Dalam ceramahnya pada malam kedelapan Muharram 1447 H di Jakarta, Direktur Islamic Cultural Center (ICC), Syaikh Mohammad Sharifani, mengangkat tema pentingnya doa sebagai warisan spiritual dalam Islam. Beliau menggarisbawahi bahwa tradisi doa yang diwariskan para Imam Maksum bukan sekadar praktik ibadah, melainkan jalan untuk menggapai kedekatan maknawi dan maqam irfani. Doa dipandang sebagai medium untuk mengubah takdir, membebaskan manusia dari beban hidup, dan menguatkan relasi vertikal dengan Allah SWT.
Syaikh Mohammad Sharifani menekankan bahwa dalam banyak riwayat, doa disebut sebagai lebih utama dari sekadar membaca Al-Qur’an, sebab ia memuat dimensi permohonan, pengakuan kelemahan, dan hubungan langsung seorang hamba dengan Tuhannya. Bahkan, dalam kondisi masyarakat yang terjebak dalam problematika sosial dan spiritual, doa dianggap sebagai satu-satunya jalan keluar. Beliau mengutip isyarat dalam Surah Al-Furqan yang menegaskan bahwa tanpa doa, manusia tidak memiliki nilai kemuliaan di sisi Ilahi.
Doa juga, menurut beliau, memiliki kemampuan untuk membersihkan diri dari pengaruh dosa, memutuskan keterikatan pada dunia material, serta membuka jalan menuju ketenangan batin. Beliau menjelaskan bahwa manusia kerap berada dalam kebisingan dan beban dunia, dan hanya dengan doa, jiwanya bisa beranjak ke alam kesunyian yang penuh tauhid. Di malam yang sunyi, dalam perenungan mendalam, jiwa manusia mampu naik dari problem-problem lahiriah menuju kedalaman spiritual yang hakiki.
Dalam konteks Asyura, Syaikh Mohammad Sharifani menyoroti peran sentral doa dalam perjuangan Imam Husain a.s. Beliau menyampaikan bahwa meskipun Imam menolak tunduk pada kezaliman, beliau tetap menunjukkan kasih dan keinginan memperpanjang waktu untuk bermunajat. Imam Husain bahkan mengutus Abul Fadhl Abbas ke pasukan musuh untuk meminta penundaan pertempuran, demi memberikan waktu bagi pasukannya untuk berdoa, salat, dan membaca Al-Qur’an.
Malam Asyura digambarkan sebagai malam penuh zikir, doa, dan air mata. Setiap kemah dipenuhi suara munajat. Para sahabat Imam, termasuk Abul Fadhl Abbas, menyaksikan sendiri bagaimana setiap pribadi larut dalam ibadah. Imam Husain sendiri menghabiskan malam itu dalam sujud dan doa yang dalam. Dalam renungannya, Imam menyampaikan kesedihan dan keikhlasannya kepada Allah—tentang anak-anak yang beliau bawa, tentang keikhlasan menghadapi kematian, dan keinginan untuk tidak terikat oleh apapun selain Tuhan.
Lebih jauh, ceramah itu menggambarkan bagaimana dalam suasana spiritual tinggi tersebut, terdengar suara Ilahi yang menyambut doa Imam dengan kelembutan: bahwa doanya didengar, bahwa apa pun yang beliau rindukan akan diperkenankan. Sebuah penggambaran yang menyentuh tentang maqam tertinggi manusia ketika jiwanya luruh dalam makrifat dan ketauhidan.
Di akhir ceramah, Syaikh Mohammad Sharifani menyertakan doa bersama agar malam duka Asyura ini menjadi jalan bagi kita semua untuk meraih taufik, memperoleh syafaat, menyembuhkan yang sakit, melapangkan kubur orang-orang yang telah wafat, dan menghancurkan kekuatan zalim seperti Zionis. Beliau mengajak jamaah untuk mengambil pelajaran Asyura sebagai momentum peningkatan ruhani melalui doa yang tulus dan perjuangan yang ikhlas.