Pada kegiatan rutin doa Ziarah Jamiah Kabirah di ICC Jakarta tanggal 27 September 2025, Syeikh Mohammad Sharifani memberikan ceramah yang diterjemahkan oleh Ustaz Hafidh Al-Kaf. Dalam kesempatan ini, beliau melanjutkan pembahasan tentang hidayah, setelah sebelumnya membicarakan ucapan dalam Jamiah Kabirah: “Salam atas kalian wahai para Imam pemilik hidayah” dan berbagai macam bentuk hidayah. Fokus ceramah kali ini adalah mengenai siapa saja yang akan mendapatkan hidayah dan siapa yang tidak akan mendapatkannya.
Syeikh Mohammad Sharifani membuka penjelasan dengan mengingatkan kisah pertemuan Sayeed Rashti dengan Shahibul Zaman afs. Dalam pertemuan itu, Shahibul Zaman afs memberikan tiga pesan penting yang diulang sebanyak tiga kali sebagai penekanan, yaitu: Salat Malam, Salat Malam, Salat Malam; Asyura, Asyura, Asyura; dan Jamiah Kabirah, Jamiah Kabirah, Jamiah Kabirah. Pesan ini menunjukkan betapa pentingnya ketiga perkara tersebut dan jangan sampai ditinggalkan oleh para pengikut Ahlulbait.
Dalam ceramah ini, beliau menjelaskan bahwa kelompok manusia yang akan mendapatkan hidayah terbagi dalam beberapa golongan. Yang pertama adalah orang-orang yang sabar dalam menghadapi kesulitan. Kehidupan di dunia adalah perjalanan menuju kesempurnaan yang sarat ujian. Hanya dengan kesabaran seseorang bisa melangkah naik ke tingkatan yang lebih tinggi. Allah menegaskan hal ini dalam Surah Al-Baqarah ayat 155–157. Pada ayat 155, Allah berfirman: “Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad saw,) kabar gembira kepada orang-orang sabar.” Ayat ini menyebutkan lima bentuk ujian: rasa takut, rasa lapar, kekurangan harta, kekurangan jiwa, dan kekurangan buah-buahan atau makanan.
Kemudian pada ayat 156, Allah menyebutkan ciri orang-orang sabar: “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn’ (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami akan kembali).” Inilah tanda kesabaran sejati, yakni mampu mengembalikan segala peristiwa kepada Allah. Dan pada ayat 157 ditegaskan: “Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” Dengan demikian, orang-orang sabar pasti akan memperoleh hidayah. Imam Ja‘far ash-Shadiq as meriwayatkan bahwa ketika menghadapi musibah, ucapan “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn” dapat memadamkan api kemarahan Allah SWT.
Golongan kedua yang berhak mendapat hidayah adalah mereka yang tidak melakukan kezaliman. Hal ini ditegaskan dalam Surah Al-An‘am ayat 82: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), merekalah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mendapat petunjuk.” Syeikh Mohammad Sharifani menjelaskan bahwa kezaliman terbagi dalam beberapa bentuk. Pertama adalah syirik, yakni kezaliman terbesar yang tidak akan diampuni oleh Allah. Kedua adalah menzalimi orang lain, seperti merampas hak, menyakiti, atau berlaku aniaya. Ketiga adalah kezaliman akhlak, yaitu perbuatan remeh yang mungkin tidak dihukum sebagai dosa, tetapi karena kedudukan spiritual seseorang, hal itu bisa menjadi dosa.
Untuk menjelaskan hal ini, beliau membawakan kisah Ayatullah Haj Agha Rahim Arbab dari Isfahan. Suatu malam, beliau bangun untuk melaksanakan salat malam dan mendapati seekor tikus. Tikus itu kemudian ditangkap dengan penutup kepala. Setelah salat malam usai, ketika hendak pergi ke masjid untuk salat Subuh, beliau membawa penutup kepala berisi tikus itu dan sengaja meletakkannya di hadapan seekor kucing agar kucing menyerang tikus tersebut. Padahal membunuh tikus tidaklah salah, sebab tikus adalah hama. Namun karena kedudukan spiritual Ayatullah Arbab, tindakannya dianggap kezaliman, sebab ia membiarkan tikus itu mengalami ketakutan luar biasa menjelang kematiannya. Akibat hal ini, beliau mengakui tidak mendapatkan taufik untuk bangun melaksanakan salat malam selama 40 hari.
Syeikh Mohammad Sharifani menegaskan bahwa seorang pengikut Rasulullah saw dan Ahlulbait as harus menjaga perbuatan, sebab segala tindak-tanduknya menjadi perhatian. Beliau mengutip riwayat tentang Imam Hasan as yang pernah menyaksikan sahabatnya dimaki oleh seseorang. Sahabat itu membalas dengan makian, tetapi Imam Hasan as segera menegurnya dan memintanya pergi. Ketika sahabat itu merasa tidak bersalah, Imam Hasan as menjawab bahwa segala hal yang baik itu memang baik, tetapi akan lebih baik bila dilakukan oleh orang yang dekat dengan Ahlulbait as. Demikian pula keburukan, meskipun tampak kecil, akan tampak lebih buruk jika dilakukan oleh pengikut Ahlulbait.
Golongan ketiga adalah para pengikut yang hakiki. Hal ini ditegaskan dalam Surah Yasin ayat 20: “Datanglah dengan bergegas dari ujung kota, seorang laki-laki. Dia berkata, ‘Wahai kaumku, ikutilah para rasul itu!’” Ayat ini merujuk pada kisah Habib al-Najjar, seorang lelaki beriman yang dengan segala kesulitan tetap menyeru kaumnya agar mengikuti para Nabi. Dalam konteks ini, Syeikh Mohammad Sharifani juga menyinggung kisah Ali ibn Mahziar yang berhaji hingga dua puluh kali dengan harapan bertemu Imam Zaman afs. Setelah haji ke-21, barulah beliau bertemu dengan Imam Zaman afs yang kemudian meminta Ali ibn Mahziar menyertainya selama dua hari. Pertemuan ini menjadi tanda nyata bahwa beliau mendapatkan petunjuk dan kedudukan mulia di sisi Imam Maksum as.
Setelah menjelaskan kelompok yang pasti mendapat hidayah, Syeikh Mohammad Sharifani juga membahas mereka yang tidak akan mendapatkan hidayah. Golongan pertama adalah orang yang menjadikan setan sebagai wali. Allah berfirman dalam Surah Al-A‘raf ayat 30: “Sekelompok (manusia) telah diberi-Nya petunjuk dan sekelompok (lainnya) telah pasti kesesatan atas mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan setan-setan sebagai pelindung selain Allah. Mereka mengira bahwa mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” Imam Ali as meriwayatkan bahwa banyak manusia berjalan di jalan kesesatan, tetapi mereka merasa bahwa apa yang mereka ikuti adalah hidayah.
Golongan kedua adalah mereka yang taklid buta kepada tradisi dan nenek moyang, enggan menyembah Allah hanya karena alasan orang tua mereka tidak melakukannya. Al-Qur’an berulang kali mencatat kisah kaum terdahulu yang menolak ajaran para Nabi karena ingin mempertahankan ajaran leluhur. Orang-orang semacam ini juga termasuk yang tidak akan mendapatkan hidayah.