Majelis duka Asyura malam kedua diselenggarakan pada Jumat, 27 Juni 2025, di Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta. Acara diawali dengan sambutan dari Ustaz Zaki Amami yang menekankan pentingnya menghadirkan cinta kepada Ahlul Bait tidak hanya melalui ucapan, tetapi juga tindakan nyata. Beliau menyampaikan bahwa kehadiran fisik dalam majelis seperti ini menjadi bukti kecintaan seorang mukmin dan akan menjadi saksi bahwa para hadirin bersedih bersama Ahlul Bait.
Dalam sambutannya, beliau juga mengajak hadirin untuk menyatukan ruh dan jiwa dalam mengenang malam ketika Imam Husain a.s. dan rombongannya tiba di Karbala. Disebutkan bahwa saat Imam Husain bertanya tentang tempat tersebut dan diberi tahu bahwa itu adalah Karbala, beliau menyatakan bahwa tanah itu adalah lokasi yang dijanjikan oleh kakeknya dan tempat beliau akan meraih syahadah.
Acara dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an oleh Ustaz Iqram Muzadi.
Ceramah utama malam itu disampaikan oleh Ustaz Chafid Al-Kaf. Beliau menyampaikan bahwa kehadiran dalam majelis seperti ini bukanlah semata hasil dari kehendak pribadi, karena banyak pecinta Ahlul Bait yang ingin hadir namun terhalang oleh berbagai sebab. Di era digital saat ini, meskipun banyak hal bisa diikuti secara daring, kehadiran fisik tetap memiliki dampak spiritual yang jauh berbeda. Beliau menekankan pentingnya menjaga syiar Imam Husain a.s. sepanjang tahun.
Disampaikan pula refleksi tentang perbedaan orientasi spiritual antara kaum Muslimin pada umumnya dan pengikut Ahlul Bait. Jika kebanyakan umat menanti hilal bulan Syawal, maka pengikut Ahlul Bait menanti hilal Muharram sebagai penanda dimulainya masa berkabung atas Imam Husain a.s.
Dalam ceramahnya, beliau mengaitkan konteks perjuangan Imam Husain as dengan situasi hari ini, yakni agresi militer Israel terhadap Iran yang mendapat balasan dari Iran dan para pembela kebenaran. Konflik ini disebut sebagai kelanjutan dari pergulatan abadi antara hak dan batil yang sudah dimulai sejak zaman Nabi Adam a.s. hingga hari ini.
Ustaz Chafid kemudian mengulas dimensi ibadah sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Swt., serta menyampaikan bahwa ibadah sejati bukan hanya soal ritual, tapi juga niat, keikhlasan, dan konsistensi. Beliau menekankan bahwa kedekatan kepada Allah adalah perjalanan tanpa akhir karena Allah adalah Dzat yang tidak terbatas. Oleh sebab itu, manusia harus terus memperbaiki kualitas ibadahnya. Beliau mengingatkan akan bahaya riya’, merasa lebih baik dari orang lain, serta anggapan bahwa Allah berkewajiban membalas amal seseorang.
Selain ibadah, beliau menyampaikan bahwa bala (ujian) juga merupakan sarana mendekatkan diri kepada Allah. Bala dikatakan bisa lebih efektif dari ibadah dalam mendekatkan seorang hamba karena memunculkan sikap ikhlas dan tawakal. Bahkan, bala mampu mengangkat derajat manusia secara spiritual.
Ditegaskan pula bahwa tidak semua penderitaan adalah bala—ada yang merupakan azab. Dalam sejarah para nabi, banyak umat yang menolak ajakan kepada kebenaran dan akhirnya dibinasakan. Namun, syiah Ahlul Bait disebutkan akan dibersihkan dari dosa dengan ujian di dunia, sebagaimana sabda Amirul Mukminin a.s.
Beliau mengingatkan bahwa nilai tertinggi dari ibadah justru terletak pada tingkat kesulitannya. Jihad disebut sebagai ibadah yang paling tinggi nilainya karena menggabungkan keikhlasan, pengorbanan, dan perjuangan dalam membela kebenaran. Oleh karena itu, jihad Imam Husain a.s. di Karbala menempati posisi ibadah yang paling agung, terlebih karena dilakukan oleh seorang maksum. Kesaksian atas syahidnya Ali Akbar a.s. dan Ali Asghar a.s. di hadapan beliau menjadi puncak penderitaan yang juga menjadi sumber syafaat bagi umat.
Acara ditutup dengan maktam yang dibawakan oleh Ghifari dan Gilang, serta doa penutup oleh Ustaz Dr. Umar Shahab.