Sabtu, 22 Agustus 2025, Majelis Doa Ziarah Jami‘ah al-Kabirah diselenggarakan di MI Az-Zahra, Cipete, dengan dihadiri jamaah dari berbagai kalangan. Acara ini diisi dengan lantunan doa bersama dan tausiah mendalam dari Direktur ICC Jakarta, Syeikh Mohammad Sharifani, yang secara khusus mengulas makna ungkapan-ungkapan dalam doa Ziarah Jami‘ah al-Kabirah. Pada kesempatan kali ini, Syeikh Mohammad Sharifani melanjutkan kajian mengenai kedalaman istilah akal sebagaimana tercermin dalam doa tersebut, khususnya dalam ungkapan “wa dzawin nuha” dan “wa ulil hijja.”
Syeikh Mohammad Sharifani menegaskan bahwa untuk memahami makna dua istilah tersebut, terlebih dahulu perlu disadari bahwa bahasa Arab memiliki keunggulan dibanding bahasa lain. Bahasa ini tidak sekadar alat komunikasi, melainkan memiliki keluasan makna yang sangat dalam. Dalam bahasa Indonesia, kata “akal” hanya dikenal dengan satu istilah. Namun dalam Al-Qur’an, kata akal diterjemahkan melalui berbagai istilah berbeda, seperti ‘aql, fu’ad, bashar, fikr, nuha, hingga hijja. Masing-masing kata membawa dimensi dan sudut pandang yang berbeda, sehingga pemahaman mendalam atas istilah itu penting agar tidak kehilangan makna yang kaya.
Menurut Syeikh Mohammad Sharifani, inilah salah satu alasan mengapa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, karena bahasa tersebut mampu memuat keluasan makna yang sesuai untuk menjadi kitab suci hingga akhir zaman. Beliau menjelaskan bahwa akal dalam pengertian umum adalah cahaya atau kekuatan yang Allah anugerahkan kepada manusia agar dapat membedakan yang benar dan salah, serta menuntun manusia kepada kebaikan.
Dalam doa Ziarah Jami’ah Kabirah, ungkapan “wa dzawin nuha” dan “wa ulil hijja” dimaknai sebagai pengakuan bahwa Ahlulbayt memiliki kesempurnaan akal. Kata nuha berasal dari akar kata yang sama dengan nahi, yang berarti larangan. Maka, Ahlulbayt dengan kesempurnaan nuha mereka, memiliki akal yang mampu menahan diri dari segala keburukan dan dosa. Sementara itu, kata hijja berkaitan dengan hujjah atau dorongan, sehingga ulil hijja dimaknai sebagai Ahlulbayt yang akalnya mendorong mereka untuk melakukan kebaikan dan kepatuhan kepada Allah. Dengan demikian, ziarah ini menampilkan dua sisi akal yang sempurna: sisi yang menahan dari keburukan sekaligus sisi yang mendorong kepada kebaikan.
Syeikh Mohammad Sharifani kemudian menekankan pentingnya peran akal dalam kehidupan beragama dengan membacakan beberapa ayat Al-Qur’an. Ia mengutip Surah Al-Mulk ayat 10, di mana para penghuni neraka mengakui bahwa mereka tidak menggunakan akal ketika hidup di dunia, sehingga menjadi sebab bagi mereka masuk ke dalam Sa’ir. Beliau menegaskan, ayat ini menunjukkan betapa besar peran akal sebagai jalan keselamatan. Jika akal benar-benar digunakan, maka manusia akan dituntun kepada kebaikan dan terhindar dari kebinasaan.
Selanjutnya, beliau membaca Surah Ar-Ra’d ayat 4 yang menggambarkan bagaimana tanaman yang berbeda tumbuh dari air yang sama, namun menghasilkan rasa dan manfaat yang berbeda-beda. Menurut penjelasannya, fenomena alam ini adalah tanda kebesaran Allah yang hanya dapat ditangkap oleh orang-orang yang mau berpikir. Syeikh Mohammad Sharifani memberi contoh nyata dari bentang alam Indonesia yang kaya dengan beragam tanaman dan buah, padahal sama-sama disirami dengan air hujan. Hal ini seharusnya menumbuhkan kesadaran untuk merenungkan kekuasaan Allah.
Beliau juga membacakan Surah Al-Anbiya ayat 67, percakapan Nabi Ibrahim dengan kaumnya, yang dimulai dengan celaan “uffil lakum” sebagai kecaman keras bagi mereka yang tidak menggunakan akalnya ketika menyembah berhala. Menurut Syeikh Mohammad Sharifani, ayat ini menegaskan bahwa setiap manusia telah diberi akal, dan jika seseorang tetap berada dalam kebodohan dan penyembahan selain Allah, itu bukan karena kekurangan akal, melainkan karena akalnya tidak digunakan dengan benar.
