Oleh: Sayid Ali Khameneni
Menurut pandangan yang berlaku saat ini di Hauzah Ilmiah, tablig berada di urutan kedua, sementara urutan pertama adalah untuk hal-hal lain, seperti kedudukan ilmiah dan sejenisnya. Tablig berada di urutan kedua. Oleh karena itu, kita harus melampaui pandangan ini, karena Tabligh berada di urutan pertama. Inilah yang ingin saya sampaikan.
Mengapa kita mengatakan ini? Apa yang kita anggap sebagai tujuan agama? Apa yang dibawa oleh agama Allah untuk dilakukan bagi kita, umat manusia? Baiklah, kita memiliki tujuan akhir, yaitu membuat kita bangkit dan naik dalam jalur khalifah Allah dan jalur manusia sempurna–tentu saja, sesuai dengan kemampuan yang kita miliki–dan inilah tujuan akhir agama. Ada juga tujuan-tujuan menengah dan primer; misalnya, menegakkan keadilan, “…agar manusia dapat berdiri tegak di atas keadilan…”(1), atau membangun sistem Islam, “Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah…”(2) Pusat ketaatan adalah agama. Ini berarti membangun sistem Islam. Itu termasuk tujuan agama, dan itu adalah tujuan menengah. Atau anggaplah menegakkan kebajikan (makruf), menyebarkan kebajikan, menghilangkan kemungkaran (munkar), serta mempromosikan ucapan yang baik (al-kalim ath-thayyib) dan amal saleh, “…kepada-Nya naiklah perkataan-perkataan yang baik dan amal saleh mengangkatnya…”(3) Jadi, inilah tujuan-tujuan agama.
Ketika Anda melihat salah satu dari tujuan tersebut, Anda akan menemukan bahwa sarana untuk mencapainya adalah tablig, dan itu tidak mungkin terjadi tanpa Tabligh. Ya, terkadang, secara istimewa, cahaya masuk ke hati seseorang dengan isyarat ilahi, itu adalah pembahasan lain dan hal yang luar biasa, tetapi agama Allah dengan tujuan-tujuan ini dan tujuan-tujuan semacam ini untuk manusia, tidak akan terwujud kecuali dengan tablig. Jadi, tablig menjadi di tingkat dan derajat pertama. Oleh karena itu, Anda melihat penekanan Alquran pada masalah Tablig.
Saya telah kembali ke indeks [istilah] Alquran untuk pembicaraan saya ini. Kata “balagh” (penyampaian) atau “balagh mubin” (penyampaian yang jelas) disebutkan dalam Alquran sekitar dua belas atau tiga belas kali. “Balagh mubin” adalah pemahaman yang tidak menyisakan ruang untuk keraguan, “Dan tugas kami hanyalah menyampaikan (risalah) dengan jelas (al-balagh al-mubin)”(4); seharusnya tidak meninggalkan ruang untuk keraguan. Al-Balagh [berarti] pemahaman, membuat telinga dan hati memahami risalah, dan itu diulang berkali-kali dalam Alquran. Itu diulang dalam dua belas atau tiga belas tempat.
Ini diulang melalui lisan para nabi, “Dan tugas kami hanyalah menyampaikan (risalah) dengan jelas (al-balagh al-mubin).”(5) Ini diulang dalam firman Allah Ta’ala kepada Nabi saw, “…maka sesungguhnya kewajibanmu hanyalah menyampaikan (al-balagh)…”(6) [Terdapat] dari elemen al-Balagh itu sendiri, “Orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah dan mereka takut kepada-Nya dan tidak takut kepada siapa pun selain Allah…”(7)–ayat yang dibaca [oleh qari’ yang terhormat]–dan banyak ayat lain juga dalam konteks ini, “Aku sampaikan kepadamu risalah-risalah Tuhanku…”(8), “… Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu…”(9)
Dalam Alquran juga terdapat ungkapan-ungkapan yang sejajar dan sinonim dengan “balagh” yang tak terhitung jumlahnya. Berapa kali pengulangan tablig “al-Da’wah” (seruan/ajakan) dalam Alquran! “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik…”(10), “…penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian…”(11), dan banyak ayat lain dengan ungkapan yang berlabel “al-da’wah”. Banyak ayat yang berlabel “al-indzar (peringatan) dan al-tabsyir (kabar gembira)”. Tentu saja, semuanya adalah dakwah dan tablig. Jika Anda melihat cakupan luas dari Alquran mulia, Anda akan melihat bahwa fokusnya adalah pada tablig. Pada dasarnya, Alquran mulia melihat bahwa para nabi as bertanggung jawab atas tablig.
