Oleh: Sayid Abdul Husain Syarafuddin Musawi
Masalah Kedua Belas: Mengenai Aul dalam Faraid (Warisan), Yaitu Berkurangnya Harta Warisan Dari Mencukupi Bagian Para Ahli Waris, Seperti Dalam Kasus Dua Saudari Dan Seorang Suami
Masalah kedua belas ini berkaitan dengan aul (penyusutan warisan), yaitu ketika jumlah bagian para ahli waris lebih besar dari keseluruhan harta warisan, seperti dua saudari yang mendapatkan dua pertiga, dan suami yang mendapatkan setengah.
Permasalahan ini telah membingungkan Khalifah Kedua (Umar bin Khaththab), karena ia tidak mengetahui siapa yang didahulukan oleh Allah untuk diberi bagian lebih dahulu, dan siapa yang diakhirkan, maka dia memutuskan untuk membagi penyusutan tersebut kepada semua ahli waris secara proporsional sesuai bagian mereka. Ini merupakan puncak keadilan yang bisa dia capai dalam kondisi yang membingungkan.
- Tidak ada jalan bagi siapa pun yang meneliti masalah ini kecuali untuk merujuk pada bab ke-10 dari kitab al-Fushul al-Muhimmah, dan juga merujuk pada catatan kami di halaman 32 saat membahas Fathiyyah dalam bab ke-6 pada cetakan kedua.
- Kata aul (penyusutan) dinamakan demikian bisa karena memiliki makna “bergeser”, seperti dalam firman Allah: “ذلك أدنى ألا تعولوا” “Itu lebih dekat agar kalian tidak bergeser dari keadilan.” Warisan dinamakan aul terhadap ahlinya karena telah bergeser dari keadilan dengan mengurangi bagian mereka. Atau dari kata ‘aala (menanggung), seperti seseorang yang bertambah tanggungan keluarganya karena banyaknya ahli waris. Atau dari kata ‘aala (mengalahkan) karena para ahli waris yang banyak telah mengalahkan warisan dan membuatnya tidak mencukupi. Atau dari kata ‘aalat (mengangkat ekor), sebagaimana unta yang mengangkat ekornya–maksudnya adalah bagian warisan meningkat dari asalnya sehingga tidak mencukupi seluruhnya.
Namun, para ulama Ahlulbait as, terutama dari kalangan Imam Dua Belas as, mengetahui siapa yang didahulukan oleh Allah maka mereka mendahulukannya, dan mengetahui siapa yang diakhirkan maka mereka mengakhirkannya. “Ahlulbait lebih mengetahui perkara yang ada dalam rumah.”
Imam Muhammad Baqir as berkata, “Amirul Mukminin (Ali bin Abi Thalib as) berkata, ‘Sesungguhnya Zat yang menghitung butiran pasir di padang pasir tahu bahwa bagian warisan tidak akan mengalami penyusutan (‘aul) terhadap enam bagian, seandainya mereka memahami maksudnya.’”
Ibnu Abbas juga berkata, “Aku bersedia berdebat (mubahalah) di dekat Hajar Aswad bahwa Allah tidak pernah menyebut dalam kitab-Nya (Alquran) dua bagian setengah dan satu bagian sepertiga secara bersamaan.”
Dia juga berkata, “Mahasuci Allah Yang Mahaagung! Apakah kalian mengira bahwa Zat yang menghitung butiran pasir di padang pasir dengan akurat, membuat hukum warisan dalam harta ada bagian setengah dan setengah serta sepertiga? Kedua setengah itu telah menghabiskan seluruh harta, lalu di mana posisi sepertiga?” Lalu seseorang bertanya kepadanya, “Wahai Abu Abbas! Siapa yang pertama kali membuat penyusutan (aul) dalam faraid?” Dia menjawab, “Ketika bagian-bagian waris saling bertabrakan pada masa Umar, dia berkata, ‘Demi Allah! Aku tidak tahu siapa yang didahulukan oleh Allah dan siapa yang diakhirkan, dan aku tidak menemukan cara yang lebih adil daripada membagikan harta ini secara proporsional kepada kalian semua.’”
