ICC Jakarta
No Result
View All Result
  • Home
  • Profil
    • Sambutan direktur
    • Sejarah Berdiri
  • Kegiatan
    • Berita
    • Galeri
  • Artikel
    • Akhlak
    • Alquran
    • Arsip
    • Dunia Islam
    • Kebudayan
    • Pesan Wali Faqih
    • Press Release
    • Sejarah
  • Hubungi kami
  • Login
ICC Jakarta
No Result
View All Result

PENDAHULUAN ILMU USHUL FIKIH: SEBUAH PEMBACAAN KRITIS BERDASARKAN METODOLOGI ILMIAH MODERN

by Syafrudin mbojo
October 1, 2025
in Fikih
0 0
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Syekh Abdulhadi Fadhli

Daftar Isi

  • Definisi
  • Objek Bahasan
  • Faedah (Manfaat)
  • Hukum Mempelajarinya
  • Hubungannya dengan Ilmu-Ilmu Lain
    1. Ilmu Bahasa Arab
    2. Linguistik Umum: Linguistik
    3. Ilmu Semantik: Semantik
    4. Sosiolinguistik
    5. Psikolinguistik
    6. Ilmu Stilistika (Ilmu al-Uslub)
    7. Ilmu Logika: Logik
    8. Ilmu Rijal (Ilmu Biografi Perawi Hadis)
    9. Ilmu Hadis
    10. Ilmu Kalam: Teologi
    11. Filsafat Klasik
    12. Ilmu Fikih

 

Secara metodologis dan penataan bab, pendahuluan ilmiah untuk suatu ilmu mencakup poin-poin berikut:

  1. Definisi ilmu tersebut.
  2. Penjelasan objek bahasan yang dikaji.
  3. Manfaat (faedah) yang diharapkan dari studi dan pembelajarannya.
  4. Hukum syar’i untuk mempelajari dan mengajarkannya.
  5. Penjelasan hubungannya dengan ilmu-ilmu lain.

Dari sini, seorang peneliti yang ingin mengkaji pendahuluan ushuli (pendahuluan Ushul Fikih) harus memfokuskan studinya pada poros-poros yang disebutkan di atas.

Dan harus kita tegaskan bahwa puncak perkembangan ilmu Ushul Fikih adalah di tangan ulama ushul besar, Syekh Agung Murtadha Anshari, melalui kontribusi-kontribusinya yang meliputi:

  1. Pengaturan kajian ushuli.
  2. Penetapan terminologi ushuli baru yang diperlukan oleh sifat pengembangan.
  3. Penjelasan dan pemfokusan dimensi serta elemen kajian ushuli, yaitu:
  1. Orisinalitas dalam materi kajian.
  2. Kedalaman dalam metode kajian.
  3. Independensi dalam hasil kajian.

Berdasarkan hal tersebut, kita akan mengevaluasi pendahuluan ushuli dengan pembacaan kritis berikut:

Definisinya

Jika kita melakukan peninjauan komprehensif terhadap ilmu-ilmu lain yang serupa dengan ilmu Ushul Fikih, seperti: ilmu-ilmu linguistik (seperti Nahwu, Sharaf, dan Balaghah), pengetahuan rasional (‘aqliyyah) (seperti Logika, Filsafat, dan Ilmu Kalam), dan ilmu-ilmu syar’iyyah (seperti Fikih, Hadis, dan Rijal), serta ilmu-ilmu lainnya, kita akan melihat bahwa definisinya berasal dari realitas objek bahasannya yang dikaji.

Sebagai contoh: Ilmu Logika mengkaji dua objek, yaitu: Definisi (Ta’rif) dan Penalaran (Istidlal). Maka kita dapat mengatakan dalam definisinya: Yaitu ilmu yang mengkaji kaidah-kaidah definisi dan kaidah-kaidah penalaran.

Dan Ilmu Nahwu mengkaji kalimat dari sisi strukturnya dan fungsi setiap kata dalam struktur tersebut. Maka kita dapat mendefinisikannya dengan ucapan kita: Yaitu ilmu yang mengkaji kaidah-kaidah struktur kalimat dan fungsi unsur-unsurnya…dan seterusnya.

Berdasarkan ini: Jika kita ingin mendefinisikan ilmu Ushul Fikih, kita harus bertolak dari pengetahuan tentang objek bahasannya.