Kemudian beliau mengutip Surah Yunus ayat 100, yang menegaskan bahwa Allah menimpakan azab kepada orang-orang yang tidak mau mengerti. Ayat ini menunjukkan bahwa menjauh dari akal akan berujung pada kesia-siaan dan murka Allah.
Setelah menguraikan ayat-ayat Al-Qur’an, Syeikh Mohammad Sharifani membawakan riwayat-riwayat Ahlulbayt tentang akal. Beliau menyampaikan sabda Imam Ali yang berkata bahwa akal adalah sesuatu yang dapat menyelamatkan manusia. Syeikh Mohammad Sharifani menambahkan penjelasan bahwa jika seseorang merasa terjebak dalam masalah besar, bisa jadi ia tidak menggunakan akalnya dengan benar. Akal seharusnya membawa manusia keluar dari masalah, bukan menjerumuskannya.
Beliau juga membawakan sabda Rasulullah bahwa orang yang berakal adalah yang bersikap halm atau sabar terhadap orang yang berbuat kebodohan karena ketidaktahuan. Sebagai contoh, beliau menceritakan kisah Malik al-Asytar, sahabat Imam Ali yang sangat disegani. Suatu ketika ia dimaki oleh seorang pemuda yang tidak mengenalinya. Setelah mengetahui siapa Malik al-Asytar sebenarnya, pemuda itu ketakutan dan mencari beliau untuk meminta maaf. Malik al-Asytar tidak hanya memaafkan sejak awal, tetapi bahkan berdoa di masjid agar Allah mengampuni pemuda tersebut. Kisah ini, menurut Syeikh Mohammad Sharifani, adalah teladan nyata bagaimana orang berakal menghadapi kebodohan dengan kelembutan hati.
Syeikh Mohammad Sharifani juga mengutip sabda Imam Ali bahwa orang berakal akan berpikir sebelum berbicara, sementara orang bodoh berbicara sebelum berpikir. Ia kemudian menuturkan kebiasaan Salman al-Farisi yang selalu meminta waktu tiga hari sebelum menjawab pertanyaan. Salman menjelaskan bahwa ia ingin memastikan jawabannya tidak membawanya kepada neraka. Dari sini, jamaah diingatkan bahwa setiap kata yang diucapkan memiliki konsekuensi besar.
Riwayat lain yang disampaikan adalah tentang Imam Ja’far al-Shadiq. Suatu hari, seseorang datang memuji seorang lelaki karena ibadahnya yang panjang dalam rukuk dan sujud. Imam Ja’far bertanya: bagaimana dengan akalnya? Hal itu menegaskan bahwa ibadah fisik tanpa akal tidak memiliki keutamaan. Dalam kesempatan lain, Imam Ja’far juga ditanya tentang seorang yang was-was berlebihan dalam amalnya. Beliau menegaskan bahwa sifat was-was adalah tanda lemahnya akal. Maka, ukuran kebaikan seseorang tidak hanya pada amal lahiriah, tetapi pada sejauh mana akalnya digunakan.
Syeikh Mohammad Sharifani melanjutkan dengan kisah seorang guru yang datang kepada Imam Ja’far al-Shadiq dan menceritakan tentang tiga muridnya dengan tingkat pemahaman berbeda. Imam menjelaskan bahwa perbedaan itu berasal dari penjagaan diri orang tua masing-masing terhadap perkara halal, makruh, dan sunnah sejak sebelum anak lahir. Kisah ini menegaskan bagaimana kondisi spiritual orang tua berpengaruh pada kesempurnaan akal anak.
Karena ceramah berlangsung bertepatan dengan momentum peringatan syahadah Imam Ali Ridha, Syeikh Mohammad Sharifani menutup dengan menyinggung sifat ra’uf Imam Ridha. Kata ra’uf berarti penyayang, welas asih, tetapi memiliki tiga dimensi: cepat dalam melakukan kebaikan, memberi tanpa takaran, dan memberi secara sembunyi-sembunyi.
Syeikh Mohammad Sharifani kemudian menceritakan kisah seorang budak yang ikut berziarah ke makam Imam Ridha bersama tuannya. Sang tuan tiba-tiba merasa terdorong untuk memerdekakan budaknya, menikahkannya dengan anaknya, serta memberinya kebun sebagai bekal hidup. Budak itu justru menangis karena baru saja ia memohon hal tersebut di makam Imam Ridha, dan langsung dikabulkan melalui tuannya. Kisah ini, kata Syeikh Mohammad Sharifani, menunjukkan betapa ra’uf dan mulianya Imam Ali Ridha.
Kelas Tafsir Tartibi ICC: Syeikh Mohammad Sharifani Kupas Tuntas Karakter Orang Munafik
ICC Jakarta menyelenggarakan Kelas Tafsir Qur’an Tartîbî pada Jumat, 22 Agustus 2025 di Aula ICC Jakarta bersama Syaikh Mohammad Sharifani...