Ibnu Abbas melanjutkan, “Demi Allah! Seandainya kalian mendahulukan siapa yang didahulukan Allah dan mengakhirkan siapa yang diakhirkan Allah, maka faraid (warisan) tidak akan mengalami penyusutan (‘aul).” Lalu seseorang bertanya, “Siapa yang didahulukan Allah dan siapa yang diakhirkan?” Dia menjawab, “Setiap bagian yang tidak diturunkan Allah kecuali dari bagian ke bagian lainnya, maka itu adalah yang didahulukan oleh Allah. Dan bagian yang jika tergeser dari posisinya tidak mendapatkan kecuali sisa, maka itu adalah yang diakhirkan.” Dia berkata, “Yang didahulukan seperti suami yang mendapatkan setengah, jika ada sesuatu yang mengurangi bagian tersebut, ia beralih ke seperempat, dan tidak bisa berkurang dari seperempat itu. Begitu juga dengan istri dan ibu. Adapun yang diakhirkan adalah seperti bagian anak perempuan dan saudari, mereka mendapatkan setengah atau dua pertiga, namun jika bagian tersebut tergeser oleh bagian lain, maka mereka hanya mendapatkan sisa. Jika bertemu antara yang didahulukan dan yang diakhirkan, maka dimulai dengan yang didahulukan dan diberi haknya secara penuh, kemudian sisanya diberikan kepada yang diakhirkan.”
Hadis ini disebutkan oleh guru kami Syahid Tsani dalam al-Raudhah. Dia berkata, “Kami menyebutkannya meski panjang, karena memuat hal-hal yang penting.”
Aku (Sayid Syarafuddin) berkata: Hakim meriwayatkan dalam Kitab al-Faraidh, halaman 340 dari jilid keempat kitab al-Mustadrak, dari Ibnu Abbas bahwa dia berkata, “Orang pertama yang membuat penyusutan (aul) dalam faraid adalah Umar. Demi Allah, seandainya orang-orang mendahulukan siapa yang didahulukan Allah dan mengakhirkan siapa yang diakhirkan-Nya, maka warisan tidak akan mengalami penyusutan.” Lalu ditanyakan kepadanya, “Siapa yang didahulukan dan siapa yang diakhirkan oleh Allah?” Dia menjawab seperti yang disebut sebelumnya.
Hakim berkata setelah menyebutkan hadis ini, “Ini adalah hadis sahih menurut syarat Muslim namun tidak diriwayatkan olehnya.”
Aku (Sayid Syarafuddin) menambahkan: Dzahabi tidak menyanggahnya, bahkan mencantumkannya dalam ringkasannya sebagai pengakuan atas kesahihannya. Para ulama Ahlulbait sepakat atas makna hadis ini, dan riwayat-riwayat mereka tentang ini sangat banyak.
Namun, Musa Jarullah termasuk orang yang tidak peduli terhadap hal ini, karena dia berkata, “Buku-buku Syiah memang menolak konsep ‘aul dan mengingkari tindakan umat (Ahlusunnah) dalam menyusutkan bagian warisan, namun mereka juga tidak lepas dari permasalahan yang dikemukakan oleh Ibn Abbas dan Imam Muhammad Baqir as, yaitu:
Zat yang menghitung butiran pasir di padang pasir tidak mungkin menetapkan bagian setengah dan dua pertiga secara bersamaan, atau setengah dan setengah serta sepertiga. Maka, jika pengurangan hanya dilakukan pada bagian yang diakhirkan, itu pun sebenarnya sudah merupakan bagian dari aul, dan tidak menghilangkan pokok permasalahan.”
Dia melanjutkan dengan kata-kata yang mengandung kebingungan, “Bagaimana mungkin menyusutkan bagian waris dari yang diakhirkan oleh Allah disebut aul? Wahai kaum Muslimin, apakah kalian mengira bahwa mendahulukan ahli waris yang ditetapkan syariat atas selainnya merupakan bentuk aul?”
Kalau begitu, aul adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari selamanya.
Seandainya dia termasuk orang yang berakal, dia akan tahu bahwa seseorang yang diakhirkan oleh Allah dalam pembagian warisan tidak memiliki hak apa pun selama masih ada yang didahulukan.
Karena tidak ada konflik di antara keduanya, maka tidak ada permasalahan.
Ke arah inilah Ibnu Abbas mengisyaratkan saat berkata, “Apakah kalian mengira bahwa Zat yang menghitung butiran pasir menetapkan bagian setengah, setengah, dan sepertiga?”
Maksudnya, Allah hanya menetapkan bagian-bagian tersebut jika tidak terjadi tumpang tindih.
Dan mustahil bagi-Nya untuk menetapkannya dalam kondisi saling bertentangan.
