Pendahuluan
Etika atau akhlak adalah salah satu pilar utama dalam ajaran Islam. Selain akidah (keimanan) dan syariat (hukum-hukum ibadah dan muamalah), Islam menekankan pentingnya akhlak sebagai penuntun hidup manusia. Rasulullah saw sendiri pernah bersabda: “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.” (Mizan al-Hikmah, hadis no.1520).
Dalam tradisi mazhab Syi’ah, etika menempati posisi sentral. Etika bukan hanya teori, melainkan pedoman praktis yang mengantarkan manusia menuju kesempurnaan spiritual, kedekatan dengan Allah, dan kehidupan harmonis di tengah masyarakat. Al-Quran menegaskan peran akhlak dengan memuji Rasulullah saw:
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak yang agung.” (QS. al-Qalam [68]: 4)
Tulisan ini merangkum skema umum etika dalam mazhab Syi’ah sebagaimana dipaparkan oleh Hujjatul Islam wal Muslimin Abdul Hosein Moezzi. Kajian ini berangkat dari dua sumber utama Islam, yakni Al-Quran dan Sunah, serta didukung oleh pandangan ulama Syi’ah.
Etimologi dan Makna Akhlak
Secara bahasa, kata akhlâq adalah bentuk jamak dari khuluq, yang berarti karakter, temperamen, atau tabiat batin. Akhlak berbeda dengan tindakan lahiriah semata, sebab ia berakar pada kondisi jiwa manusia.
Dalam perspektif Islam, akhlak tidak hanya menimbang baik dan buruk, tetapi juga membicarakan pengaruhnya terhadap takdir manusia di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, sebelum membahas etika, penting untuk memahami posisi manusia dalam pandangan Islam.
Konsep Manusia dalam Mazhab Syi’ah
1. Manusia sebagai Khalifah Allah di Bumi
Al-Quran berfirman:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS. al-Baqarah [2]: 30)
Ayat ini menegaskan bahwa manusia memiliki potensi istimewa yang tidak dimiliki makhluk lain: kemampuan untuk menjadi wakil Allah di bumi. Tafsir Al-Mizan menjelaskan bahwa keistimewaan manusia berasal dari akalnya, yang memungkinkannya mengenal kebenaran dan mengatur kehidupan sesuai kehendak Ilahi.
2. Manusia sebagai Makhluk Mulia
Allah menegaskan:
“Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam…” (QS. al-Isra’ [17]: 70)
Kemuliaan manusia terletak pada dua anugerah besar: akal dan kehendak bebas. Dengan akalnya, manusia dapat membedakan yang benar dan salah. Dengan kehendak bebasnya, ia memilih jalan kebaikan atau keburukan. Imam Ali a.s. menggambarkan bahwa malaikat hanya diberi akal tanpa nafsu, hewan diberi nafsu tanpa akal, sedangkan manusia memiliki keduanya. Jika akal mengalahkan nafsu, manusia lebih tinggi dari malaikat; sebaliknya, jika nafsu menundukkan akal, ia lebih rendah dari hewan.
3. Manusia sebagai Pemegang Amanat Tuhan
Allah berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikulnya… lalu dipikullah amanat itu oleh manusia.” (QS. al-Ahzab [33]: 72)
Ayat ini menunjukkan keistimewaan manusia yang sanggup memikul tanggung jawab moral dan spiritual. Amanat itu adalah kesadaran tauhid, kebebasan memilih, dan kewajiban untuk menaati hukum Ilahi.
Kebebasan dan Tanggung Jawab Manusia
Mazhab Syi’ah menekankan bahwa manusia adalah makhluk bebas memilih. Al-Quran menegaskan:
- “Tidak ada paksaan dalam agama.” (QS. al-Baqarah [2]: 256)
- “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya, dan merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. al-Syams [91]: 9-10)
Kebebasan ini menjadi dasar moralitas. Tanpa kebebasan, manusia tidak mungkin layak menerima pahala atau hukuman. Namun kebebasan tidak berarti lepas dari kendali Tuhan. Manusia tetap berada dalam cakupan ilmu dan kehendak Allah.
