Peringatan Syahadah Imam Ali Zainal Abidin as. sekaligus mengenang 40 hari gugurnya para syuhada ilmuwan nuklir Iran digelar pada Kamis malam, 24 Juli 2025, di Aula Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta. Acara ini menghadirkan tiga narasumber utama: Syaikh Mohammad Sharifani (Direktur ICC Jakarta), Mohammad Boroujerdi (Duta Besar Republik Islam Iran untuk Indonesia), dan Muhammad Atho’illah Shohibul Hikam (Menteri Riset dan Teknologi RI 1999–2001).
Acara diawali dengan sambutan oleh Ustaz Hassan Shahab. Dalam sambutannya, beliau mengajak seluruh hadirin untuk mengirimkan salam dan doa kepada Imam Ali Zainal Abidin as., serta mendoakan para syuhada yang gugur akibat agresi militer Israel terhadap Republik Islam Iran — mulai dari ilmuwan nuklir, perwira militer, hingga warga sipil.
Di antara nama syuhada yang disebut adalah Mohammad Mehdi Tehranchi, seorang ilmuwan nuklir terkemuka; Mohammad Bagheri, jenderal nomor dua di jajaran militer Iran setelah Pemimpin Tertinggi Ayatullah Sayyid Ali Khamenei; dan Hossein Salami, Panglima Garda Revolusi Islam Iran.
Setelah sambutan, hadirin mendengarkan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang dibawakan oleh Ustaz Deden.
Ceramah Direktur ICC, Syaikh Mohammad Sharifani
Setelah pembacaan ayat suci Al-Qur’an, acara dilanjutkan dengan ceramah oleh Direktur ICC Jakarta, Syaikh Mohammad Sharifani. Beliau membuka dengan mengingatkan maksud kehadiran seluruh hadirin pada malam itu: untuk memperingati Syahadah Imam Ali Zainal Abidin as. dan mengenang 40 hari gugurnya para perwira tinggi militer dan ilmuwan nuklir Iran.
Beliau juga menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada seluruh yang hadir. Dalam ceramahnya, Syaikh Sharifani mengutip firman Allah SWT:
“Dzâlika wa may yu‘adhdhim sya‘â’irallâhi fa innahâ min taqwal-qulûb”
Demikianlah (perintah Allah). Siapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah, sesungguhnya hal itu termasuk dalam ketakwaan hati.
(QS. Al-Hajj: 32)
Beliau menjelaskan bahwa salah satu bentuk pengamalan ayat tersebut adalah penghormatan kepada kedudukan para syuhada. Menurut beliau, tidak ada sesuatu yang lebih mengakar kuat dalam sejarah Islam dibandingkan kesyahidan di jalan Allah SWT.
“Jika seluruh ajaran agama kita gambarkan sebagai sebuah poster yang terpampang, maka darah para syuhada adalah poster yang paling indah,” tegas beliau. Sejak awal sejarah hingga hari ini, apa pun yang sampai kepada kita adalah buah dari pengorbanan para syuhada.
Beliau juga mengutip firman Allah SWT:
“Wa ka’ayyim min nabiyying qâtala ma‘ahû ribbiyyûna katsîr, fa mâ wahanû limâ ashâbahum fî sabîlillâhi wa mâ dla‘ufû wa mastakânû”
Betapa banyak nabi yang berperang didampingi sejumlah besar pengikutnya yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpanya di jalan Allah, tidak patah semangat, dan tidak pula menyerah kepada musuh.
(QS. Ali ‘Imran: 146)
Syaikh Sharifani menekankan bahwa agama berkembang karena siraman darah para syuhada. Kehadiran para hadirin pun, menurut beliau, lahir dari fitrah untuk menyuarakan pembelaan kepada kaum tertindas. Saat ini, kata beliau, kezaliman terwujud nyata dalam rezim Zionis Israel — dan tidak ada yang lebih dizalimi daripada para syuhada yang gugur dalam membela maktab Imam Husain as.
Beliau menggambarkan kondisi anak-anak dan orang tua renta di Gaza yang menghadapi penderitaan, dengan suara permintaan tolong yang kerap tak bersambut dan pertolongan yang tak kunjung datang.
