Oleh: Syekh Hasan Shaffar
Banyak penganut agama memandang perbedaan agama di antara umat manusia dengan pandangan yang dangkal dan naif. Setiap orang yang menganut suatu agama atau mazhab merasa bahwa keyakinannya adalah kebenaran dan kebaikan, sedangkan yang lainnya adalah kesalahan dan kebatilan. Keyakinan seperti ini adalah hal yang wajar, karena jika seseorang tidak meyakini hal tersebut pada agama dan mazhabnya, tidaklah benar baginya untuk mengikuti dan menganutnya.
Namun, kedangkalan dan kenaifan itu muncul ketika dia merasa heran terhadap pengikut agama dan mazhab lain: mengapa mereka menganut agama yang batil dan mazhab yang salah?
Dia merasa dirinya berada di atas kebenaran yang tak terbantahkan dan kebaikan yang tak diragukan, jadi mengapa orang lain tidak mengikutinya dalam agama dan mazhabnya?
Seseorang dapat melampaui perasaan naif ini jika dia menyadari bahwa orang lain mungkin memiliki pandangan yang sama terhadapnya dan keyakinannya. Mereka juga merasa diri mereka di atas kebenaran dan kebaikan dalam keyakinan agama mereka, dan menganggap yang lainnya adalah kebatilan dan kesesatan. Mereka juga merasa heran dan bertanya-tanya: mengapa dia tidak mengikuti jalan mereka? Allah Yang Mahaagung berfirman, “Dan janganlah kamu mencaci maki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan mencaci maki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah mereka kembali, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”(1)
Ini tidak berarti bahwa tidak ada kebenaran. Keterikatan pada agama didasarkan pada prinsip berpegang teguh pada kebenaran dan menjauhi kebatilan.
Namun, yang ingin kami tunjukkan dan tekankan adalah bahwa isu agama di kalangan manusia dikelilingi oleh banyak kerumitan dan berbagai faktor yang memengaruhinya. Ini bukanlah masalah sederhana yang bisa dilihat secara dangkal atau diselesaikan dengan satu debat dan diskusi.
Pandangan dangkal terhadap isu agama inilah yang mendorong banyak penganut agama untuk berdakwah dengan cara yang kasar dan menyimpang, tanpa memahami kondisi orang lain, yang bisa menyebabkan penghinaan dan bentrokan.
Setiap orang berhak untuk bangga dengan keyakinannya dan menyeru kepadanya, tetapi dia harus mempelajari kondisi orang yang didakwahinya, berinteraksi dengannya dengan penuh hormat, dan mengakui haknya untuk menolak atau menerima. Inilah metode Ilahi, Allah berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang paling baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang paling mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”(2)
Hikmah adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya yang tepat. Tidak semua orang, tidak setiap waktu, dan tidak setiap cara itu cocok untuk berdakwah. Begitu juga, tidak layak bagimu untuk berdiskusi dengan orang lain yang berbeda pandangan dalam masalah agama, jika kamu tidak memiliki kualifikasi untuk mengelola dialog dengan cara terbaiknya. Allah Swt berfirman, “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka. Dan katakanlah, ‘Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.’“(3)
Ayat ini mengisyaratkan untuk melampaui detail-detail perbedaan dan menekankan poin-poin kesepakatan dan kesamaan.
Pembacaan yang sadar terhadap banyak ayat Alquran yang membahas masalah perbedaan agama akan memberikan seseorang pemahaman dan kebijaksanaan dalam berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda keyakinan dengannya.
Kita juga menghadapi masalah dalam perbedaan mazhab dan pemikiran di masyarakat kita, di mana individu-individu seringkali memaksakan perdebatan mazhab dalam setiap pertemuan atau hubungan dengan pengikut mazhab atau aliran pemikiran lain.
Diriwayatkan dari Abu Bashir, dia berkata, “Aku bertanya kepada Abu Ja’far (Imam Muhammad Baqir) as, ‘Apakah aku harus menyeru manusia kepada apa yang ada di tanganku (mazhab kami)?’ Beliau menjawab, ‘Jangan.’ Aku berkata, ‘Jika ada yang meminta petunjuk dariku, apakah aku harus memberikannya?’ Beliau menjawab, ‘Ya, jika dia meminta petunjuk darimu, maka berilah petunjuk. Jika ia meminta tambahan, maka berilah. Dan jika ia menentangmu, maka lawanlah dia.’“
Dari Tsabit Abu Sa’id, yang berkata, “Abu Abdullah (Imam Ja’far Shadiq) as berkata kepadaku, ‘Wahai Tsabit! Apa urusanmu dengan manusia? Tinggalkanlah manusia dan jangan menyeru seorang pun kepada urusan kalian. Demi Allah! Seandainya penghuni langit dan penghuni bumi bersatu untuk menyesatkan seorang hamba yang Allah kehendaki petunjuknya, mereka tidak akan mampu. Tinggalkanlah manusia, dan janganlah salah seorang dari kalian berkata, ‘Saudaraku, sepupuku, dan tetanggaku.’ Sesungguhnya Allah, jika Dia menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, Dia akan menyucikan jiwanya. Dia tidak mendengar kebaikan kecuali dia mengetahuinya, dan tidak mendengar keburukan kecuali dia mengingkarinya. Kemudian Allah menanamkan dalam hatinya sebuah kata yang dengannya dia mengumpulkan urusannya.’”
Teks-teks seperti ini bertujuan untuk merasionalisasi interaksi dengan orang-orang yang berbeda keyakinan, dan menghindari tindakan sembrono serta gegabah dalam membahas isu-isu perbedaan akidah dengan orang lain.(4)
Catatan Kaki:
- al-An’am [6]:108, hal.141.
- al-Nahl [16]:125, hal.281.
- al-Ankabut [29]:46, hal.402.
- Situs resmi Syekh Hasan al-Shaffar (semoga Allah melindunginya), dikutip dari Harian Al-Ayyam, Bahrain, 3/2/2010 M.