Khalifah kedua memahami hal ini, namun ia tidak tahu siapa yang didahulukan oleh Allah dan siapa yang diakhirkan, sehingga ia akhirnya menggunakan metode aul, karena ia melihatnya sebagai cara paling mendekati keadilan yang mampu dia lakukan.
Musa Jarullah juga membuat kekeliruan besar, yang akan dikenali oleh siapa pun yang membaca perkataannya.
Dia menyanggah Imam Muhammad Baqir as dan Ibnu Abbas dalam kasus seorang wanita yang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dan dua saudari.
Dia berkata, “Bagian suami dalam Alquran adalah setengah, dan untuk dua saudari perempuan bagian mereka dalam Alquran adalah dua pertiga. Dan ibu mendapat sepertiga atau seperenam sebagaimana ketentuan dalam Alquran.”
Dia juga berkata, “Bagian-bagian (faraid) yang disebutkan dalam Alquran itu bersifat tetap. Jika terjadi kekurangan pada seluruh bagian (karena klaim melebihi harta), maka itu disebut aul yang adil, dan jika kekurangan hanya terjadi pada bagian pihak yang disebut belakangan, maka itu disebut aul yang tidak adil. Dalam sistem ini, tidak ada warisan bagi pihak yang derajatnya lebih rendah selama masih ada pihak dari derajat yang lebih tinggi. (Sebagaimana firman Allah,) “Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (saling mewarisi) dalam kitab Allah.”
Ini adalah mazhab para Imam as dari keluarga Nabi (Ahlulbait) yang disepakati oleh kaum Syiah. Maka, dua saudari perempuan yang termasuk golongan kedua tidak mendapat warisan selama ibu (golongan pertama) masih hidup. Ya, dalam kasus ini suami mendapat setengah dari peninggalan istrinya, dan sisanya diberikan kepada ibu secara fardh dan rad (tambahan karena tidak ada ahli waris lain). Dalam kasus ini tidak ada tempat untuk aul sama sekali menurut pandangan Syiah dan umat Syiah.
Dia berkata, “Yang membagi warisan dan menyebutkan bagian-bagian itu adalah Zat yang menghitung butiran pasir di padang pasir, bahkan seluruh partikel dari semua makhluk.”
Dia berkata, “Saya menduga kuat bahwa ucapan bahwa ‘tidak ada aul dalam pandangan Syiah’ hanyalah pernyataan lahiriah yang dikatakan secara spontan saat menjelaskan perbedaan dengan madzhab mayoritas umat (Ahlusunnah).
Sesungguhnya aul itu adalah kekurangan. Bila kekurangan terjadi pada semua bagian secara proporsional, maka itu adalah aul yang adil, dan inilah yang diikuti oleh Ahlusunnah, mereka menjaga nas-nas Alquran. Namun bila kekurangan itu hanya menimpa bagian orang yang disebut belakangan, maka itu adalah aul yang tidak adil, dan inilah yang diikuti oleh Syiah. Namun ini bertentangan dengan nas Alquran.”
Dia berkata, “Permasalahan yang membingungkan Ibnu Abbas, yang kemudian diadopsi oleh Imam Muhammad Baqir as, adalah hal yang tetap dan jelas.”
Dia berkata, “Aku tidak ingin hari ini, seperti yang diinginkan Ibnu Abbas pada masanya, untuk melakukan mubāhalah (sumpah laknat) dengan seseorang dalam masalah ini. Aku hanya ingin kalian mengajarkan kepadaku dari ilmu yang telah kalian pelajari untuk menghilangkan kebingungan ini.”
Ini adalah ucapannya, dan aku menjawab dengan mengutip bait syair:
Kalau saja engkau tahu maksud ucapanku, tentu kau akan memaafkanku
Atau kalau aku tidak paham ucapanku sendiri, bolehlah kau mencelaku
Namun ternyata kau tak mengerti ucapanku lalu mencelaku
Dan aku tahu bahwa kau tidak paham, maka aku maafkan kau.