Setiap syuhada yang gugur dalam serangan Israel ke Iran, lanjut beliau, membawa keutamaan, keistimewaan, dan kenangan manis dari perjalanan panjang Revolusi Islam Iran. Nama-nama seperti Syahid Salami, Syahid Hajizadeh, Syahid Bagheri, Syahid Faqhi, dan Syahid Mohammad Tehranchi, menurut beliau, memiliki jasa besar dalam mempertahankan Revolusi Islam.
Secara khusus, Syaikh Sharifani menyoroti sosok Syahid Tehranchi yang beliau kenal dekat. Gugurnya Syahid Tehranchi di malam Jumat, pada waktu sahur di hari Ghadir Khum, bukanlah sebuah kebetulan, melainkan kehendak Allah SWT. Selama enam tahun, Syaikh Sharifani memiliki kedekatan dengan beliau — seorang yang taat beragama, bukan hanya di lisan, tetapi berakar kuat dalam akidah dan jiwa.
“Hari ini, mengelola satu rumah tangga saja bagi sebagian orang terasa sulit. Namun kita menyaksikan bagaimana Dr. Tehranchi memimpin Universitas Islam Azad yang memiliki lebih dari 1.400.000 mahasiswa dengan puluhan ribu dosen dan karyawan. Beliau berhasil memimpin kampus sebesar itu dengan sangat mengagumkan,” kata beliau.
Beliau menambahkan bahwa Syahid Tehranchi adalah sosok yang tidak mengenal lelah. Rapat-rapat pimpinan kampus sering kali dipimpin beliau dari pagi hingga malam, hanya berhenti sejenak untuk salat dan makan. Meski demikian, beliau tidak pernah menunjukkan keletihan, selalu bersemangat, dan betul-betul ilmuwan hakiki.
Bahkan, di usia kurang dari 40 tahun, Syahid Tehranchi sudah menjadi profesor dan sangat akrab dengan Al-Qur’an. Dalam banyak pertemuan, beliau kerap mengupas persoalan-persoalan Al-Qur’an secara mendalam.
“Semoga di malam Jumat ini, Allah SWT mengumpulkan para syuhada bersama para wali-Nya. Mari kita bersama-sama menghadiahkan surah Al-Fatihah untuk mereka semua,” tutup Syaikh Sharifani.
Pidato Mohammad Boroujerdi, Duta Besar Republik Islam Iran
Dalam pidatonya, Mohammad Boroujerdi — Duta Besar Republik Islam Iran — kembali menukil sebuah riwayat Rasulullah Saw. tentang seorang hamba yang berdoa kepada Allah: “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu sesuatu yang terbaik yang pernah diminta oleh hamba-hamba-Mu.” Beliau menekankan, Rasulullah Saw. bersabda, jika doa ini dikabulkan maka orang itu akan meraih syahadah. Dalam riwayat lain beliau bersabda, setiap kebaikan selalu ada kebaikan di atasnya — hingga seseorang memperoleh kematian di jalan Allah SWT, dan itulah puncak kebaikan tertinggi.
Beliau menjelaskan, para syuhada adalah manusia pilihan yang memohon hal terbaik — dan Allah memberikannya. Boroujerdi bercerita, beliau mengenal banyak syuhada sejak perang yang dipaksakan rezim Saddam kepada Iran di tahun 80-an. Mereka ini, katanya, manusia terbaik yang bahkan setelah perang, aura syahadah tetap memancar — membuat banyak orang heran kenapa mereka masih hidup. Setelah syahid, barulah disadari: Allah menyiapkan pengabdian besar untuk Revolusi Islam Iran, diakhiri dengan kesyahidan di tangan musuh Allah yang paling keji di muka bumi.
Beliau menyinggung bagaimana para komandan besar Iran menjadi sasaran teror Israel. Dalam sebuah serangan, rezim Zionis bahkan menelepon mereka: “Kalian akan selamat, kami tidak akan membunuh kalian kalau kalian berlepas diri dari Palestina, dari Islam, dan keluar dari kota.” Panggilan itu diabaikan — mereka memilih menunaikan cita-cita luhur mereka.
