Oleh: Sayid Muhammad Ridha Jalili
Alquran dan hadis mulia—keduanya adalah dua sumber terpenting bagi peradaban Islam yang gemilang di mata mayoritas umat Islam, sepanjang masa. Hanya orang-orang yang “menyimpang” (syadz) yang pendapatnya tidak memengaruhi konsensus (ijma’) atau kesepakatan yang keluar dari kemaslahatan ini.
Pengaruh timbal balik antara kedua sumber ini disajikan dalam dua bidang besar dan penting:
Pertama, dalam bidang kehujjahan (otoritas) dan penegasan sumbernya.
Kedua, dalam bidang pembatasan atau spesifikasi (al-takhdid) bagi masing-masing dengan yang lain.
- Di Bidang Pertama (Kehujahan dan Penegasan Sumber)
Telah menjadi jelas—bagi para ahli pengetahuan Islam—bahwa Alquran mulia, sebagai mukjizat ilahi yang abadi, adalah salah satu bukti terpenting untuk menetapkan risalah kenabian dan mengukuhkan kesucian Rasulullah saw yang menyampaikannya, menyatakan wahyu Alquran itu sendiri, membawanya di hatinya, dan menerapkannya dalam kehidupan dan perilakunya.
Karena itu, Alquran menonjol sebagai hujah (bukti) terkuat atas risalah itu sendiri, dan atas kehujahan Rasul saw dalam risalah, perbuatan, perkataan, dan keinginannya.
Bahkan, ayat-ayat mulia yang dijadikan argumen (hujjah) atas kehujjahan Hadis Syarif adalah bukti yang paling jelas, paling terkenal, paling memukau, dan paling meyakinkan bagi para peneliti kehujjahan hadis dan sunnah.
Alquran juga dibedakan dengan keunggulan kepastian (al-qath’iyah) dan kemutawatiran; ia adalah sumber yang tidak diragukan, sebagaimana ditegaskan oleh teks wahyu itu sendiri. Kepadanya-lah semua dalil lain dikembalikan saat terjadi perbedaan pendapat, dan di hadapan ayat-ayatnya yang muhkam (jelas) setiap perselisihan dan pertentangan berhenti. Ia adalah al-qawl al-fashl (perkataan yang memisahkan antara yang benar dan yang salah) dan bukanlah senda gurau.
Kemudian, hadis syarif terus-menerus memiliki teks-teks mutawatir yang diketahui kehujjahannya, mendukung Alquran dengan penguatan dan penjelasan, penyebaran dan penyampaian, serta cara-cara lain seperti pengudusan dan pemuliaan, dorongan untuk menggunakannya melalui hafalan, pembacaan, dan penulisan, hingga perenungan, pengamalan, dan penerapan, serta beragam metode lain, sesuai dengan maksud, tujuan, dan sasaran.
Namun, hadis yang dijadikan sandaran dalam bidang ini tidak harus bersifat pasti (qath’i). Sebaliknya, para ulama Islam—secara keseluruhan—telah mencukupkan diri dengan hadis yang diriwayatkan, meskipun itu hadis ahad (diriwayatkan oleh satu orang atau sejenisnya) yang belum mencapai tingkat kepastian (qath’i) dan keyakinan. Mereka merangkumkan sandaran pada semua yang diriwayatkan selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar yang pasti (qath’i) atau cabang yang kokoh, baik dari prinsip-prinsip (ushul) maupun cabang-cabang (furu’) agama. Mereka sepakat tentang kebolehan mengamalkannya, menganggapnya sebagai petunjuk menuju hal-hal yang termasuk dalam tuntutan akal yang disetujui syariat melalui hadis semacam itu, atau yang tidak bertentangan dengannya melalui dalil-dalil yang umum digunakan.
Hal ini pada umumnya adalah masalah-masalah primer yang disertai dengan insentif-insentif fisik (sensual) atau pembenaran moral dan kemanusiaan yang cukup untuk dijadikan sandaran.
Termasuk dalam kategori ini adalah apa yang diriwayatkan tentang keutamaan Alquran, surah-surah dan ayat-ayatnya, dan hal-hal lain yang mendorong pembacaan, penulisan, penyembuhan, pembawaan, pengamalan, atau ruqyah (mantera).
Sesungguhnya, praktik umat Islam telah bersepakat (ijma’) mengenai toleransi dalam dalil-dalil semua itu, dan mengenai kepatuhan terhadap maknanya demi mengharapkan tuntutan syar’i dan mencapai pahala serta ganjaran, yang telah disampaikan melalui hadis-hadis tersebut, yang memberikan sentuhan istihbab (sunah) syar’i pada amalan-amalan, meskipun ia tidak ditandai dengan penetapan pasti (qath’i)—menurut beberapa metodologi—sebagaimana dirinci dalam pembahasan fikih dan ushul fikih.