Dan karena objek bahasannya tidak jelas garis-garis besarnya dalam literatur-literatur terkenalnya, akibat perbedaan pandangan terhadap realitasnya yang perbedaannya diringkas dalam jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut:

  • Apakah ilmu ini membahas dalil secara mutlak?
  • Atau, apakah ia membahas khusus dalil-dalil fikih, dan secara umum, yaitu mencakup juga Imarat (indikasi) dan Ushul (prinsip-prinsip)?
  • Atau, apakah ia terbatas pada kajian empat dalil: kitab, sunah, ijmak, dan akal?
  • Atau, apakah ia tidak memiliki objek khusus, melainkan membahas berbagai macam masalah yang bertemu di bawah satu tujuan, yang merupakan penghubung umum (al-Qasim al-Musytarak) dan titik temu (al-Qadr al-Jami’) bagi semuanya, dan tujuan tersebut adalah mencapai hukum syar’i atau apa yang menggantikannya dari fungsi-fungsi rasional (‘Aqliyyah)?

Oleh sebab ini, definisinyapun beragam, dan sebagai contohnya:

Sayid Murtadha (w.436 H) dalam kitab al-Dzari’ah berkata, “Sesungguhnya pembicaraan tentang ushul fikih hanyalah, pada hakikatnya, pembicaraan tentang dalil-dalil fikih.”

Syekh Thusi (w.460 H) mendefinisikannya dalam al-’Uddah dengan ucapannya, “Ushul Fikih adalah dalil-dalil fikih.” Yang dimaksud dengan dalil-dalil—sebagaimana tampak dari penjelasannya terhadap definisi tersebut—adalah: kitab dan sunah.

Setelahnya, Fakhruddin Razi (w.606 H) mendefinisikannya dalam al-Mahshul, “Bahwa ia adalah kumpulan cara-cara fikih secara global, dan cara penalaran (istidlal) menggunakannya, serta cara keadaan orang yang berargumen dengannya (al-Mustadill).” Razi menafsirkan cara-cara fikih mencakup dalil-dalil dan amarat (indikasi/tanda).

Setelahnya, Qadhi Alauddin Maqdisi (w.885 H) dalam al-Kawkab al-Munir al-Musamma bi Mukhtashar al-Tahrir membatasi objek bahasannya pada “dalil-dalil yang mengantarkan kepada fikih.”

Setelah perkembangan studi ushuli dalam mazhab Sunni, seorang profesor kontemporer, Syekh Abdul Wahhab Khallaf (w.1376 H), membatasinya dalam kitabnya Ilm Ushul al-Fiqh sebagai “dalil syar’i yang bersifat umum (kulli) dari segi apa yang ditetapkan dengannya berupa hukum-hukum umum (kulliyyah).”

Sebagaimana Anda lihat—definisi-definisi ini mengambil materinya dari penetapan objek bahasannya pada dalil fikih.

Tampaknya, ada definisi lain yang sejajar dengan definisi yang disebutkan, dan berjalan bersamanya berdampingan sejak masa Ibnu Hajib Maliki (w.646 H), di mana ia mendefinisikannya dalam kitabnya Muntaha al-Wushul wa al-Amal sebagai, “Ilmu tentang kaidah-kaidah yang dengannya dapat dicapai penggalian (istimbath) hukum-hukum syar’iyyah cabang (far’iyyah) dari dalil-dalilnya yang terperinci (tafshiliyyah).”

Kita melihat gema dari definisi ini pada Mirza Qummi (w.1231 H) dalam kitabnya al-Qawanin, di mana dia mendefinisikannya sebagai, “Ilmu tentang kaidah-kaidah yang disiapkan untuk penggalian (istimbath) hukum-hukum syar’iyyah.”

Ketika Syekh Khurasani (w.1329 H) mencatat dalam kitabnya al-Kifayah bahwa definisi tersebut tidak mencakup ushul ‘amaliyyah (prinsip-prinsip praktis) yang menentukan fungsi bagi mukalaf (orang yang dibebani hukum) ketika tidak sampainya dia pada hukum waqi’i (sebenarnya), dia mendefinisikannya dengan ucapannya, “Seni yang dengannya diketahui kaidah-kaidah yang mungkin menjadi jalan dalam penggalian hukum-hukum, atau yang menjadi tujuan akhir di saat beramal,”—yang dimaksud dengan bagian terakhir adalah ushul ‘amaliyyah.

