ICC Jakarta kembali menyelenggarakan doa Ziarah Jami’ah Kabirah yang dilanjutkan dengan acara pembacaan syair dan puisi Husaini. Acara ini dibuka dengan sambutan Ustaz Umar Shahab yang menekankan pentingnya menghidupkan kembali tradisi kepenyairan Islam, khususnya dalam konteks cinta kepada Imam Husain a.s. dan para syuhada Karbala. Beliau menyampaikan bahwa agenda ini membuka kesempatan bagi jamaah, khususnya generasi muda, untuk menyalurkan bakat dan ekspresi cinta mereka melalui karya sastra. Menurut beliau, salah satu ciri budaya yang tinggi adalah lahirnya sastra yang tinggi, dan sastra itu terwujud dalam bentuk syair. Sejarah mencatat bahwa di Aceh pernah hidup tradisi sastra Islami yang sangat berkembang, di antaranya melalui tokoh besar seperti Hamzah al-Fansuri, penyair sufi berbahasa Melayu yang luar biasa. Namun, tradisi itu kemudian melemah di tanah air. Karena itu, Ustaz Umar Shahab menegaskan bahwa acara ini ingin membangkitkan kembali semangat kepenyairan Islam dengan diawali dari syair-syair Husaini. Untuk tahap awal, bentuk yang dipilih adalah puisi karena sudah dikenal luas oleh masyarakat, dan meski sederhana, puisi tetap menyimpan makna yang dalam.
Setelah itu, acara dilanjutkan dengan pembacaan doa Ziarah Jami’ah Kabirah yang dipimpin oleh Syaikh Mohammad Sharifani selaku Direktur ICC Jakarta. Usai doa, beliau menyampaikan ceramah mengenai hakikat syair, manfaatnya, dan perannya dalam sejarah Islam. Syaikh Mohammad Sharifani menjelaskan bahwa manusia memiliki banyak cara dalam menyampaikan pikiran dan perasaan: kadang berbicara secara biasa, kadang menggunakan peribahasa, kadang berkisah, dan terkadang menuangkannya dalam bentuk syair. Dari semua bentuk itu, syair adalah yang paling indah secara sastra karena mengandung seni, rima, dan daya ingat yang kuat. Menurut sebagian ahli tafsir, Al-Qur’an sendiri memuat lebih dari tiga ratus kiasan dan peribahasa, bahkan ada yang menyebut hingga seribu. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an sarat dengan nilai seni bahasa. Jika pesan disampaikan dalam bentuk biasa, ia mungkin segera dilupakan, tetapi jika dikemas dalam bentuk syair, pesan itu menjadi abadi dan membekas di hati. Inilah sebabnya karya-karya besar para penyair dunia seperti Hafez, Saadi, Maulawi, dan Muhammad Iqbal tetap dikenang sepanjang masa.
Sebagai contoh, beliau mengutip syair dari Labid, seorang penyair zaman jahiliyah yang dipuji oleh Rasulullah saw. karena ungkapannya yang sangat dalam:
اَلاَ كُلُّ شَيْئٍ ماَ خَلا الله باَطِلُ
وكلّ نــَعِيْمٍ لاَ مـَحَالـَةَ زَائِلُ
“Renungkan baik-baik, segala sesuatu selain Allah pasti akan hilang lenyap, dan setiap kenikmatan pasti akan sirna.”
Rasulullah saw. menyebut syair ini sebagai ungkapan paling indah yang mengandung pesan sebesar dunia.
Syaikh Mohammad Sharifani kemudian menekankan bahwa syair memiliki beberapa manfaat penting: ia dapat mengabadikan pesan dan gagasan, menjadi sarana untuk mengekspresikan perasaan terdalam, berperan besar dalam menjaga identitas budaya, dan lebih mengena ketimbang perkataan biasa. Karena itulah syair memiliki kedudukan tinggi dalam sejarah Islam. Beliau lalu menyebutkan sejumlah penyair besar yang berperan penting dalam membela agama.
Di antaranya adalah Hassan bin Tsabit, seorang penyair yang beriman setelah Nabi Muhammad saw. hijrah ke Madinah. Hassan dikenal sebagai pembela Rasulullah saw. melalui bait-bait syairnya. Nabi saw. bahkan memanggilnya sebagai penyair Rasulullah dan mendoakan agar Ruhul Qudus selalu mengilhami syair-syairnya. Penyair lain yang sangat masyhur adalah Di’bil bin Ali Khuzâ’i, seorang sahabat Imam Musa al-Kazhim a.s., Imam Ridha a.s., dan Imam Muhammad al-Jawad a.s. Di’bil tidak hanya seorang penyair, tetapi juga seorang muhaddits, dan karyanya terkumpul dalam sebuah diwan yang berisi sepuluh ribu bait syair. Suatu ketika, ia datang kepada Imam Ridha a.s. dan melantunkan syair-syair yang menceritakan wafatnya para imam satu per satu, meskipun pada saat itu Imam Ridha a.s. masih hidup. Syairnya begitu mengesankan hingga Imam Ridha a.s. memberinya hadiah gamis yang beliau gunakan untuk salat malam seribu kali dan khatam Al-Qur’an seribu kali. Gamis itu bahkan menjadi sarana kesembuhan bagi banyak orang. Dalam syairnya, Di’bil melukiskan kepedihan Sayyidah Fatimah a.s. seandainya beliau menyaksikan putranya, Imam Husain a.s., syahid di Karbala dalam keadaan haus di tepi Furat. Ketika syair itu sampai pada kisah Imam Musa al-Kazhim a.s., Imam Ridha a.s. sendiri menambahkan dua bait tentang kubur beliau di Thus, yang pada saat itu belum terjadi. Hal ini menunjukkan kedudukan Imam Ridha a.s. sebagai seorang Imam maksum.
Selain itu, ada juga Kumayt ibn Zaid al-Asadi, sahabat Imam Sajjad a.s., Imam Baqir a.s., dan Imam Shadiq a.s. Kumayt dikenal dengan karya syairnya yang disebut Hāshimīyyāt, yang memuji keutamaan Ahlul Bait a.s., khususnya Imam Husain a.s. Imam Baqir a.s. pernah bersabda bahwa selama Kumayt menggubah syair semacam itu, ia akan dibantu oleh Ruhul Qudus. Salah satu penggalan syairnya yang terkenal adalah ungkapan bahwa jalannya berbeda dengan jalan musuh-musuhnya.
Syaikh Mohammad Sharifani menegaskan bahwa syair tidak hanya memiliki unsur ritme dan rima, tetapi juga berperan dalam mengabadikan pesan penting sepanjang sejarah. Bahkan Al-Qur’an sendiri memiliki keindahan ritme dan rima yang tidak tertandingi, meskipun tidak termasuk syair. Beliau menutup ceramah dengan menyampaikan bahwa acara ini memiliki dua tujuan utama: pertama, untuk menunjukkan bahwa kita adalah pelayan Imam Husain a.s.; dan kedua, untuk memajukan kesusastraan bahasa Indonesia dengan memperkaya tradisi puisi dan syair Husaini. Tahun ini, ada sepuluh penampil yang membacakan puisi, dan diharapkan tahun-tahun mendatang jumlahnya akan semakin bertambah.