Dalam pandangan Islam, setiap hukum Allah Swt ditetapkan bukan tanpa alasan. Setiap perintah memiliki tujuan, dan setiap larangan membawa hikmah. Namun ketika manusia melanggar batas-batas itu—yakni melakukan maksiat—maka sesungguhnya ia tengah menghancurkan sendi-sendi kemaslahatan hidupnya sendiri. Maksiat bukan sekadar dosa pribadi, tetapi sumber kerusakan moral, spiritual, bahkan sosial.
Hukum Ilahi: Berdiri di Atas Kemaslahatan
Syariat Islam diturunkan bukan untuk membatasi manusia, melainkan untuk menuntunnya pada kemaslahatan sejati. Hukum-hukum Tuhan bersifat tetap, rasional, dan memiliki ukuran yang pasti. Di balik setiap perintah dan larangan tersimpan kebijakan Allah Yang Mahabijaksana.
Para ulama menegaskan bahwa setiap syariat pasti memiliki illat (sebab) dan hikmah (tujuan). Sebagian telah dijelaskan oleh para maksum—orang-orang suci dari keluarga Rasulullah saw—sementara sebagian lainnya mungkin belum terungkap sepenuhnya. Meskipun demikian, seorang mukmin tetap meyakini bahwa semua hukum Allah adalah baik dan mengandung kebaikan, karena tidak mungkin keburukan lahir dari Zat Yang Mahabijak.
Dengan kata lain, menaati hukum Ilahi berarti menyambung diri dengan sumber kemaslahatan. Sebaliknya, bermaksiat berarti memutus tali kebaikan dan membuka pintu kehancuran.
Maksiat: Lepas dari Kebaikan, Mendatangkan Kerusakan
Setiap kali seseorang melakukan maksiat, sesungguhnya ia sedang menolak kemaslahatan yang telah disediakan Allah melalui perintah-perintah-Nya. Dalam pandangan moral Islam, maksiat adalah bentuk pengingkaran terhadap sistem kebaikan yang telah diatur oleh Sang Pencipta.
Sayidah Fatimah az-Zahra as dalam Khotbah Fadakiah memberikan penjelasan mendalam tentang sebab-sebab di balik hukum-hukum Allah. Beliau bersabda bahwa iman ditetapkan untuk membersihkan dari syirik, salat untuk menghapus kesombongan, zakat untuk menyucikan diri dan menambah rezeki, puasa untuk meneguhkan keikhlasan, dan haji untuk memperkuat agama. Semua hukum itu membawa kebaikan bagi manusia—baik secara individu maupun sosial.
Maka ketika seseorang melanggar hukum-hukum tersebut, ia sesungguhnya sedang melemahkan sistem kehidupan yang dirancang untuk kemaslahatan dirinya sendiri. Maksiat bukan hanya pelanggaran terhadap aturan, tapi juga bentuk sabotase terhadap keseimbangan spiritual dan sosial.
Dimensi Sosial dan Spiritual Kemaksiatan
Dalam konteks masyarakat, maksiat memiliki dampak yang luas. Perbuatan dosa dapat menghancurkan kepercayaan, melemahkan keadilan, dan menimbulkan kekacauan moral. Dalam Al-Qur’an, Allah Swt berkali-kali mengingatkan bahwa kerusakan di muka bumi muncul akibat tangan-tangan manusia yang melanggar ketentuan Ilahi.
Secara spiritual, maksiat menutupi cahaya hati. Ia menumpulkan kepekaan ruhani dan membuat seseorang sulit merasakan kedamaian dalam ibadah. Ulama tasawuf menyebut keadaan ini sebagai zulumat al-qalb—kegelapan hati. Ketika hati telah gelap, seseorang akan sulit membedakan antara kebaikan dan keburukan, antara kenikmatan sejati dan kesenangan semu.
Menemukan Kenikmatan Fitri dalam Menjauhi Maksiat
Setiap manusia memiliki dorongan alami untuk mencari kenikmatan. Namun tidak semua kenikmatan membawa kebaikan. Para ahli hikmah membedakan dua jenis kenikmatan: kenikmatan indrawi (lahiriah) dan kenikmatan intelektual atau ruhani (batiniah).
Kenikmatan indrawi mencakup kesenangan yang diperoleh melalui pancaindra—seperti makan, melihat sesuatu yang indah, atau mendengar suara yang merdu. Sedangkan kenikmatan ruhani muncul dari aktivitas batin seperti berpikir, berzikir, dan berbuat kebajikan.
Sayangnya, banyak orang menganggap kenikmatan hanya sebatas kesenangan indrawi. Mereka tidak menyadari bahwa kenikmatan yang lebih tinggi justru terletak pada kejernihan jiwa dan kedekatan dengan Allah. Padahal, kenikmatan ruhani jauh lebih dalam dan abadi dibandingkan kesenangan sesaat yang ditawarkan dunia.