Ketidakjelasan identitas kaidah-kaidah dalam definisi-definisi ini datang dari ketidakpercayaan pada kesatuan objek bahasan ilmu ini, sebagaimana jelas.

Barangkali definisi Mirza Bujnurdi dalam kitabnya al-Muntaha menunjuk pada hal ini dengan jelas, di mana dia berkata, “Ilmu Ushul adalah sekumpulan proposisi (qadhaya) yang masing-masingnya layak menjadi premis mayor dalam silogisme yang hasilnya adalah hukum syar’i cabang yang bersifat umum, atau pijakan praktis yang bersifat rasional seperti bara’ah (keterbebasan dari taklif) dan takhyir (pilihan) yang bersifat rasional.”

Guru kami, Syahid Shadr qs, meringkasnya dalam al-Halqah al-Tsalitsah dengan definisi yang lebih akurat dan jauh dari keberatan-keberatan yang dicatat pada definisi penyusun al-Qawanin, dengan ucapannya, “Ilmu Ushul adalah ilmu tentang unsur-unsur bersama (al-’anashir al-musytarakah) untuk penggalian ketetapan syar’i (ja’l syar’i).” Ini karena (al-’anashir al-musytarakah) mencakup segala sesuatu yang memiliki peran langsung dalam proses penggalian fikih, baik itu fenomena kebahasaan sosial umum, maupun pemahaman rasional sosial umum.

Berpedoman darinya, dia membatasi objek ilmu Ushul pada “Dalil-dalil yang bersifat bersama (musytarakah) dalam penalaran fikih secara khusus.”

Dan sebelumnya, Sayid Boroujerdi mendefinisikannya sebagai “hukum (al-qanun) yang dianggap sebagai hujjah (otoritas) dalam fikih.”

Akhirnya, kita berhenti pada definisi Syekh Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul al-Fiqh, yang mengatakan, “Ushul Fikih adalah ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggambarkan metodologi untuk penggalian hukum-hukum praktis dari dalil-dalilnya yang terperinci.”

Ada baiknya saya menyimpang—di sini—untuk menunjukkan bahwa para ulama Ushul memilih kata (istimbat-penggalian), dan tidak menggunakan kata (istikhraj– pengeluaran) atau (istifadah-pengambilan manfaat), karena makna yang dibawa oleh kata ini selaras dengan sifat ijtihad, yaitu pengerahan upaya intelektual dalam mencapai tujuan. Sebab, kata (istimbat) dalam bahasa Arab kita berarti: mengeluarkan, tetapi dengan mengerahkan upaya dan penderitaan pemikiran. Jadi,—singkatnya—ia berarti ijtihad.

Kita dapat melihat perbedaan ini antara (istimbath) dan (istikhraj) dalam penggunaan bahasa Inggris. Jika ia berarti pengeluaran, ia adalah extracting, dan jika ia berarti penemuan yang—seringkali—tidak didapatkan kecuali melalui ijtihad, ia adalah discovery.

Dan sebagaimana yang kita lihat, objek bahasan ilmu ini telah berkembang:

  1. Dari Dalil-Dalil Fikih: Yaitu segala sesuatu yang layak menjadi sandaran fatwa, baik berupa dalil, amarah (indikasi), maupun ashl (prinsip).
  2. Ke Kaidah-Kaidah: Yaitu proposisi-proposisi umum (kulliyyah) yang menjadi premis mayor dalam silogisme penggalian fikih.
  3. Ke Hukum (al-Qanun): Dan al-Qanun adalah al-Qa’idah (kaidah).
  4. Ke Unsur-Unsur Bersama (al-’Anashir al-Musytarakah): Yaitu lebih umum daripada kaidah-kaidah, mencakup setiap unsur bersama yang memiliki peran langsung dalam proses penggalian fikih.

Meskipun demikian, ketidakjelasan masih menyelimuti titik tolak penelitian dalam objek bahasan, dan oleh karenanya objek bahasan itu sendiri. Sebab, kaidah-kaidah tidak dibatasi dengan penambahan yang menjelaskan hakikatnya, seperti dalam definisi ilmu-ilmu lain, demikian pula unsur-unsur bersama dan hukum (al-qanun). Maka, identitasnya tetap tidak jelas, diselimuti oleh kabut, dan diselimuti oleh sesuatu yang mengaburkan.

