Pendahuluan
Setiap manusia diciptakan dengan dua sisi: diri hewani dan diri insani. Diri hewani mewakili kebutuhan jasmani seperti makan, minum, tidur, dan naluri biologis. Sedangkan diri insani menunjuk pada aspek ruhani, akal, dan nilai-nilai luhur. Nilai sejati manusia sesungguhnya tidak terletak pada hewaninya, melainkan pada insaniahnya.
Dalam perspektif Islam, kehidupan jasmani memang penting, tetapi bukanlah tujuan akhir. Kehidupan fisik hanya sarana agar manusia dapat menyempurnakan jiwa insaniah. Bila seseorang menjadikan kebutuhan hewani sebagai tujuan hidup, ia justru akan jatuh ke dalam kerendahan, bahkan lebih rendah dari binatang sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an.
Artikel ini akan membahas secara mendalam konsep nilai-nilai insaniah dalam Islam, perbedaan antara diri hewani dan insani, peran akhlak mulia, kehidupan batiniah, hingga relevansinya dalam kehidupan modern.
Diri Hewani dan Diri Insani
Manusia, sebagaimana makhluk hidup lain, membutuhkan makanan, minuman, tempat tinggal, dan pasangan untuk mempertahankan eksistensinya. Semua itu adalah naluri hewani yang Allah tanamkan agar manusia bisa bertahan hidup.
Namun, Islam menekankan bahwa kehidupan hewani hanyalah permulaan, bukan tujuan. Bila manusia menjadikan makan, minum, berhias, dan kesenangan biologis sebagai pusat hidup, maka ia kehilangan martabat insaniahnya. Al-Qur’an menyebut mereka seperti binatang bahkan lebih sesat, karena meski diberi akal, mereka tidak menggunakannya untuk mengenal kebenaran.
Sebaliknya, ketika manusia menyeimbangkan kebutuhan hewani dengan ruhani, ia menemukan jati diri insani yang sesungguhnya.
Nilai-Nilai Insaniah: Jalan Menuju Kesempurnaan
1. Akhlak Mulia Sebagai Puncak Insaniah
Diri insani terhubung dengan alam malakut, yakni dunia nonmateri yang penuh dengan cahaya, kebaikan, dan kesempurnaan. Dari sinilah muncul kecenderungan manusia pada nilai-nilai luhur seperti keadilan, kasih sayang, pengorbanan, kejujuran, dan tanggung jawab.
Ketika seseorang menumbuhkan nilai-nilai akhlak, ia sedang menyempurnakan dirinya. Imam Ali bin Abi Thalib pernah menegaskan:
“Barang siapa memiliki jiwa mulia, maka keinginan-keinginan syahwatnya tidak berarti baginya.”
2. Fitrah dan Kesadaran Moral
Setiap manusia dibekali fitrah, yakni kesadaran batin tentang baik dan buruk. Al-Qur’an menegaskan:
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 8–10)
Fitrah ini memungkinkan manusia untuk mencintai kebaikan dan menolak keburukan, asalkan tidak ditutupi hawa nafsu.
3. Peran Para Nabi
Para nabi diutus untuk membangkitkan fitrah manusia, mengingatkan kembali nilai-nilai insani, dan mengarahkan manusia pada kesempurnaan. Mereka menegaskan bahwa manusia bukanlah sekadar hewan yang mencari kesenangan duniawi, melainkan makhluk mulia yang bisa lebih tinggi dari malaikat bila menjaga akhlaknya.
Kehidupan Batiniah: Dimensi Hakiki Manusia
Selain kehidupan lahiriah, manusia memiliki kehidupan batiniah yang menentukan kebahagiaan sejati. Kehidupan batiniah ini berupa perjalanan jiwa menuju cahaya, kesempurnaan, dan kedekatan dengan Allah.
Banyak orang lalai terhadap kehidupan batiniah karena sibuk dengan dunia. Al-Qur’an menegaskan:
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang tentang kehidupan akhirat mereka lalai.” (QS. Ar-Rum: 7)
Kesadaran batin ini akan semakin jelas di akhirat ketika semua hijab kelalaian tersingkap. Manusia akan melihat balasan dari amalnya, baik berupa kenikmatan surga maupun siksa neraka.
Amal Saleh sebagai Teman Abadi
Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa amal saleh adalah teman sejati manusia yang akan menemaninya di alam kubur dan akhirat. Jika amalnya baik, ia akan damai; jika buruk, ia akan sengsara.
Oleh karena itu, setiap muslim dituntut untuk membina jiwa melalui:
- Zikir kepada Allah, yang menjadi cahaya hati.
- Amal saleh, yang menjadi bekal akhirat.
- Menjauhi dosa dan kemaksiatan, yang bisa menjerumuskan jiwa.
Imam Ali berkata:
“Kesinambungan dalam berzikir kepada Allah adalah makanan bagi setiap jiwa.”
Nilai Insaniah dalam Kehidupan Modern
Di era modern, manusia sering terjebak pada gaya hidup materialistis yang menekankan pemuasan diri hewani. Kesibukan bekerja, mengejar status sosial, dan menikmati teknologi sering membuat manusia melupakan nilai insaniahnya.
Islam memberikan keseimbangan:
- Kehidupan duniawi tetap penting, tetapi harus dijadikan sarana untuk menyempurnakan jiwa.
- Akhlak mulia harus menjadi pegangan dalam setiap aktivitas, baik dalam keluarga, pekerjaan, maupun interaksi sosial.
- Mengenal diri (ma’rifat al-nafs) menjadi kunci. Imam Ali pernah berkata:
“Mengenal diri adalah makrifat yang paling berharga.”
Dengan mengenali diri, manusia sadar bahwa ia adalah khalifah Allah di bumi yang memikul amanat besar, bukan sekadar makhluk biologis yang mengejar kesenangan sesaat.
Kesimpulan
Konsep nilai insaniah dalam Islam menekankan bahwa manusia memiliki dua dimensi: hewani dan insani. Kehidupan hewani memang penting untuk bertahan hidup, tetapi tujuan sejati manusia adalah menyempurnakan diri insani melalui akhlak mulia, amal saleh, dan kedekatan kepada Allah.
Kehidupan batiniah yang terjaga akan menjadikan manusia menemukan makna hidup yang sejati, bukan sekadar mengejar dunia yang fana. Dengan menyeimbangkan kebutuhan fisik dan ruhani, manusia akan mencapai kesempurnaan, kebahagiaan, dan kemuliaan di sisi Allah.