Israel punya agenda detail: mengidentifikasi rumah para komandan, keluarga, hingga kediaman Imam Khamenei. Target hari pertama: membunuh Imam Khamenei, tiga perwira tinggi, 400 perwira menengah, dan situs peluncuran roket. Setelah itu, menghantam kantong ekonomi agar rakyat memberontak menggulingkan Republik Islam Iran — persis seperti skenario Suriah.
Mereka mengerahkan rudal, drone, hingga persenjataan tercanggih. Dubes Boroujerdi menggambarkan serangan itu seperti pasukan bergajah — tampak perkasa, yakin menang cepat. Israel bahkan meminta Amerika Serikat menambah dukungan, tetapi, kata beliau: “Allah juga punya rencana dan tipu daya.”
Pukul 3 dini hari, Israel melancarkan serangan ke kediaman Sayyid Ali Khamenei. Di saat sama, gedung rapat para pejabat tinggi juga dibombardir. Namun, semua target utama selamat. Ratusan perwira yang jadi sasaran, hanya beberapa yang syahid, meski banyak bangunan hancur dan warga sipil gugur. Esoknya, Iran langsung mengisi pos-pos penting dengan komandan baru, lalu membalas: menghantam Tel Aviv dan Haifa.
Sepuluh hari berikutnya, Israel memohon Amerika turun tangan menghentikan perang, sekaligus mengakui kekalahan telak. Iran tidak melanjutkan serangan, tapi ujian belum selesai. Beliau menegaskan: “Ini adalah ujian besar bagi bangsa Iran.” Termasuk bagi Syahid Dr. Tehranchi yang tetap setia pada Republik Islam, meski diancam.
Israel menduga serangan pertama akan membuat rakyat Iran takut, nyatanya mereka justru semakin solid membela negaranya. Beliau mengutip ayat:
“Alladzî khalaqal-mauta wal-ḥayâta liyabluwakum ayyukum aḥsanu ‘amala.”
(QS. Al-Mulk: 2)
“Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.”
Menurut beliau, ujian kita hari ini adalah Gaza dan Palestina: bagaimana keluar dari ujian ini dengan kepala tegak? Dalam Ziarah Asyura, kita memohon: Semoga Allah melaknat kelompok yang ridha atas pembunuhan Imam Husain a.s. Lalu, apakah kita ridha dengan apa yang terjadi di Palestina? Di Gaza, orang mati kelaparan — padahal seandainya Israel tak membunuh mereka, kelaparan tetap membunuh mereka perlahan.
Israel dan Amerika sengaja menciptakan situasi agar dunia tak bisa berbuat apa-apa. Namun Allah berfirman:
“Wa a‘iddû lahum mastatha‘tum min quwwatin.”
(QS. Al-Anfal: 60)
“Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka apa saja kekuatan yang kamu sanggupi.”
Beliau menegaskan, diam sama saja dengan membela Israel. Berdiam diri atas Palestina sama dengan berdiam diri terhadap tragedi Karbala. Musuh, kata beliau, selalu berupaya membalikkan posisi — yang zalim dibuat seolah tertindas. Jangan biarkan propaganda musuh membungkam kebenaran.
Tugas umat Islam, tambah beliau, adalah terlibat dalam perang propaganda. Ulama, dosen, mahasiswa, influencer — semua wajib menyampaikan apa yang terjadi. Mulailah dari orang terdekat, sebarkan fakta penindasan rakyat Palestina, tunjukkan wajah haus darah rezim Zionis yang tak mengenal batas kemanusiaan. Dunia hari ini aneh: di abad 21, masih ada orang mati kelaparan — sementara banyak pihak justru membela penindas.
Beliau menutup dengan peringatan: Zaman akan berlalu, Islam akan menang. Siapa yang diam akan menunduk menanggung aib. Siapa yang membela kaum tertindas akan tegak kepalanya.