Bagaimana dengan pewaris para nabi? “Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.” Dan kalian yang dianggap sebagai pewaris para nabi, dasar dan esensi misi kalian adalah tablig. Kalian harus menyampaikan. Kalian harus menyampaikan risalah agama dan Allah kepada hati dan telinga. Hati dan telinga siapa? Semua manusia. Tentu saja, ada prioritas juga. Tentu saja, masyarakat kalian memiliki prioritas besar, dan beberapa tempat memiliki prioritas, dan beberapa tempat memiliki prioritas yang lebih rendah, tetapi itu harus sampai kepada semua orang. Kami melihat pentingnya tablig dengan cara ini.
Karena itu, Anda melihat bahwa sunah tablig telah ada di Hauzah Ilmiah sejak awal, yaitu sejak seribu tahun yang lalu. Tentu saja, saya tidak sempat memeriksa dan meninjau lebih banyak–saya tidak punya waktu untuk meninjau–dan inilah yang ada dalam pikiran saya sekarang.
Anggaplah misalnya, zaman Syekh Shaduq ra, buku-buku Syekh Shaduq ra yang beragam ini semuanya adalah tablig: Al-Amali adalah tablig, al-Khishal adalah tablig, Uyun Akhbar al-Ridha adalah tablig; semuanya adalah tablig. Dan itu bukan hanya tablig mazhab; itu adalah tablig akhlak, tablig agama, tablig tauhid… hal-hal yang sama yang harus kita lakukan.
Sejumlah risalah Syekh Mufid ra dalam menjawab pertanyaan dari berbagai negara–yang diterbitkan beberapa tahun lalu di konferensi Syekh Mufid–adalah tablig.(12)
Syekh Thusi–selain fikih yang mendalam, kuno, dan luar biasa itu–juga memiliki al-Amali, maka Amali Syekh [Thusi] adalah tablig, dan Amali Syarif Murtadha adalah tablig.
Saya katakan: Saya tidak sempat sekarang untuk meninjau dan melihat–kalian memiliki waktu dan ketekunan yang lebih banyak–bagaimana tablig di Hauzah Ilmiah pada abad-abad berikutnya [setelah mereka].
Tetapi misalnya, di abad-abad terakhir, Allamah Majlisi ra–Allamah Majlisi adalah orang yang agung, dan Allamah Majlisi tidak boleh diremehkan. Dia adalah orang yang sangat agung–selain kitab Bihar al-Anwar dan sejumlah kitabnya tentang masalah hadis, penjelasan hadis, syarah hadis, dan semacamnya, apa tujuan misalnya dari kitab Haqq al-Yaqin dan Hayat al-Qulub, yang merupakan kitab-kitab berbahasa Persia? Tentu saja, tablig.
Almarhum Naraqi [juga] memiliki kitab berbahasa Persia, dan setelah itu ada juga kitab-kitab dan beberapa di antaranya ada dalam pikiran saya sekarang. Misalnya, Tafsir Manhaj al-Shadiqin(13) dan sejenisnya dalam bahasa Persia. Dalam bahasa Persia untuk siapa? Bahasa Persia bukan untuk para ulama dan cendekiawan dan sebagainya; itu adalah tablig untuk masyarakat umum. Ini berarti bahwa para ulama mementingkan sunah tablig.