Fondasi Etika dalam Islam Menurut Mazhab Syi’ah
1. Iman dan Pengetahuan
Motivasi tertinggi manusia untuk berbuat baik adalah iman yang lahir dari pengetahuan benar. Semakin dalam pemahaman seseorang tentang Tuhan, semakin kuat pula imannya. Iman yang kokoh membuat seseorang mampu menghadapi tantangan spiritual dan sosial.
2. Amal Saleh
Iman saja tidak cukup. Al-Quran menegaskan:
“Sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh…” (QS. al-‘Ashr [103]: 2-3)
Seperti burung yang membutuhkan dua sayap untuk terbang, manusia membutuhkan iman dan amal saleh untuk mencapai kesempurnaan.
3. Ketaatan terhadap Syariat
Syariat berfungsi sebagai panduan praktis agar manusia tidak terjerumus dalam hawa nafsu. Ketaatan pada perintah Allah adalah sarana untuk menjaga fitrah manusia agar tetap lurus.
Pertarungan Batin: Nafsu dan Akal
Nafsu Amarah
Al-Quran menyebut adanya al-nafs al-ammarah (jiwa yang memerintah pada keburukan). Nafsu ini selalu mendorong manusia memenuhi hasrat hewani secara berlebihan. Inilah medan jihad terbesar manusia: jihad melawan hawa nafsu. Rasulullah menyebutnya sebagai jihad akbar.
Nafsu Lawwamah
Selain itu, Allah menganugerahkan manusia al-nafs al-lawwamah (jiwa yang menyalahkan). Jiwa ini berfungsi sebagai suara hati yang menegur manusia ketika ia salah jalan, sehingga ia terdorong untuk bertobat.
Nafsu Muthmainnah
Jika manusia berhasil menyeimbangkan akal dan nafsu, ia mencapai tingkat al-nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenang). Allah menyeru jiwa ini dengan penuh kasih:
“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan rida dan diridai. Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. al-Fajr [89]: 27-30)
Strategi Mengendalikan Nafsu dalam Etika Syi’ah
- Iman kepada Allah dan Hari Akhir
Kesadaran akan pertanggungjawaban di akhirat adalah benteng terkuat melawan hawa nafsu. Al-Quran menegaskan:
“Dan adapun orang-orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka surgalah tempat tinggalnya.” (QS. al-Nazi’at [79]: 40-41)
- Pengetahuan dan Makrifatullah
Pengendalian nafsu harus dibarengi dengan pengetahuan mendalam tentang Allah. Semakin dalam seseorang mengenal keesaan, kekuasaan, dan rahmat Allah, semakin kecil peluang nafsu menguasai dirinya. - Zikir dan Kesadaran Spiritual
Al-Quran menegaskan:
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. al-Ra’d [13]: 28)
Zikir menjaga manusia dari kelalaian, menghidupkan hati, dan memperkuat keteguhan iman.
Buah Etika: Kesempurnaan Insani
Dalam pandangan Syi’ah, puncak etika adalah menjadi insan kamil (manusia sempurna), yakni manusia yang:
- Menjadi khalifah Allah di bumi.
- Memiliki akhlak mulia sebagaimana dicontohkan Rasulullah.
- Mampu menundukkan hawa nafsu di bawah kendali akal dan iman.
- Hidup dalam keridaan Allah.
Rasulullah saw adalah teladan utama insan kamil. Allah memuji beliau dengan akhlak agung, dan seluruh perjuangan beliau bertujuan menyempurnakan akhlak manusia.
Kesimpulan
Etika dalam mazhab Syi’ah berakar pada tauhid sebagai prinsip dasar. Jalan menuju kesempurnaan manusia adalah iman yang benar, amal saleh, ketaatan terhadap syariat, serta pengendalian nafsu dengan bantuan akal dan fitrah.
Skema umum etika ini menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi luar biasa: menjadi khalifah Allah, makhluk mulia, dan pemegang amanat Ilahi. Namun potensi ini hanya akan terwujud jika manusia beriman, beramal saleh, dan menjaga akhlak mulia.
Dengan demikian, etika Islam dalam mazhab Syi’ah bukan sekadar ajaran moral, melainkan sistem spiritual yang menuntun manusia menuju kesempurnaan, kedekatan dengan Allah, dan kebahagiaan abadi. (Sumber: Etika Modern dalam Islam, Muhammad Ali Shomali (ed.))