- Di Bidang Kedua (Pengaruh Timbal Balik dalam Pembatasan/Spesifikasi)
Dalam bidang kedua—yaitu pertukaran pengaruh dalam pembatasan (spesifikasi)—ada dua hal yang perlu diingat:
Pertama, pengaruh dengan pembatasan pada yang lain hanya terwujud ketika terdapat pertentangan (ta’arudh) di antara keduanya. Pertentangan hanya sah terjadi antara dua hal yang setara dalam tingkatannya, dan jika kedua yang bertentangan berada pada tingkatan yang sama. Karena Alquran mulia bersifat pasti (qath’i) sumbernya, sebagaimana telah disinggung, maka apa yang dimaksudkan untuk menentangnya juga harus pasti (qath’i).
Karena itu, hadis yang dimaksudkan untuk membatasi (menentukan makna) Alquran haruslah dari jenis hadis qath’i, yang diperoleh baik melalui tawatur atau melalui penerimaan dari seluruh umat (al-Qabul min qibal al-ummah), yang dengan demikian meningkatkan hadis ke tingkat yang pasti (qath’i) dan diketahui.
Jika tidak, hadis zhanni (dugaan), baik ahad maupun yang lainnya, tidak memiliki kemampuan untuk melawan Alquran atau berdiri sejajar dengannya sehingga dapat memaksakan perlawanan dan pertentangan, karena tidak terpenuhinya syarat mendasar ini dalam pertentangan.
Kedua, anggapan adanya pengaruh dengan pembatasan memerlukan adanya perbedaan—meskipun hanya sebagian—antara kedua belah pihak. Jika tidak, jika ada kesepakatan penuh di antara keduanya, sehingga keduanya hanya menunjukkan satu hal, maka pengaruhnya hanyalah dalam bentuk dukungan dan penguatan, bukan pengaruh dengan pembatasan.
Meskipun demikian, rujukan (otoritas) pada saat itu adalah pada Alquran itu sendiri, karena ia adalah dasar otoritas, yang ditandai dengan kepastian (qath’iyah), sebagaimana telah disebutkan. Oleh karena itu, tidak ada kebutuhan untuk bersandar pada hadis, kecuali atas dasar petunjuk terhadap apa yang ada di dalam Alquran, dan sebagai penjelas serta penafsirnya.
Penutup
Pengaruh dari sisi Alquran terhadap hadis hanyalah dalam hal penerimaan hadis—setelah hadis tersebut memiliki kemampuan untuk berada di sisi perlawanan (pertentangan)—.
Banyak hadis yang telah melampaui batas syuhrah (keterkenalan) telah menegaskan untuk mengambil apa yang sesuai dengan kitab Allah, dan meninggalkan apa yang bertentangan dengannya.
Kelompok-kelompok muslim telah mematuhi hadis-hadis ini dan menganggapnya sebagai kaidah penerimaan hadis.
Namun, kelompok-kelompok lain menolak untuk mematuhinya dan menganggapnya batil dan palsu, bertentangan dengan apa yang menunjukkan kehujjahan hadis. Mereka berpendapat bahwa ini adalah pembatasan dalil-dalil agama dan membatasinya pada Alquran, padahal kuantitas teks hadis jauh lebih besar dari ukuran Alquran, berpuluh-puluh kali lipat.
Penolakan ini didasarkan pada asumsi bahwa pertentangan (al-mukhalafah)—yang dengannya hadis ditolak—meliputi setiap perbedaan antara hadis dan Alquran. Berdasarkan pandangan ini, tidak akan ada ruang untuk pengaruh melalui pembatasan/spesifikasi (al-takhdid), karena harus selalu ada kesesuaian.
Namun, yang dimaksud dengan kesesuaian (muwafaqah) hadis dengan Alquran bukanlah kesamaan (muthabaqah) dan kesepakatan total. Sebab, jika demikian, hadis tidak akan memiliki keunggulan kecuali sebagai petunjuk dan pengaruh melalui penguatan semata. Ini jelas bertentangan dengan kehujjahan hadis sejajar dengan Alquran, sebagaimana yang disepakati oleh para ulama Islam tanpa perselisihan.
Sebaliknya, yang dimaksud dengan kesesuaian adalah ketidakbertentangan dengan teks-teks Alquran yang jelas dan hukum-hukumnya yang pasti dan disepakati oleh para ahli kebenaran, yang telah menjadi keniscayaan (dharuriyat) agama, baik dari maksud (muradat) maupun petunjuk (dalalat) Alquran.
Hadis, bagaimanapun keadaannya—baik sanadnya sahih maupun daif—harus sesuai dengan hakikat-hakikat dan keniscayaan-keniscayaan tersebut. Jika bertentangan dengan salah satunya, maka hadis itu adalah hiasan, batil, dan tertolak, betapapun sahihnya. Bahkan, semakin ia shahih, semakin ia lemah, karena bertentangan dengan apa yang telah pasti dalam Alquran.