Apa yang dianut oleh para perintis awal bahwa objek ushul fikih adalah dalil-dalil fikih, lebih dekat pada sifat masalahnya, namun pandangan mereka terfokus pada sisi penerapan dan bukan pada teori.

Ini—menurut pandangan saya—kembali kepada semacam kerancuan yang terjadi antara teori dan penerapan selama penelitian.

Sebab, ilmu ini dari sisi teori membahas tentang Dalalah (signifikansi/petunjuk) secara mutlak: dalalah kebahasaan dalam bahasa apa pun, dan dalalah rasional di semua masyarakat manusia.

Tetapi karena adanya penambahan kata Ushul (yang merupakan dalil-dalil, atau kaidah-kaidah, atau hukum (al-qanun), atau unsur-unsur) kepada Fikih, dan yang dimaksud adalah fikih Islam, maka contoh-contoh dicari dan diambil dari teks-teks syar’iyyah (nas-nas), sehingga teori bercampur dan diselimuti oleh penerapan.

Setelah uraian singkat ini, kita dapat mengatakan: bahwa objek ilmu Ushul Fikih adalah dalil-dalil secara mutlak.

Namun, karena melalui ilmu ini kita mencoba mengetahui dalalah fikih, baik syar’iyyah maupun rasional, untuk mengambil manfaat dari ketetapan syar’i (ja’l syar’i), baik berupa hukum maupun fungsi, maka objek bahasannya—secara khusus—adalah dalalah fikih.

Berpedoman darinya, kita dapat mendefinisikannya sebagai ilmu yang mengkaji dalalah secara umum, dan dalalah fikih secara khusus. Atau katakanlah—singkatnya—ilmu Ushul adalah studi tentang prinsip-prinsip penggalian (ushul al-istimbat).

Objek Bahasan

Melalui penelitian kita tentang definisi ilmu Ushul Fikih, objek bahasannya juga telah kita jelaskan, yaitu: dalalah secara umum dan dalalah fikih secara khusus.

Mari kita ambil contoh yang menjelaskan hal itu: (Al-Zhuhur fil Lafzh– Kejelasan/Makna Eksplisit dalam Lafaz)—apakah lafaz itu berupa kata, kalimat, atau konteks—apakah ia dianggap sebagai dalil yang digunakan untuk berargumen, dan hujjah (otoritas) yang digunakan untuk berdalil?

Hasil yang dicapai oleh penelitian ushuli, baik negatif maupun positif, tidak terbatas pada satu bahasa manusia pun, dan tidak pula terbatas pada satu masyarakat manusia pun, melainkan diambil secara menyeluruh untuk semua bahasa dan semua masyarakat, karena kejelasan lafazh (al-zhuhur al-lafzhi) adalah salah satu fenomena kebahasaan sosial yang bersama (musytarakah) di antara semua bahasa dan di semua masyarakat.

Maka, studi tentang fenomena al-zhuhur—di sini—adalah umum, dan hasilnya yang dicapai oleh studi—juga—umum.

Tetapi karena kita bertujuan dari studi kita terhadap kaidah al-zhuhur yang disebutkan, untuk mencoba mengambil manfaat hukum dari kejelasan lafaz-lafaz syar’iyyah, maka di sini datang penerapan teori umum pada bahasa Arab secara khusus, dan dalam bidang lafaz-lafaz syar’iyyah secara lebih khusus, seolah-olah kita mengkaji dalalah (petunjuk) lafaz-lafaz syar’iyyah secara khusus.

Mari kita ambil contoh lain: (Keharusan memerintahkan sesuatu: adalah larangan terhadap lawannya). Proposisi ini dikaji dalam ilmu Ushul Fikih sebagai fenomena sosial umum bagi semua masyarakat manusia. Maka, apa yang dipahami oleh akal—di sini—atau apa yang menjadi kebiasaan para orang berakal (sirah al-’uqala’) dalam proposisi ini, dari hasil yang dicapai oleh penelitian ushuli, baik negatif maupun positif, dianggap sebagai fenomena umum bagi semua masyarakat manusia.