Ketika seseorang menjauhi maksiat, ia bukan kehilangan kenikmatan, melainkan sedang memurnikan fitrahnya agar mampu merasakan kenikmatan yang lebih sejati. Inilah makna kenikmatan fitri—yakni kebahagiaan yang muncul ketika ruh kembali kepada kesucian asalnya.
Mengikis Nafsu, Menemukan Kebahagiaan Sejati
Orang yang hatinya bersih akan merasakan kelezatan dalam mengingat Allah Swt. Zikir, doa, dan ketaatan menjadi sumber kenikmatan yang tak tertandingi. Bahkan, bagi para arifin, meninggalkan maksiat bukanlah kehilangan kesenangan, melainkan justru kebahagiaan tersendiri.
Mereka menemukan rasa damai saat menahan diri dari dosa, karena hati mereka sudah tidak tertarik pada dunia yang fana. Inilah puncak kebahagiaan spiritual, ketika seseorang tidak lagi memandang larangan Tuhan sebagai beban, tetapi sebagai perlindungan dari kehancuran batin.
Sebagaimana dikatakan para sufi:
“Ruh yang suci tidak akan rela menukar kenikmatan zikir kepada Allah dengan kenikmatan dunia, betapapun besarnya.”
Kuat atau lemahnya kenikmatan ruhani tergantung pada kadar pengetahuan dan kesadaran seseorang. Semakin tinggi pemahaman seseorang terhadap kebijaksanaan Ilahi, semakin besar pula kenikmatan yang dirasakannya dalam ketaatan.
Dunia: Sarana, Bukan Tujuan
Islam tidak mengajarkan manusia untuk membenci dunia. Dunia adalah ladang untuk menanam amal dan tempat menguji kesetiaan. Namun dunia bukan tujuan akhir. Jika seseorang memandang dunia hanya sebagai fasilitas untuk menggapai ridha Allah, maka kehidupan duniawi tidak akan menghalangi kemajuan spiritualnya.
Sebaliknya, jika dunia dijadikan tujuan, maka manusia akan terperangkap dalam materialisme. Dari sinilah maksiat sering berawal—dari keinginan yang tak terkendali terhadap harta, jabatan, atau kenikmatan jasmani.
Dengan cara pandang spiritual, seorang mukmin dapat hidup di dunia tanpa menjadi budak dunia. Ia bekerja, berkeluarga, dan beraktivitas, tetapi tetap menjaga hati agar tidak tenggelam dalam hawa nafsu.
Antara Kenikmatan Semu dan Kebahagiaan Hakiki
Mereka yang terjebak dalam maksiat sering mengira bahwa dosa memberi kebahagiaan. Padahal, yang mereka rasakan hanyalah kesenangan semu. Setelah dosa dilakukan, hati terasa hampa, gelisah, bahkan menyesal. Itulah tanda bahwa ruh manusia sebenarnya tidak diciptakan untuk bergelimang dalam dosa.
Sebaliknya, orang yang menjaga diri dari maksiat merasakan ketenangan batin. Hatinya bersih, pikirannya jernih, dan jiwanya ringan. Ia hidup dengan kesadaran bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa dibeli, melainkan hanya dapat diraih dengan kedekatan kepada Allah Swt.
Ketika seseorang mencapai tingkat ini, maka meninggalkan maksiat bukan lagi terasa berat. Ia justru menikmati ketaatan, karena ketaatan itu sendiri telah menjadi kenikmatan baginya.
Menemukan Kembali Fitrah
Islam mengajarkan bahwa manusia lahir dalam keadaan fitrah—suci dan condong kepada kebaikan. Maksiat mengotori fitrah itu, sementara taubat dan amal saleh membersihkannya kembali. Dengan menjaga kesucian fitrah, seseorang akan merasakan kenikmatan hidup yang sejati: kenikmatan dalam iman, ibadah, dan kedamaian batin.
Kehidupan dunia yang penuh kesenangan sementara hanyalah ujian. Mereka yang mampu menahan diri dari maksiat berarti telah menundukkan hawa nafsu, dan itulah kemenangan sejati seorang hamba.
Penutup: Jalan Kemaslahatan dan Kenikmatan Abadi
Pada akhirnya, menjauhi maksiat bukan hanya urusan moral, tetapi juga strategi spiritual untuk mempertahankan kemaslahatan hidup. Allah Swt menetapkan hukum-hukum-Nya agar manusia tidak tersesat oleh kesenangan palsu.
Dengan menaati perintah-Nya, seseorang akan menemukan kenikmatan yang lebih tinggi daripada semua kesenangan duniawi: kenikmatan ruhani, kenikmatan fitri, dan kebahagiaan abadi di sisi Allah.
Karena itu, menjaga diri dari maksiat bukan berarti meninggalkan kenikmatan, melainkan melangkah menuju kebahagiaan sejati yang sesuai dengan hakikat kemanusiaan.
“Maka bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa, dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Islam.” (QS. Ali Imran [3]: 102)