Tentu saja, saya tidak sempat [melihat] dari siapa mimbar dan bentuk tablig mimbar ini berasal; saya ingin meninjau jika saya bisa, tetapi misalnya Mulla Husain Kasyifi Sabzawari pada abad kesembilan dan kesepuluh, atau misalnya Wa’izh Qazwini pada abad kesepuluh–dia juga seorang penyair yang hebat–dan yang terlintas di benak saya adalah bahwa mereka adalah ahli mimbar dan mereka pergi dan berbicara, dan sunnah mimbar ini sudah ada sejak zaman itu. Mulla Husain Kasyifi adalah penulis Raudhat al-Syuhada dan ratapan yang kita baca sebenarnya diambil dari kitab orang mulia itu.
Demikian juga, di kemudian hari, ulama-ulama besar seperti Syekh Ja’far Syusytari [adalah ahli mimbar]. Syekh Ja’far Syusytari dikenal karena nasihatnya (wa’zh). Dia adalah mulla dan fakih yang agung dan tentu saja dia adalah ahli mimbar. Tentu saja, dia tidak boleh dikacaukan dengan Syekh Ja’far Kasyiful Ghitha. Atau almarhum Syekh (Muhammad) Ridha Hamadani al-Wa’izh (pemberi nasihat) dan mulla yang agung–sekali lagi, dia tidak boleh dikacaukan dengan Syekh Aqha Ridha Hamadani penulis Mishbah al-Faqih, dia adalah orang lain–dan penulis Hadiyyah al-Namlah ila Ra’is al-Millah adalah seorang wa’izh.
Di zaman kita, almarhum Amirza Abul Hasan Qazwini, filsuf yang mana Imam [Khomeini] belajar filsafat darinya di masa mudanya, adalah seorang mulla yang agung. Saya melihat Yang Mulia sendiri. Dia salat di halaman salah satu masjid di Tehran ini, dan dia naik mimbar dan orang-orang duduk dan mendengarkan mimbarnya. Sebelum Yang Mulia, almarhum Syahabadi,(14) guru Imam–dan bagaimanapun kami tidak sempat bertemu dengannya–naik mimbar di masjid yang sama itu. Orang-orang ini tidak menganggap naik mimbar sebagai kekurangan kedudukan.
Di kota Masyhad sendiri, almarhum Haj Mirza Husain Sabzawari, dan almarhum Sayid Hasan Qummi,(15) naik mimbar. Artinya, sunah tablig, baik dalam bentuk tulisan, atau naik mimbar, atau menyusun puisi, telah ada di Hauzah Ilmiah, dan ini menunjukkan pentingnya.(16&17)
Catatan Kaki:
- QS. al-Hadid [57]:25, hal.541.
- QS. al-Nisa [4]:64, hal.88.
- QS. Fathir (35]:10, hal.435.
- QS. Yasin [36]:17, hal.441.
- QS. Ali Imran [3]:20, hal.52.
- QS. al-Ahzab [33]:39, hal.423.
- QS. al-A’raf [7]:62, hal.158.
- QS. al-Maidah [5]:67, hal.119.
- QS. al-Nahl [16]:125, hal.281.
- QS. al-Anfal [8]:24, hal.179.
- Syekh Shaduq, al-Amali, hal.60.
- Konferensi Internasional “Seribu Tahun Syekh Mufid” dalam rangka peringatan 1000 tahun wafatnya Syekh Mufid, 17/4/1993.
- Ditulis oleh Mulla Fathullah al-Kasyani (wafat tahun 998 H.Q.).
- Ayatullah Mirza Muhammad Ali Bid Abadi yang dikenal dengan “Al-Syah Abadi” (1292-1369 HQ).
- Ayatullah Uzhma Sayid Hasan Thabathaba’i Qummi (1329-1428 HQ).
- Dikutip dari pidato Imam Khamenei dalam pertemuan dengan para mubalig dan pelajar Hauzah Ilmiah pada tanggal 12/7/2023.
- Sumber: Situs Kantor Samahah al-Qa’id Ayatullah al-’Uzhma al-Khamenei damat barakatuh (semoga keberkahannya langgeng).