Tetapi karena kita menerapkan kaidah ini (kaidah keharusan memerintahkan sesuatu: adalah larangan terhadap lawannya) pada perintah-perintah syar’iyyah di masyarakat Islam, kita seolah-olah mengkaji fenomena ini khusus di masyarakat Islam, dan dalam pemenuhan kewajiban syar’iyyah secara lebih khusus…dan seterusnya.

Kita menyimpulkan dari semua ini bahwa ilmu Ushul Fikih mengkaji dua objek bahasan berikut:

  1. Fenomena Kebahasaan Sosial Umum: Yaitu yang bersama (musytarakah) di antara semua bahasa manusia.
  2. Pemahaman Rasional Umum (Al-Mudrakat al-’Aqliyyah al-’Ammah): Yaitu yang bersama (musytarakah) di antara semua masyarakat manusia.

Dan ilmu ini bergerak dalam kajiannya di dalam lingkaran perundang-undangan (syariat), baik syar’iyyah, ‘urfiyyah, maupun qanuniyyah. Dan sebagai Ushul untuk Fikih Islam, ilmu ini membatasi studinya pada masalah-masalah perundang-undangan Islam.

Faedahnya (Manfaatnya)

Jelaslah bahwa faedah ilmu ini sangat penting, karena ia adalah pintu masuk langsung untuk mengetahui hukum-hukum syar’iyyah.

Setiap umat niscaya harus memiliki perundang-undangannya (tasyri’)-nya yang merupakan sistem kehidupannya, dan niscaya perundang-undangannya itu harus memiliki para ulama yang spesialis di dalamnya.

Perundang-undangan umat Islam adalah Fikih Islam, dan para spesialisnya adalah para fukaha (ahli fikih). Seorang fakih tidak akan menjadi fakih kecuali setelah berspesialisasi dalam ilmu Ushul Fikih, karena ia adalah metodologi fikih dan pintu masuk kepadanya.

Hukum Mempelajarinya

Hukum mempelajarinya bersumber dari hukum mempelajari fikih. Dan karena mempelajari fikih termasuk kewajiban kifayah (wajib kifa’i), dan hal itu bergantung pada ilmu Ushul, serta ilmu Ushul adalah pendahuluan langsung untuk berijtihad dalam fikih, maka mempelajari ilmu Ushul—pun—menjadi wajib kifayah dari segi kewajiban atas sesuatu yang tanpanya kewajiban tidak akan sempurna (wujub ma la yitammu al-wajib illa bihi).

Hubungannya dengan Ilmu-ilmu Lain

Ilmu Ushul memiliki hubungan yang erat dengan ilmu-ilmu berikut:

  1. Ilmu-Ilmu Bahasa Arab: Meliputi Fonetik (bunyi), Morfologi (tashrif/sharaf), dan Sintaksis (naḥwu). Hal ini agar pelajar Ushul mengetahui petunjuk/makna (dalalah) dari huruf, kata, dan kalimat, sehingga ia dapat memulai kajian teks Arab, terutama teks syar’i.
  2. Linguistik Umum: Linguistik Ini karena ilmu linguistik umum berfokus pada studi fenomena kebahasaan yang bersifat umum (musytarakah) di antara semua bahasa. Doktor Sa’ran berkata dalam bukunya (‘Ilm al-Lughah: Muqaddimah lil Qari’ al-’Arabi):

“Bahasa yang dikaji oleh ilmu linguistik bukanlah bahasa Prancis, Inggris, atau Arab; ia bukanlah bahasa tertentu dari bahasa-bahasa. Akan tetapi, ia adalah (Bahasa) yang muncul dan terealisasi dalam bentuk banyak bahasa, dialek yang beragam, dan bentuk-bentuk yang berbeda dari ucapan manusia. Meskipun bahasa Arab berbeda dari bahasa Inggris, dan yang terakhir berbeda dari bahasa Prancis, namun ada prinsip-prinsip dan karakteristik mendasar yang menyatukan bahasa-bahasa ini, dan menyatukan antara bahasa-bahasa ini dengan bahasa-bahasa lain dan bentuk-bentuk ucapan manusia. Yaitu bahwa masing-masing darinya adalah bahasa, bahwa masing-masing darinya adalah sistem sosial tertentu yang diucapkan oleh komunitas tertentu, setelah menerimanya dari masyarakat, merealisasikan fungsi-fungsi khusus dengannya, dan diterima oleh generasi baru dari generasi sebelumnya. Sistem ini melewati fase-fase tertentu, dipengaruhi oleh sistem sosial, politik, ekonomi, dan agama lainnya, dan selain itu… dst. Demikianlah, ilmu linguistik mengambil materinya dari pengamatan terhadap bahasa-bahasa yang beragam, dan ia mencoba mencapai pemahaman tentang hakikat dan karakteristik yang merangkai semua bahasa dalam satu ikatan.”