Sebaliknya, jika hadis sepenuhnya sesuai dengan keniscayaan-keniscayaan ini, maka hadis itu diterima tanpa melihat sanadnya. Kesesuaian ini justru dijadikan bukti atas keabsahannya, sehingga kebenaran yang terkandung dalam hadis tidak ditinggalkan hanya karena kelemahan yang ditemukan pada sanadnya.
Jika hadis sesuai dengan keniscayaan-keniscayaan ini, namun berbeda dalam hal yang bukan merupakan bagian dari keniscayaan tersebut—seperti penambahan batasan atau syarat—maka hadis yang mencapai tingkat perlawanan (mu’aradhah) dapat memberikan pengaruh pada makna Alquran melalui pembatasan (al-takhdid). Di sinilah letak pentingnya dan pengaruh besar hadis, di mana dengannya Alquran dijelaskan, dirinci, dan ditafsirkan.
Adapun hadis yang bertentangan dengan keniscayaan-keniscayaan tersebut, pembatalannya bukanlah pembatalan terhadap hadis secara keseluruhan, sehingga hal itu dijadikan alasan untuk menolak “hadis-hadis kesesuaian” ini. Sebaliknya, pembatalan itu adalah penentuan hadis mana yang tidak mampu menandingi Alquran. Sebab, pertentangan tersebut menyingkap gugurnya kehujahan dan kredibilitas hadis yang bertentangan, sehingga tidak mencapai tingkat untuk dihadapkan dengan Alquran yang kehujahannya pasti.
Sungguh mengherankan bagi mereka yang berlebih-lebihan (ifrath) terhadap hadis atas kerugian Alquran, dan yang menyerukan ucapan, “Cukuplah bagi kami Kitabullah”, dan mengambil sikap melarang penulisan, penyebaran, dan periwayatan hadis. Bagaimana bisa mereka menolak “hadis-hadis kesesuaian” dengan alasan yang begitu lemah!
Sebagaimana Alquran menderita karena kelalaian (tafrith) terhadapnya dengan memegang teguh hadis atas kerugian Alquran. Kaum Hasywiyyah—salah satu kelompok Islam—berpegang teguh pada semua yang disebut “hadis.” Mereka meyakininya dan membangun pemikiran serta amalan mereka di atasnya, baik dalam bidang ilmu dan akidah, maupun dalam bidang amal dan hukum, secara mutlak; baik yang bersifat anjuran (nadb) atau istihbab (sunnah), maupun yang bersifat kewajiban (ilzam dan ijab).
Kepatuhan ini menyebabkan pelanggaran-pelanggaran mengerikan terhadap keniscayaan-keniscayaan yang jelas dalam Islam, baik akidah maupun syariat, serta goyahnya hal-hal yang disepakati oleh para ulama umat, dan gugurnya kemaslahatan yang disepakati oleh umat Islam, yang didasarkan pada dalil akal yang badhihi (jelas), dan juga berdasarkan teks-teks yang jelas, seperti ayat-ayat muhkam (jelas) dalam Alquran dan hadis-hadis yang lurus.
Namun, kaum Hasywiyyah, berdasarkan hadis apa pun yang diriwayatkan kepada mereka, dan dengan cara apa pun—bagaimanapun keadaannya—mereka berpaling dari hakikat-hakikat tersebut dan menolak kemaslahatan tersebut, dengan dalih kepatuhan mereka pada hadis.
Tidak diragukan lagi bahwa berlebih-lebihan (ifrath) ini ditolak oleh orang-orang berakal di antara ulama umat, sebagaimana kelalaian (tafrith) itu juga ditolak oleh mereka.
Penyimpangan-penyimpangan ini tidak memengaruhi kebenaran yang telah ditetapkan di kalangan umat Islam, melalui ayat-ayat Alquran yang muhkam dan hadis mulia yang pasti diterima, karena kuatnya dalil-dalil atasnya di satu sisi, dan karena keteguhan, perjuangan, kehormatan, dan penolakan para ahli kebenaran, betapapun kecil jumlah mereka, di sisi lain.
Apa yang kami sebutkan mengenai bidang-bidang pengaruh timbal balik antara Alquran dan hadis, serta poros-poros penelitian dan studi yang melingkupinya, dan hal-hal lain yang tidak kami sebutkan, semuanya membutuhkan studi yang luas dan mendalam, serta perbandingan antara pandangan dan mazhab Islam yang hidup, dengan tujuan untuk menyatukan sudut pandang, demi membuka jalan untuk mencapai persatuan umat Islam dan mengokohkan budaya serta pengetahuan mereka.
Kami telah berusaha—dalam edisi majalah ini—untuk menyajikan karya-karya yang tersedia bagi kami yang berputar di sekitar beberapa poros ini.
Kami menyerukan kepada para pemilik semangat dari kalangan cendekiawan dan ilmuwan, untuk menyelesaikan tahapan guna mencapai puncak yang dicita-citakan demi tujuan-tujuan yang terpuji tersebut.
Dan Allah di balik semua maksud dan tujuan.