Pada Kamis, 21 Agustus 2025, Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta menyelenggarakan majelis peringatan wafat Rasulullah Saw sekaligus memperingati syahadah Imam Hasan Mujtaba as dan Imam Ali Ridha as di Aula ICC Jakarta.
Acara dimulai dengan sambutan pembukaan yang disampaikan oleh Ustaz Ali Husain Alatas. Beliau mengawali dengan mengingatkan kembali peristiwa yang dikenal sebagai “musibah hari Kamis”, hari-hari terakhir Rasulullah Saw. Ustaz Ali Husain Alatas mengutip riwayat dari Abdullah bin Abbas yang menyaksikan langsung peristiwa itu. Abdullah bin Abbas selalu menitikkan air mata setiap kali mengingat tragedi tersebut. Pada hari itu, Rasulullah Saw meminta pena dan kertas untuk menuliskan wasiat terakhir, sebuah wasiat yang beliau sudah sampaikan berulang kali sebelumnya, termasuk pada peristiwa Ghadir Khum. Wasiat itu dimaksudkan sebagai penguatan dan penegasan atas kepemimpinan sepeninggal beliau agar umat Islam tidak berselisih.
Rasulullah Saw telah mengangkat tangan Imam Ali as di Ghadir Khum dan menegaskan bahwa beliau adalah penerusnya. Dengan demikian, wasiat tertulis yang diminta Rasulullah Saw pada hari Kamis itu sejatinya adalah dokumen final yang tidak bisa ditolak. Namun, karena kegaduhan dan penolakan sebagian orang di ruangan, wasiat itu tidak pernah tercatat. Padahal wasiat Rasulullah Saw dikenal dalam hadis Tsaqalain, yaitu sabda beliau: “Aku meninggalkan kepada kalian dua pusaka yang agung: Al-Qur’an dan Ahlulbaitku. Selama kalian berpegang pada keduanya, kalian tidak akan tersesat selamanya.”
Masih dalam sambutannya, Ustaz Ali Husain Alatas mengutip ucapan Imam Ja’far Shadiq as kepada muridnya. Imam Shadiq as berkata: “Maukah engkau aku ajarkan sesuatu yang dapat melindungi engkau dari panasnya api neraka? Bacalah setelah fajar 100 kali shalawat kepada Rasulullah Saw, maka Allah akan melindungi wajahmu dari panasnya api neraka.” Dalam riwayat lain, Imam Shadiq as berkata: “Apabila disebutkan nama Nabi Muhammad Saw, maka perbanyaklah shalawat kepadanya. Sesungguhnya siapa yang bershalawat kepada Nabi Saw sekali saja, maka Allah akan bershalawat kepadanya seribu kali bersama seribu barisan malaikat. Dan tidak ada satu pun makhluk Allah kecuali ikut bershalawat kepada hamba tersebut.” Dengan mengingat peristiwa itu, Ustaz Ali Husain Alatas menegaskan bahwa shalawat adalah bentuk cinta, perlindungan, sekaligus ikrar yang menghubungkan umat dengan Rasulullah Saw dan Ahlulbaitnya.
Setelah sambutan, acara dilanjutkan dengan pembacaan tilawah Al-Qur’an yang dibawakan oleh Habib Hasan Shahab.
Ceramah utama disampaikan oleh Ustaz Muhsin Labib. Beliau menyampaikan duka cita mendalam atas wafatnya Rasulullah Saw yang disebut sebagai “cahaya kedua setelah Allah Swt”, juga atas syahadah Imam Hasan Mujtaba as dan Imam Ali Ridha as. Duka ini, menurut beliau, adalah duka seluruh umat Islam dan seluruh pencinta keadilan dan kebenaran. Kehadiran dalam majelis peringatan ini adalah bentuk ekspresi cinta dan kepatuhan kepada Rasulullah Saw.
Ustaz Muhsin Labib mengaitkan peringatan ini dengan suasana duka yang telah dilalui sebelumnya dalam bulan Muharram. Pada bulan itu, umat memperingati syahadah Imam Husain as dengan majelis duka, mendengarkan ceramah, membaca narasi maqtal, melantunkan ratapan, hingga puncaknya pada 20 Safar, yaitu peringatan Arbain. Saat itu, lebih dari 20 juta peziarah dari berbagai penjuru dunia berjalan menuju Karbala untuk memperbarui ikrar setia mereka kepada Imam Husain as. Perjalanan itu, menurut beliau, adalah bukti nyata bahwa pengorbanan Imam Husain as melahirkan gelombang luar biasa yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Beliau kemudian menggambarkan penderitaan keluarga Rasulullah Saw pasca tragedi Karbala. Putri-putri Nabi Saw digiring dari kota ke kota, dari Karbala menuju Kufah hingga Damaskus. Di sana Sayidah Zainab as bersama keluarga Imam Husain as memberikan perlawanan heroik melalui pidato-pidato yang mengguncang. Ustaz Muhsin Labib menekankan bahwa peringatan Arbain dan tragedi Karbala harus dilihat dalam lanskap kenabian Rasulullah Saw. Revolusi Imam Husain as adalah hasil didikan langsung Rasulullah Saw, yang sejak kecil membesarkan Imam Husain as dalam rumah penuh hikmah, ilmu, dan bimbingan spiritual. Oleh karena itu, memuliakan Imam Husain as berarti memuliakan Rasulullah Saw sebagai pendidik utama.