Pidato Muhammad Atho’illah Shohibul Hikam (Menristek RI 1999–2001)
Dalam kesempatan yang sama, Muhammad Atho’illah Shohibul Hikam — Menteri Riset dan Teknologi Republik Indonesia periode 1999–2001 — menegaskan pentingnya meneladani Iran dalam pengembangan keilmuan, khususnya di bidang sains, teknologi, engineering, dan matematika (STEM). Menurut beliau, Iran baru benar-benar bangkit membangun STEM pasca Revolusi 1979, dalam usia yang relatif singkat — sekitar 45 tahun — tetapi capaian beliau di bidang ini melampaui banyak negara yang tidak berada dalam tekanan.
Beliau mengingatkan, sejak awal Iran harus menghadapi tantangan berat: perang Irak-Iran selama delapan tahun, sanksi internasional, dan blokade berlapis. Namun di tengah tekanan, Iran justru membuktikan diri bukan hanya sebagai kekuatan politik yang diperhitungkan di Timur Tengah, tetapi juga sebagai pionir teknologi modern. Beliau mencontohkan bagaimana Iran mampu membalikkan situasi saat diserang, termasuk dengan penguasaan teknologi peluru kendali hipersonik. Dukungan Iran terhadap Ansharullah di Yaman hingga bantuan untuk rakyat Palestina di Gaza adalah bukti konkret kapasitas teknologi Iran.
Menurut beliau, kekuatan ini lahir dari prinsip adaptive innovation dan scientific nationalism — inovasi adaptif yang berakar pada nasionalisme sains. Meskipun terkepung sanksi, Iran tetap konsisten menjalankan visi Imam Khomeini melalui Comprehensive Scientific Plan of Iran. Hasilnya, Iran memiliki ribuan lulusan di bidang teknologi, bahkan menjadi salah satu negara dengan jumlah insinyur per kapita tertinggi di Timur Tengah, terutama di bidang nanoteknologi dan teknologi nuklir.
Beliau menegaskan wajar jika Israel dan Amerika Serikat khawatir dengan pengayaan nuklir Iran. Namun, substansi sebenarnya bukan pada senjatanya, melainkan pada kapasitas keilmuannya. Menurut beliau, Iran memiliki kultur peradaban 5.000 tahun yang ibarat big data yang tertanam dalam kesadaran kolektif bangsanya — tidak bisa dilihat hanya dari 1979 ke sini. Amerika Serikat, kata beliau, belum menjadi apa-apa 5.000 tahun lalu, sedangkan Iran telah membangun peradaban besar.
Kultur ini membuat bangsa Iran percaya diri: pengetahuan modern tidak monopoli Barat. Para pemikir Iran seperti Ali Syariati dan Imam Khamenei adalah figur yang memadukan keilmuan sekuler dengan ilmu keagamaan. Sosok seperti Dr. Tehranchi bukan hanya ahli fisika tetapi juga mendalami ilmu Al-Qur’an. Di Iran, sains dan agama tidak dipertentangkan.
Beliau juga menyoroti peran diaspora Iran di Amerika dan Eropa, yang mendukung transfer teknologi dan riset bersama. Dengan reverse engineering, Iran mampu membuat sendiri mesin pesawat generasi lama hingga menjadi pondasi kemandirian pertahanan. Beliau menilai inilah yang membuat Amerika dan Israel gusar, karena Iran adalah tembok terakhir yang menahan hegemoni di Timur Tengah.
Iran juga kaya energi, tetapi tetap mengembangkan nuklir demi generasi mendatang. Karena itu, menurut beliau, keberadaan lembaga seperti Wilayatul Faqih sangat penting untuk memastikan teknologi nuklir Iran tidak melenceng menjadi senjata. Beliau menegaskan hanya bangsa seperti Iran yang berani berkata “tidak” pada tekanan Amerika.
Bagi beliau, Indonesia harus banyak belajar. Sebagai bangsa muda, Indonesia memiliki Pancasila sebagai dasar bernegara. Namun, Indonesia harus berani menempuh jalur alternatif, membangun kemandirian, dan mengurangi ketergantungan pada hegemoni Barat — sebagaimana Iran mencontohkannya.
Acara kemudian ditutup dengan doa ziarah Imam Ali Zainal Abidin AS, dipimpin oleh Syaikh Mohammad Sharifani dan Ustaz Umar Shahab.