Nama Muhammad bukan sekadar sebutan biasa. Dalam sejarah Arab, nama ini belum pernah digunakan sebelum kelahiran Rasulullah. Secara bahasa, Muhammad berarti “yang terpuji”, sosok yang pantas dihormati karena akhlak mulianya. Dan benar saja, sejak kecil hingga dewasa, beliau dikenal jujur, amanah, dan penuh kasih sayang.
Bagi umat Islam, mengenal masa muda Nabi Muhammad SAW bukan hanya sekadar menambah wawasan sejarah, melainkan juga sarana mengambil pelajaran moral, spiritual, dan sosial. Dari situlah kita bisa melihat bagaimana Allah SWT mempersiapkan utusan terakhir-Nya dengan ujian dan tempaan hidup.
Lahir sebagai Yatim Piatu: Ujian Awal Kehidupan
Nabi Muhammad SAW lahir pada tahun 570 M di Makkah, yang dikenal sebagai ‘Amul Fîl (Tahun Gajah). Beliau lahir dari pasangan Abdullah bin Abdul Muthalib dan Aminah binti Wahab. Namun, sebelum beliau lahir, ayahnya sudah wafat. Saat berusia enam tahun, ibunda tercinta pun meninggal dunia.
Sejak itu, Rasulullah diasuh kakeknya, Abdul Muthalib, lalu setelah wafat kakeknya, diasuh pamannya Abu Thalib. Dalam pandangan Syi’ah, Abu Thalib bukan hanya pelindung, tetapi seorang mukmin sejati yang dengan tulus mendukung Nabi sejak awal. Imam Ja’far al-Shadiq as berkata:
“Seandainya iman Abu Thalib ditimbang dengan iman seluruh umat, niscaya imannya lebih berat.” (al-Kafi, jilid 1, hlm. 448)
Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan Abu Thalib adalah bagian penting dari persiapan Allah untuk menjaga Nabi hingga waktunya menerima wahyu.
Kehidupan Sederhana: Menggembala Kambing
Di masa remajanya, Nabi Muhammad SAW bekerja sebagai penggembala kambing. Pekerjaan ini terlihat sederhana, tetapi justru melatih kesabaran, tanggung jawab, dan kepemimpinan. Rasulullah sendiri pernah bersabda:
“Tidak ada seorang nabi pun kecuali pernah menggembala kambing.” (HR. al-Kafi, jilid 5, hlm. 64)
Pelajaran penting dari sini adalah bahwa pemimpin besar lahir dari kesederhanaan. Bahkan pekerjaan yang dianggap rendah justru menjadi madrasah kehidupan yang mempersiapkan beliau untuk memimpin umat manusia.
Jujur dalam Perdagangan: Julukan al-Amin
Ketika menginjak dewasa, Nabi Muhammad SAW mulai ikut berdagang. Beliau menemani Abu Thalib ke Syam, dan masyarakat Quraisy segera mengenalnya sebagai pedagang jujur dan terpercaya. Dari sinilah beliau mendapat julukan al-Amin.
Allamah Thabathabai dalam al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an menegaskan bahwa kejujuran Nabi dalam berdagang bukan hanya strategi bisnis, melainkan pancaran fitrah yang suci. Kejujuran ini kemudian menjadi fondasi penting dalam risalah Islam, yang menekankan bahwa iman tidak dapat dipisahkan dari amanah dan keadilan.
Pernikahan dengan Siti Khadijah: Dukungan Sejati
Kejujuran Nabi Muhammad SAW membuat banyak pedagang mempercayakan barang dagangan kepadanya. Salah satunya adalah Siti Khadijah, seorang pengusaha sukses dan bangsawan Quraisy. Setelah melihat integritas Muhammad, Khadijah melamar beliau melalui perantara.
Perbedaan usia tidak menjadi penghalang. Pernikahan mereka berlangsung penuh berkah. Dalam literatur Syi’ah, Khadijah digolongkan sebagai salah satu dari empat wanita agung, bersama dengan Sayidah Fatimah, Maryam binti Imran, dan Asiyah binti Muzahim.
Imam Ali as pernah berkata dalam Nahj al- Balaghah:
“Allah memilih Khadijah untuk mendampingi Rasul-Nya, dan ia adalah penolong yang setia dalam menyampaikan risalah.”
Pernikahan ini membuktikan bahwa kesuksesan dakwah Rasulullah tidak lepas dari peran Khadijah yang mengorbankan harta, jiwa, dan cintanya demi mendukung perjuangan Nabi.
