Peringatan Aza Ali Asghar khusus untuk kalangan akhwat dan anak-anak digelar pada Jumat, 4 Juli 2025, di Aula Husainiyah Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta. Acara ini menjadi bagian dari rangkaian peringatan Muharram yang ditujukan untuk membangun kesadaran spiritual di kalangan perempuan dan anak-anak mengenai tragedi Karbala serta keteladanan keluarga Rasulullah saw.
Rangkaian kegiatan diawali dengan pembukaan booth kerajinan tangan anak-anak. Kegiatan ini dirancang untuk menumbuhkan kecintaan kepada nilai-nilai Ahlulbait a.s. melalui media ekspresi kreatif yang sederhana namun bermakna. Anak-anak diberi ruang untuk mengenal sosok Sayyid Ali Asghar a.s. sebagai lambang kesucian, pengorbanan, dan ketabahan keluarga Ahlulbait a.s. dalam sejarah Islam.
Direktur ICC Jakarta, Syaikh Mohammad Sharifani, memberikan sambutan yang menekankan pentingnya menjadikan Sayyid Ali Asghar a.s. sebagai teladan moral dan spiritual. Beliau menggarisbawahi bahwa kualitas seorang manusia dinilai dari tiga aspek: ilmu, jiwa, dan amal perbuatannya. Menurut beliau, ketiga hal tersebut sangat ditentukan oleh proses pendidikan dalam keluarga, khususnya melalui peran seorang ibu. Karena itu, Islam menempatkan kedudukan ibu pada posisi mulia, sebagai pendidik utama yang membentuk watak dan arah hidup anak-anaknya.
Sambutan berikutnya disampaikan oleh Ketua Majma Nasional, Syarifah Azizah Zulfa, yang menyampaikan bahwa acara ini telah rutin digelar sejak tahun 2018. Beliau menekankan pentingnya memperingati syahadah Sayyid Ali Asghar a.s. sebagai sarana refleksi terhadap peran anak-anak dan keluarga dalam perjuangan kebenaran.
Rangkaian persembahan dari berbagai lembaga pendidikan anak menjadi bagian utama acara. Di antaranya adalah senandung untuk Sayyid Ali Asghar a.s. dari Bunga-bunga Qur’ani (BBQ), pembacaan ayat suci Al-Qur’an oleh Darul Qur’an (DQ), puisi anak untuk ibu, dan maktal dari Islamic Sunday School (ISS). Ada pula kisah dan puisi yang menggambarkan kasih sayang ibu dan ketabahan keluarga Ahlulbait a.s., serta ikrar bersama oleh perwakilan orang tua.
Memasuki sesi inti, ceramah disampaikan oleh Ustazah Hayati yang membawa pesan reflektif dan mendalam. Beliau mengingatkan bahwa bulan Muharram bukan sekadar momen duka, tetapi juga momen pembaruan janji kepada perjuangan Imam Husain a.s. dan Sayyidah Zainab a.s. Majelis ini, menurut beliau, adalah bagian dari kelanjutan baiat kepada kebenaran.
Ustazah Hayati menyinggung bahwa peristiwa Asyura tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah Islam yang lebih luas, termasuk peristiwa Ghadir Khum dan Mubahalah. Ia menjelaskan bahwa Rasulullah saw. dalam peristiwa Mubahalah tidak mengajak para pembesar Quraisy, tetapi mengajak orang-orang tercinta: Imam Ali a.s., Sayyidah Fatimah a.s., Imam Hasan a.s., dan Imam Husain a.s. Hal ini menjadi isyarat kuat bahwa garis perjuangan akan selalu dibawa oleh keluarga suci, sebagaimana kelak juga dibawa oleh Imam Husain a.s. di Karbala.
Beliau menjelaskan bahwa Imam Husain a.s. membawa keluarganya ke Karbala bukan karena pertimbangan emosional semata, tetapi karena misi dakwah dan kebenaran yang harus dilanjutkan oleh mereka yang tepercaya. Dalam kondisi ancaman dari kekuasaan Bani Umayyah, membawa keluarga adalah bentuk perlindungan terhadap risalah. Keluarga beliau menjadi saksi dan penyampai yang amanah agar tragedi Karbala tidak diputarbalikkan oleh propaganda penguasa zalim.
Menurut Ustazah Hayati, perempuan memiliki peran besar sebelum dan sesudah peristiwa Asyura. Peran Sayyidah Rubab a.s. sebagai istri dan ibu, serta peran Sayyidah Zainab a.s. dalam menjaga anak-anak yatim Karbala dan menyampaikan pesan Imam Husain a.s., adalah dua teladan utama bagi kaum perempuan. Dalam konteks ini, hijab menjadi simbol keteguhan, dan kehadiran perempuan bukan hanya sebagai pelengkap, melainkan sebagai penjaga nilai.
Beliau juga menekankan tiga hikmah penting dari Asyura. Pertama, pentingnya mengajak keluarga kepada kebaikan, sebagaimana dilakukan Imam Husain a.s. Kedua, praktik shalat sebagai pusat orientasi perjuangan, karena Asyura bukan hanya tentang perlawanan tetapi juga ibadah. Ketiga, perlunya bashirah—kesadaran jernih dalam memilah antara kebenaran dan kebatilan, di tengah zaman yang penuh kerancuan dan manipulasi.
Dalam penjelasannya, Ustazah Hayati mengingatkan bahwa umat harus memahami taklif di zaman masing-masing, sebagaimana umat dulu harus membedakan strategi Imam Hasan a.s. yang memilih berdamai dan strategi Imam Husain a.s. yang memilih perlawanan terbuka. Pemahaman terhadap imam zaman menjadi penting agar umat tidak mengambil kesimpulan tergesa-gesa yang justru menyimpang dari garis kebenaran.
Sebagai penutup, beliau menyerukan agar para ibu mengambil peran aktif dalam menyiapkan generasi yang siap berjuang bersama Imam Mahdi a.s. Beliau menyampaikan harapan agar dari majelis ini muncul niat baru dan tekad baru untuk membentuk generasi militan yang membawa warna Ahlulbait a.s. dalam kehidupan berbangsa.
Acara ditutup dengan pembacaan doa ziarah oleh Ustazah Syarifah Maisarah, menandai akhir dari peringatan yang penuh muatan spiritual dan pendidikan.