Apa yang dikaji oleh ilmu linguistik ini dahulu dikaji dalam filsafat, kemudian menyusup darinya ke dalam pembahasan Lafazh dalam Ushul Fikih, dan akhirnya independen dari dunia filsafat dengan apa yang dikenal secara modern sebagai (Linguistik Umum).

Ilmu linguistik juga menambahkan hal-hal yang berkaitan dengan bahasa dari data studi kemanusiaan dalam ilmu sosiologi dan psikologi, serta hasil penelitian ilmiah alam dalam fisika, genetika, biologi, fisiologi, dan anatomi. Ia juga memanfaatkan geografi dan sejarah.

Dalam ilmu linguistik terdapat topik-topik yang bersama antara ilmu ini dan ilmu Ushul Fikih, seperti: asal-usul bahasa, hubungan lafaz dengan makna, kata dalam materi dan bentuknya, serta kalimat dalam maknanya baik manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat)…dan sebagainya.

  1. Ilmu Semantik: Semantik Ini karena ilmu semantik mengkaji sarana-sarana untuk mentransfer makna dari pikiran pemberi pesan ke pikiran penerima.

Dan karena ilmu Ushul—sebagaimana telah kami sebutkan—mengkaji dalalah (petunjuk makna), maka hubungan antara keduanya sangatlah erat dan intim.

Dan karena sarana paling penting untuk mentransfer makna adalah (Lafazh), maka hubungan ilmu Ushul Fikih dengan Dalalah al-Alfazh (petunjuk lafaz) menjadi ikatan yang paling melekat dan paling kuat.

Topik-topik ilmu semantik—pun—dahulunya dikaji dalam pembahasan logika dan studi filosofis, dan darinya menyebar ke ilmu Ushul, kemudian menjadi independen secara modern dengan apa yang dikenal sebagai (Ilmu Semantik) dan apa yang dikenal sebagai (Dalalah al-Alfazh).

  1. Sosiolinguistik: Sociolinguistik Karena ia menyajikan di hadapan peneliti Ushul karakteristik dan ciri-ciri fenomena kebahasaan sosial, dan membantunya dalam meneliti serta cara mengetahui universalitasnya.
  2. Psikolinguistik: Psycholinguistik Karena hubungannya dalam mengetahui dampak dari fenomena psikologis pada fenomena kebahasaan.
  3. Ilmu Stilistika (‘Ilm al-Uslub) Ini adalah salah satu ilmu modern yang berperan sebagai ilmu Balaghah (Retorika) dalam mengetahui gaya bahasa (uslub) dalam karakteristik dan keistimewaannya. Ini memberikan penerangan dalam mengetahui gaya bahasa teks-teks syar’iyyah yang ditangani oleh peneliti Ushul, serta mengetahui tingkat dan pola dalalah-nya sebagai qara’in (indikasi pendukung) yang membantu mengungkap legalitasnya dan asalnya dari manusia maksum as.
  4. Ilmu Logika: Logik Karena saya telah mengisyaratkan bahwa logika mengkaji dua topik: Definisi (Ta’rif) dan Penalaran (Istidlal). Dalam ilmu Ushul terdapat terminologi dan konsep yang harus didefinisikan, dan karena di dalamnya terdapat proposisi-proposisi yang harus dibuktikan kebenarannya atau otoritasnya (ḥujjiyyah), maka ilmu Ushul memiliki hubungan dengannya untuk mengetahui cara dan kaidah definisi serta cara dan kaidah penalaran.

Ditambah lagi, dalalah yang merupakan objek ilmu Ushul adalah salah satu pembahasan ilmu logika, dan darinya meluas ke ilmu Ushul, sebagaimana yang telah saya tunjukkan.