Beliau lalu menjelaskan bahwa Rasulullah Saw adalah pendidik nomor satu yang mendidik Ahlulbait as secara intensif. Karena itu, mustahil membandingkan orang-orang yang hanya jarang bertemu dengan Rasulullah Saw dengan Ahlulbait yang tumbuh dan dididik langsung oleh beliau. Jika orang-orang yang dekat dengan beliau sejak kecil dianggap sama dengan orang yang tidak mengalami pendidikan intensif itu, maka sama saja menganggap Rasulullah Saw gagal sebagai pendidik. Padahal kenyataannya, pendidikan beliau membuahkan hasil yang gemilang: lahirnya Ahlulbait as sebagai teladan sempurna.
Dalam penjelasannya, Ustaz Muhsin Labib mengingatkan bahwa agama tidak cukup hanya berupa narasi, tetapi harus hadir dalam perilaku nyata. Nabi, Imam, dan tokoh ditugaskan Allah Swt agar agama menjadi konkret dan bisa diteladani. Rasulullah Saw sendiri, meski berdakwah dalam waktu singkat, berhasil membangun umat dengan proses bertahap. Allah tidak mengubah manusia secara instan tanpa ikhtiar, agar manusia tetap layak menerima ganjaran pahala maupun hukuman. Nabi Saw hanya menyampaikan risalah, sementara hidayah mutlak adalah hak Allah. Namun, menurut hukum akal, Nabi Saw tentu menyiapkan penerus yang paling murni, yaitu Imam Ali as, untuk menjaga otoritas agama setelah beliau.
Dari sinilah, beliau menekankan pentingnya memahami agama melalui otoritas yang sah. Ustaz Muhsin Labib menjelaskan bahwa umat Islam beragama bukan karena semata-mata mempelajari seluruh ajaran, sebab mustahil setiap orang mampu. Tetapi umat percaya kepada otoritas yang menjamin keabsahan ajaran tersebut. Rasulullah Saw bermaksud agar agama ini menjadi satu umat dengan satu sistem sosial. Namun, karena otoritas diperselisihkan dan bahkan ditolak, umat Islam terpecah-pecah dan sejarah mencatat pertentangan yang berujung pada konflik.
Dalam penjelasan lebih jauh, beliau menyebut ayat Al-Qur’an yang menegur umat agar tidak meninggalkan Rasulullah Saw setelah wafatnya: “Apakah ketika ia meninggal atau terbunuh kalian berpaling ke belakang?” Ayat ini menegaskan bahwa Rasulullah Saw bukan sekadar individu yang wafat, melainkan representasi legitimasi ketuhanan yang abadi. Karenanya, memperingati wafat beliau berarti memperbarui kesadaran akan otoritas tunggal dalam agama.
Ustaz Muhsin Labib kemudian menguraikan kembali tragedi Kamis Kelabu, ketika Rasulullah Saw yang sedang sakit keras meminta pena dan kertas, namun kegaduhan di ruangan membuat beliau tidak bisa menuliskan wasiat itu. Padahal Allah Swt telah menegur dengan firman-Nya agar tidak meninggikan suara di hadapan Nabi. Peristiwa itu menjadi bukti bahwa agama tidak bisa dibiarkan tanpa otoritas. Tanpa otoritas, ajaran agama akan tercerai-berai, sedangkan sebuah negara bisa lebih kokoh dengan kontrak sosial meski tanpa klaim wahyu. Rasulullah Saw ingin agar agama memiliki otoritas tunggal sepanjang masa, dan itu ditegaskan di Ghadir Khum ketika beliau diperintahkan Allah: “Sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu; jika tidak, engkau tidak menyampaikan risalah-Nya.”
Lebih lanjut, beliau mengingatkan bahwa otoritas agama hanya patut diberikan kepada orang yang paling dekat dengan Rasulullah Saw, yang mendapat pendidikan paling intensif, bebas dari cela, dan memiliki kapasitas penuh. Itulah Ahlulbait as. Rasulullah Saw juga menegaskan: “Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah pintunya.” Dengan demikian, hanya melalui jalur Imam Ali as umat bisa sampai kepada Rasulullah Saw.
Dalam konteks kebangsaan, Ustaz Muhsin Labib mengingatkan bahwa pengikut Ahlulbait harus menyeimbangkan antara otoritas agama dan otoritas negara yang dibangun melalui kontrak sosial. Jika pejabat memperlakukan rakyat hanya dengan perspektif agama tanpa komitmen kebangsaan, maka keadilan sosial tidak akan terwujud. Oleh sebab itu, pengikut Ahlulbait harus sadar bahwa meski berbeda etnis, negara, dan budaya, mereka tetap memiliki spirit yang sama, yaitu menjunjung otoritas Rasulullah Saw dan Ahlulbaitnya.
Beliau menutup ceramah dengan penekanan bahwa memperingati wafat Rasulullah Saw. adalah upaya menyegarkan kembali kesadaran akan pentingnya otoritas tunggal yang telah beliau tunjuk, yakni Ahlulbait as. Ustaz Muhsin Labib menegaskan, jangan mempersonifikasi Rasulullah Saw. semata sebagai individu yang wafat, tetapi pandang beliau sebagai pembawa risalah yang legitimasi ketuhanannya abadi dan otoritasnya tetap berlaku sepanjang masa.
Acara kemudian dilanjutkan dengan pembacaan maktam oleh Sajjad dan Jafar Al-Hinduan, yang membawa hadirin larut dalam suasana duka dan kesyahidan. Sebagai penutup, doa dibacakan oleh Ustaz Umar Shahab.