Membela Orang Lemah: Hilful Fudhul
Salah satu peristiwa penting di masa muda Nabi adalah keterlibatannya dalam Hilful Fudhul, sebuah pakta yang berisi kesepakatan untuk membela orang tertindas. Nabi Muhammad SAW begitu menghargai perjanjian itu hingga setelah menjadi Rasul beliau pernah berkata:
“Aku tidak akan menukar Hilful Fudhul dengan unta merah sekalipun. Seandainya aku diajak kembali padanya setelah Islam datang, niscaya aku akan menyetujuinya.” (HR. al-Kafi, jilid 5, hlm. 29)
Ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya berbicara tentang ibadah ritual, tetapi juga tentang keadilan sosial dan pembelaan terhadap kaum tertindas.
Kisah Bijak Hajar Aswad
Saat usia Nabi sekitar 35 tahun, Ka’bah direnovasi. Ketika tiba waktu meletakkan kembali Hajar Aswad, para pemimpin Quraisy hampir berselisih hebat. Nabi Muhammad tampil sebagai penengah. Beliau meletakkan batu itu di atas kain, lalu meminta tiap pemimpin kabilah mengangkat bersama-sama. Setelah itu, beliau sendiri yang menempatkan batu suci tersebut.
Dengan kebijaksanaan itu, pertumpahan darah berhasil dihindari. Dalam pandangan Syi’ah, kebijaksanaan Nabi dalam peristiwa ini adalah cerminan ‘aql mustafad (akal sempurna yang terhubung dengan cahaya ilahi). Imam Ali as kemudian mewarisi sifat kebijaksanaan ini sebagai penerus Nabi.
Diangkat sebagai Rasul Terakhir
Pada usia 40 tahun, Nabi Muhammad SAW sering ber-tahannuts (menyepi) di Gua Hira. Dalam kesunyian, beliau merenung tentang kondisi masyarakat Quraisy yang terjerumus dalam penyembahan berhala, ketidakadilan, dan perpecahan sosial.
Hingga pada malam 17 Ramadhan, Malaikat Jibril datang membawa wahyu pertama:
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan…” (QS. al-‘Alaq: 1)
Sejak saat itu, Muhammad bin Abdullah resmi diangkat sebagai Rasul terakhir. Murtadha Muthahhari dalam bukunya Sejarah Nabi menulis:
“Wahyu yang turun di Gua Hira bukan hanya awal kenabian, melainkan juga awal revolusi besar dalam sejarah manusia. Revolusi yang menggabungkan tauhid, keadilan, dan kasih sayang.”
Keteladanan Abadi dari Nabi Muhammad SAW
Dari perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW, kita bisa menarik banyak pelajaran:
- Kesabaran menghadapi ujian – beliau yatim piatu sejak kecil, namun tumbuh menjadi pribadi yang kuat.
- Kerja keras – menggembala kambing hingga berdagang mengajarkan bahwa pemimpin lahir dari kerja nyata.
- Kejujuran sebagai fondasi – julukan al-Amin adalah modal sosial yang membuat masyarakat percaya.
- Kepedulian sosial – melalui Hilful Fudhul, beliau menunjukkan pentingnya membela kaum tertindas.
- Kebijaksanaan – kisah Hajar Aswad mengajarkan pentingnya solusi damai dalam konflik.
- Kekuatan spiritual – wahyu di Gua Hira membuktikan bahwa kekuatan sejati lahir dari hubungan dengan Allah.
Imam Ali as dalam Nahj al- Balaghah menggambarkan Nabi Muhammad SAW sebagai:
“Tabib yang berkeliling dengan obatnya, meletakkan balsam di hati yang buta, telinga yang tuli, dan lidah yang bisu.”
Ini adalah penggambaran yang indah tentang peran Nabi sebagai penyembuh jiwa manusia.
Penutup
Kisah masa muda Nabi Muhammad SAW adalah bukti nyata bahwa Allah SWT menyiapkan utusan-Nya dengan penuh hikmah. Dari seorang yatim piatu yang sederhana, beliau tumbuh menjadi pedagang jujur, pemimpin yang bijak, hingga akhirnya menjadi Rasul terakhir bagi seluruh umat manusia.
Dalam perspektif Syi’ah, perjalanan hidup Nabi tidak bisa dilepaskan dari peran keluarga Ahlulbait yang mendukung beliau: Abu Thalib yang melindungi, Khadijah yang mendampingi, dan Ali yang kelak menjadi penerus risalah.
Keteladanan Rasulullah tetap hidup hingga kini. Beliau adalah pemuda terbaik Makkah, utusan terakhir Allah, dan teladan abadi bagi setiap manusia yang merindukan kebenaran, keadilan, dan kasih sayang.[]