  1. Ilmu Rijal (Ilmu Biografi Perawi Hadis) Ini karena dalam Ushul Fikih, dalam bidang aplikatif dan penalaran untuk proposisinya yang terkait dengan aspek Islam, terkadang digunakan hadis sebagai dalil, sehingga dibutuhkan pengetahuan tentang nilai sanadnya dari segi penerimaan atau penolakan. Keadaan para perawi (aḥwal al-rijal) adalah penjaminnya.
  2. Ilmu Hadis Ini untuk mengetahui tingkat hadis yang mungkin dijadikan dalil di sini, dalam nilainya dari segi dapat dipertimbangkan atau tidak, sehingga sah dijadikan dalil atau tidak sah.
  3. Ilmu Kalam: Teologi Terutama dalam topik Penyempurnaan dan Pemburukan yang Bersifat Rasional (al-taḥsin wa al-taqbiḥ al-’aqliyayn), di mana topik ini menetapkan adanya nilai-nilai rasional untuk fenomena sosial yang disepakati oleh pandangan orang-orang berakal (‘uqala’), seperti baiknya keadilan dan buruknya kezaliman, serta keharusan mengerjakan sesuatu yang tanpanya kewajiban tidak sempurna, dan keharusan memerintahkan sesuatu yang mengharuskan larangan terhadap lawannya.

Demikian pula untuk membuktikan legalitas dan keabsahan kitab dan sunah sebagai dua sumber bagi Fikih Islam.

  1. Filsafat Klasik di mana ia adalah tanah yang subur tempat tumbuhnya teori-teori kebahasaan sosial yang dikaji dan diteliti oleh ilmu Ushul.

Demikian pula, dari filsafat klasik, kajian Ushul mengambil prinsip-prinsip rasional umum, seperti: prinsip kausalitas (al-’illiyyah), prinsip kemustahilan kontradiksi (istiḥalat al-tanaquḍ), dan keengganan dawr (sirkularitas) serta tasalsul (regresif).

12. Ilmu Fikih Ini karena hasil-hasil fikih melewati tahapannya mulai dari teks dan dalalah-nya, hadis dan para perawinya, serta hasil dari akal dan kebiasaan orang-orang berakal, untuk menjadi hasil fikih melalui Ushul Fikih, yang pada gilirannya menyiapkan premis mayornya untuk bagian-bagiannya yang parsial guna mengungkap otoritasnya (ḥujjiyyah) dan sejauh mana kemampuannya untuk menegakkan dalalah fikih.

Syafrudin mbojo

Syafrudin mbojo

Related Posts

KEISTIMEWAAN FIKIH SYIAH DARI SEGI KELUASAN, UNIVERSALITAS, KEDALAMAN DAN KEMAMPUAN MENGIKUTI TUNTUTAN KEHIDUPAN YANG TERBARUKAN
Fikih

KEISTIMEWAAN FIKIH SYIAH DARI SEGI KELUASAN, UNIVERSALITAS, KEDALAMAN DAN KEMAMPUAN MENGIKUTI TUNTUTAN KEHIDUPAN YANG TERBARUKAN

October 1, 2025

Oleh: Syekh Ja’far Subhani Sesungguhnya Fikih Syiah adalah pohon yang baik, yang akarnya kokoh, dan fondasinya terhubung dengan kenabian. Ia...

CIRI-CIRI KREATIVITAS FUNDAMENTALIS (USHULI) PADA DIRI SYAHID SAYID MUHAMMAD BAQIR SHADR
Fikih

CIRI-CIRI KREATIVITAS FUNDAMENTALIS (USHULI) PADA DIRI SYAHID SAYID MUHAMMAD BAQIR SHADR

October 1, 2025

Oleh: Ustaz Haidar Hubballah Pendahuluan Tidak mungkin membaca beberapa fenomena manusia dengan pemahaman yang komprehensif tanpa mempertimbangkan elemen ruang-waktu tempat...

KEHARAMAN ABORSI DALAM ISLAM
Fikih

KEHARAMAN ABORSI DALAM ISLAM

September 24, 2025

Oleh: Syekh Muhammad Taufiq Miqdad Tidak diragukan lagi bahwa reproduksi adalah ketetapan ilahi yang dijadikan Allah sebagai jalan untuk kelangsungan...

