik setiap ayat, memperhatikan pesan yang tersimpan di antara rangkaian kata, dan menghubungkannya dengan kehidupan. Menurut beliau, membaca saja tidak cukup jika tidak disertai tadabbur, sebab perintah tadabbur datang setelah perintah membaca. Langkah ketiga adalah tafsir, yaitu upaya mendalami penjelasan ayat secara komprehensif, sebuah tanggung jawab besar yang menjadi amanat para ulama dan ahli tafsir. Namun bagi kebanyakan orang, cukup dengan menjaga rutinitas membaca dan melakukan tadabbur agar hati tetap terhubung dengan firman Allah SWT.
Lebih jauh, Syaikh Sharifani menjelaskan posisi Surah Al-Fatihah sebagai surah pembuka yang istimewa. Surah ini memiliki beberapa nama yang menegaskan keutamaannya. Nama Fatihatul Kitab menandakan perannya sebagai pembuka mushaf. Nama Ummul Kitab menegaskan bahwa seluruh intisari Al-Qur’an terhimpun di dalamnya, menjadikannya induk dari pokok ajaran kitab suci. Nama As-Sab’ul Matsani berarti tujuh ayat yang diulang-ulang karena selalu dilantunkan dalam setiap rakaat shalat. Sementara Al-Hamd merujuk pada kandungannya yang berpusat pada pujian kepada Allah SWT. Menurut beliau, tiga tema pokok Al-Qur’an seluruhnya terangkum dalam Surah Al-Fatihah: tauhid yang mengajarkan keesaan Allah, nubuwwah yang menegaskan peran kenabian, serta ma’ad yang mengingatkan manusia pada kepastian hari kebangkitan dan pembalasan.
Untuk memperkuat pemahaman tentang kandungan Surah Al-Fatihah, beliau mengutip sebuah riwayat dari Imam Ja‘far Shadiq as. Dalam satu kesempatan, Imam Ja‘far Shadiq as pernah mengajukan pertanyaan kepada Abu Hanifah mengenai surah yang di dalamnya memuat pujian kepada Allah, keikhlasan beribadah, serta permohonan doa. Abu Hanifah, meskipun dikenal sebagai imam mazhab fikih, mengaku tidak tahu jawaban pasti. Imam Ja‘far Shadiq as lalu menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah Surah Al-Fatihah. Ayat Bismillâhir-Rahmânir-Rahîm hingga Mâliki Yaumid-Dîn mengandung pujian, Iyyâka Na‘budu Wa Iyyâka Nasta‘în menunjukkan keikhlasan beribadah hanya kepada Allah SWT, dan Ihdinash-Shirâthal-Mustaqîm menjadi rangkaian permohonan doa. Syaikh Sharifani juga menyinggung pengakuan Abu Hanifah yang pernah mengatakan bahwa andai beliau tidak berguru selama dua tahun di majelis Imam Ja‘far Shadiq as, niscaya ia akan celaka. Hal ini menggambarkan betapa mendalamnya pemahaman Surah Al-Fatihah di kalangan para imam terdahulu.
Beliau melanjutkan dengan menjabarkan empat ragam pujian yang tercakup dalam Surah Al-Fatihah. Yang pertama adalah pujian berkarakter irfan, yakni pengakuan mutlak bahwa hanya Allah SWT yang layak dipuji, sebagaimana tercermin dalam kalimat Al-Ḥamdu Lillâhi. Yang kedua, pujian lahir dari rasa syukur karena Allah SWT adalah Rabbil-‘Âlamîn, Pemelihara seluruh alam semesta, yang menjaga, melindungi, dan membimbing umat manusia. Yang ketiga adalah pujian yang bersifat timbal-balik atau transaksional; Allah SWT menganugerahkan nikmat rezeki, kesehatan, keselamatan, dan berbagai kebaikan lain, dan manusia membalasnya dengan pujian, syukur, dan pengagungan. Yang keempat adalah pujian yang lahir dari rasa takut dan kesadaran akan adanya hari pembalasan, sebagaimana ditegaskan dalam Mâliki Yaumid-Dîn. Kesadaran ini menanamkan rasa takut agar manusia senantiasa waspada dan terhindar dari perbuatan dosa.
Pada bagian doa, ayat Ihdinash-Shirâthal-Mustaqîm menjadi simpul yang menegaskan kebutuhan seorang hamba akan bimbingan Allah SWT agar senantiasa berjalan di jalan yang lurus. Syaikh Sharifani mengingatkan bahwa manusia, betapapun berilmu, tetap harus memohon petunjuk setiap waktu. Beliau mengutip riwayat tentang Imam Ali as yang pernah ditanya mengapa beliau masih berdoa memohon hidayah meski sudah jelas berada di jalan petunjuk. Imam Ali as menjawab bahwa hidayah memiliki kedalaman dan keluasan yang tidak berbatas, sehingga manusia memerlukan penjagaan terus-menerus agar tidak tergelincir, bahkan walau hanya sekejap.
Untuk memperjelas makna Shirâthal Mustaqîm, Syaikh Sharifani merujuk beberapa penjelasan ayat. Di Surah Al-Fatihah, jalan lurus digambarkan sebagai Shirâthal-Ladzîna An‘amta ‘Alaihim, jalan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah SWT. Jalan ini bukanlah jalan orang-orang yang dimurkai (Ghairil Maghdlûbi ‘Alaihim) atau orang-orang yang sesat (Wa Ladh-Dhâllîn). Orang-orang yang dimurkai adalah mereka yang melakukan dosa dan pelanggaran syariat, sedangkan orang-orang yang sesat adalah mereka yang mengingkari kebenaran. Syaikh Sharifani juga menekankan metode Al-Qur’an yang terkadang menjelaskan sesuatu melalui lawannya. Dengan mengenali jalan kebatilan, seseorang dapat lebih memahami makna jalan lurus.
Beliau menambahkan bahwa Surah An-Nisa ayat 69 menjelaskan jalan lurus sebagai jalan para nabi, para pecinta kebenaran (shiddiqin), para syuhada, dan orang-orang saleh. Surah Yasin pun menegaskan bahwa Nabi Muhammad saw berada di atas jalan lurus: Innaka Laminal-Mursalîn ‘Alâ Shirâthin Mustaqîm. Dengan kata lain, siapa pun yang hendak menempuh jalan lurus, hendaknya meneladani apa yang dilakukan Rasulullah saw.
Beliau juga memaparkan ayat-ayat lain yang menegaskan sifat jalan lurus. Allah SWT memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki menuju jalan yang lurus sebagaimana tertulis dalam Surah Al-Baqarah ayat 213, serta menyempurnakan nikmat-Nya dengan membimbing ke jalan lurus (Al-Fath ayat 2). Jalan lurus disebut sebagai Shirâthullah, jalannya Allah SWT, seperti termaktub dalam Asy-Syura ayat 52–53. Allah memerintahkan manusia agar menempuh jalan lurus ini secara konsisten, sebagaimana dalam Surah Al-An‘am ayat 153. Iblis pun bersumpah akan selalu menghalangi manusia dari jalan lurus, sebagaimana tertulis dalam Surah Al-A‘raf ayat 16. Surah Al-Ma’idah ayat 16 menjelaskan bahwa siapa yang mengikuti ridha Allah akan dibimbing kepada jalan keselamatan. Pada akhirnya, Syaikh Sharifani menutup penjelasannya dengan ayat yang menegaskan bahwa ibadah murni kepada Allah adalah hakikat jalan lurus, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Yasin ayat 61: Wa ani‘budûnî, hâdzâ shirâthum mustaqîm.