Catatan Penjelas:
- Pada masa Rasulullah, masyarakat terbiasa membagi harta menjadi enam bagian, masing-masing satu bagian adalah seperenam, sebagaimana saat ini dikenal 24 qirath (karat). Maksud sabda Rasulullah saw adalah: “Kalau kalian memahami perhitungan bagian warisan ketika terjadi pertentangan, maka bagian-bagiannya tidak akan melebihi enam bagian. Tapi karena kalian tidak memahaminya, maka kalian menambah bagian-bagian tersebut sehingga melebihi enam.” Contohnya: jika yang meninggal meninggalkan ayah, ibu, dua anak perempuan, dan suami, maka ayah dan ibu masing-masing mendapat satu bagian dari enam, dua anak perempuan mendapat empat bagian, dan ini sudah genap enam. Namun, jika ditambahkan satu setengah bagian lagi untuk suami, maka total bagian menjadi tujuh setengah, dan ini tidak sah. Mustahil Allah menetapkan bagian yang melebihi total harta.
- Syiah adalah setengah dari umat Islam. Maka, tidak pantas membuang pandangan mereka.
- Dalam kasus ini, dua saudari perempuan tidak mendapat hak waris sama sekali, karena dalam pandangan Syiah, ahli waris berdasarkan hubungan nasab terbagi menjadi tiga tingkatan:
- Tingkat pertama: orang tua dan anak (tanpa orang tua mereka), serta cucu-cucu dari anak-anak.
- Tingkat kedua: saudara laki-laki dan perempuan, kakek-nenek, dan anak-anak dari saudara-saudari.
- Tingkat ketiga: paman, bibi, dan saudara dari orang tua.
- Bagaimana mungkin disebut ‘adil’ jika bagian orang yang seharusnya didahulukan disamakan dengan yang belakangan?
- Tidak ada aul sama sekali di sini, karena kekurangan hanya menimpa orang yang sudah Allah tempatkan di posisi terakhir (yang seharusnya tidak mendapat bagian). Tetapi orang ini memaksa bahwa Allah menetapkan bagian setengah untuk seseorang, dua pertiga untuk dua orang lain, dan sepertiga untuk orang keempat, tanpa menyadari bahwa jumlah ini melebihi satu harta penuh (1/1). Lalu ia menganggap bahwa menambahkan kekurangan pada semuanya adalah solusi dari “kesalahan” ini. Mahasuci Allah dari perkataan zalim seperti itu.
- Orang ini tidak mengakui bahwa Syiah bagian dari umat, padahal ia mengaku mencari persatuan Islam.
- Dzat yang menghitung seluruh partikel semesta tidak akan lupa bahwa satu harta tidak mungkin memiliki setengah, setengah, dua pertiga, dan sepertiga secara bersamaan. Bagaimana mungkin Dia menetapkan bagian-bagian yang saling bertentangan, wahai orang yang malang?
- Beginilah jadinya jika menggunakan akal-akalan filsafat tanpa dalil yang kokoh.
- Bahkan, aul itu secara bahasa berarti kezaliman, bukan sekadar “kekurangan”. Disebut: ‘Ala fi al-hukm ya’ulu ‘awlan, artinya “Dia berlaku zalim dalam keputusan”. Dari sini muncul kata ‘āil (orang yang zalim). Maka dari itu, hukum Allah tidak mengandung kezaliman sedikit pun. Mahasuci Allah dari hal itu.
- Aul tidak bisa disebut adil, kecuali jika si buruk rupa itu disebut tampan. Mustahil Alquran memerintahkan aul. Bagaimana mungkin orang yang menerapkan aul dianggap menjaga teks Alquran, kalau sebenarnya ia hanya menjaga tampaknya saja, bukan maksudnya?
- Orang ini tidak memahami arti “yang didahulukan” dan “yang diakhirkan”, lalu mengatakan bahwa jika bagian pihak terakhir dikurangi, itu disebut aul. Padahal, kami sudah menjelaskan bahwa kalau ada seseorang meninggal dan meninggalkan anak-anak serta cucu-cucu, lalu anak-anak didahulukan dari cucu-cucu, apakah itu disebut aul? Tentu tidak. Kalau mendahulukan yang lebih dekat itu disebut aul zalim, maka warisan seseorang yang hanya diwarisi anaknya saja tanpa cucu-cucunya pun harus disebut aul! Orang ini benar-benar tidak paham sedikit pun.
- Kini telah jelas bahwa tidak ada kebingungan sama sekali, dan mustahil Ibnu Abbas bingung dalam hal ini. Orang ini tidak menzalimi Ibnu Abbas dan Imam Muhammad Baqir as dengan kata-katanya, tetapi dia telah menzalimi dirinya sendiri.
- Sumber: Ajwibah Masail Jarullah, oleh Ayatullah Uzhma Sayid Abdul Husain Syarafuddin al-Musawi, masalah kedua belas.