HAK WALI AYAH DAN KAKEK DARI PIHAK AYAH DALAM PERNIKAHAN GADIS PERAWAN
Fikih

HAK WALI AYAH DAN KAKEK DARI PIHAK AYAH DALAM PERNIKAHAN GADIS PERAWAN

September 23, 2025

Oleh: Syekh Hasan Jawahiri Teks Syubhat (Keraguan): Islam telah memberikan kebebasan, kepribadian, dan kemandirian intelektual dan ekonomi kepada wanita. Islam...

HUKUM-HUKUM TERKAIT PEKERJAAN DAN PERPUTARAN MODAL
Fikih

HUKUM-HUKUM TERKAIT PEKERJAAN DAN PERPUTARAN MODAL

September 18, 2025

Oleh: Sayid Ali Sistani   Pendahuluan Pada prinsipnya, seorang muslim diperbolehkan untuk menjalankan berbagai aktivitas vital dan berbagai jenis pekerjaan...

APAKAH SYIAH ABAI DALAM MASALAH RIBA?!
Fikih

APAKAH SYIAH ABAI DALAM MASALAH RIBA?!

September 15, 2025

Oleh: Sayid Abdul Husain Syarafuddin   Teks Syubhat (Keraguan): Dia berkata, “Saya menyukai agama Syiah dalam hal pengharaman setiap minuman...

Next Post
CIRI-CIRI KREATIVITAS FUNDAMENTALIS (USHULI) PADA DIRI SYAHID SAYID MUHAMMAD BAQIR SHADR

CIRI-CIRI KREATIVITAS FUNDAMENTALIS (USHULI) PADA DIRI SYAHID SAYID MUHAMMAD BAQIR SHADR

KEISTIMEWAAN FIKIH SYIAH DARI SEGI KELUASAN, UNIVERSALITAS, KEDALAMAN DAN KEMAMPUAN MENGIKUTI TUNTUTAN KEHIDUPAN YANG TERBARUKAN

KEISTIMEWAAN FIKIH SYIAH DARI SEGI KELUASAN, UNIVERSALITAS, KEDALAMAN DAN KEMAMPUAN MENGIKUTI TUNTUTAN KEHIDUPAN YANG TERBARUKAN

Kaum Qadiyaniyah Telah Dihukumi Kafir Karena Mengklaim Kenabian Bagi Pemimpin Mereka. Jadi, Apa Bedanya Dengan Kaum Syiah Yang Mengklaim Karakteristik Para Nabi Bagi Para Imam Mereka?

Kaum Qadiyaniyah Telah Dihukumi Kafir Karena Mengklaim Kenabian Bagi Pemimpin Mereka. Jadi, Apa Bedanya Dengan Kaum Syiah Yang Mengklaim Karakteristik Para Nabi Bagi Para Imam Mereka?

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

ICC Jakarta

Jl. Hj. Tutty Alawiyah No. 35, RT.1/RW.7, Pejaten Barat.
Pasar Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12510

Telepon: (021) 7996767
Email: iccjakarta59@gmail.com

Term & Condition

Agenda

[tribe_events_list]

HUBUNGI KAMI

Facebook
Telegram

Jadwal Salat Hari Ini

sumber : falak-abi.id
  • Lintang: -6.1756556° Bujur: 106.8405838°
    Elevasi: 10.22 mdpl
Senin, 26 Desember 2022
Fajr04:23:34   WIB
Sunrise05:38:32   WIB
Dhuhr11:53:01   WIB
Sunset18:07:31   WIB
Maghrib18:23:39   WIB
Midnight23:15:32   WIB
  • Menurut Imam Ali Khamenei, diharuskan berhati-hati dalam hal waktu salat Subuh (tidak berlaku untuk puasa) dengan menambah 6-7 menit setelah waktu diatas

© 2022 ICC - Jakarta

No Result
View All Result
  • Home
  • Profil
    • Sambutan direktur
    • Sejarah Berdiri
  • Kegiatan
    • Berita
    • Galeri
  • Artikel
    • Akhlak
    • Alquran
    • Arsip
    • Dunia Islam
    • Kebudayan
    • Pesan Wali Faqih
    • Press Release
    • Sejarah
  • Hubungi kami

© 2022 ICC - Jakarta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist