Majelis Taklim Akhwat ICC – Zainab Al-Kubro kembali diselenggarakan pada Rabu, 20 Agustus 2025, di Aula ICC Jakarta bersama Syaikh Mohammad Sharifani. Dalam kesempatan ini beliau menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah sumber dan pedoman hidup terbaik bagi manusia. Tidak ada pedoman yang lebih sempurna dari Al-Qur’an. Karena itu, setiap Muslim perlu menjalin hubungan yang dekat dengan Al-Qur’an agar ia benar-benar menjadi sahabat dan penuntun dalam kehidupan.
Syaikh Mohammad Sharifani kemudian menguraikan tujuh langkah utama yang harus ditempuh untuk mendekatkan diri dengan Al-Qur’an.
Langkah pertama adalah istimā‘ (menyimak bacaan Al-Qur’an). Istimā‘ berasal dari kata sami‘a yang berarti mendengar dengan penuh perhatian. Hal ini merupakan perintah Allah dalam Surah Al-A‘raf ayat 204: “Wa idzâ quri’al-qur’ânu fastami‘û lahu wa anshitû la‘allakum turhamûn” — “Apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dengan saksama dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat.” Dari ayat ini, terdapat dua tuntunan: pertama, mendengarkan bacaan Al-Qur’an dengan penuh perhatian agar hati terhubung dengan ayat-ayat-Nya, dan kedua, menjaga diam sebagai bentuk adab saat mendengarkannya.
Langkah kedua adalah membaca Al-Qur’an secara rutin. Allah berfirman dalam Surah Al-Muzzammil ayat 20: “Faqra’û mâ tayassara minal-qur’ân” — “Bacalah (ayat) Al-Qur’an yang mudah (bagimu).” Rasulullah SAW juga berpesan agar umatnya senantiasa membaca Al-Qur’an. Dalam membaca, ada adab yang harus diperhatikan, di antaranya dalam keadaan suci minimal berwudhu, berpakaian rapi, serta merendahkan diri di hadapan firman Allah. Syaikh Sharifani mengingatkan riwayat dari Imam Ali as: “Siapa yang mengajarkan aku Al-Qur’an satu huruf, maka aku adalah budaknya.” Ungkapan ini menunjukkan betapa tinggi penghormatan para Imam terhadap Al-Qur’an. Membaca Al-Qur’an juga perlu diiringi dengan rutinitas khatam dan pengulangan, sebagaimana pesan Imam Sajjad as bahwa seorang mukmin hendaknya tidak berhenti setelah menamatkan, melainkan mengulanginya kembali.
Dalam sebuah riwayat, Imam Ridha as menekankan agar seorang Muslim membaca minimal 50 ayat setiap hari. Beliau bersabda bahwa Al-Qur’an adalah titah Allah kepada makhluk-Nya, sehingga seorang mukmin harus memperhatikan titah tersebut. Para Imam Maksumin dari Imam Ali as hingga Imam Mahdi as menjadikan Al-Qur’an sebagai bacaan harian. Bahkan para ulama seperti Imam Khomeini ra, meskipun sibuk, senantiasa membaca Al-Qur’an hingga tiga juz setiap hari, dan pada bulan Ramadan bisa mencapai sepuluh juz.
Adab membaca juga mencakup membaca dengan tartīl — perlahan dan penuh penghayatan, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Muzzammil ayat 4: “Wa rattilil-qur’âna tartîlâ” — “Bacalah Al-Qur’an dengan tartil.” Selain itu, bacaan juga harus dengan suara syahdu, bukan dengan nada lagu yang riang. Imam Ja‘far as-Sadiq as meriwayatkan bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan suara syahdu, sehingga membacanya pun harus demikian agar maknanya meresap ke dalam hati. Imam Ali as dalam Nahjul Balaghah, khususnya dalam khutbah al-Muttaqin yang berisi 120 kriteria orang bertakwa, menyinggung bahwa orang-orang bertakwa membaca Al-Qur’an dengan tartil dan suara syahdu, menjadikan ayat-ayat sebagai obat bagi hati mereka.
Selain itu, pembacaan hendaknya dilakukan dengan memandang mushaf. Menurut Syaikh Sharifani, Al-Qur’an tidak cukup hanya dihafalkan dalam ingatan, tetapi juga perlu dilihat secara langsung agar ikatan batin dengan kitab suci semakin kuat.
Langkah ketiga adalah tilāwah, yakni membaca Al-Qur’an dengan khidmat dan memahami maknanya secara interaktif. Tilāwah lebih dari sekadar qirā’ah (membaca tanpa memahami), sebab tilāwah mengandung penghayatan makna sekaligus memposisikan diri sebagai hamba yang mendengarkan firman Allah SWT.
Langkah keempat adalah tadabbur, yaitu mendalami dan menghayati makna Al-Qur’an. Secara bahasa, tadabbur berarti melihat ke depan dan ke belakang, yaitu memahami berbagai dimensi makna ayat. Allah berfirman dalam Surah Shad ayat 29: “Kitâbun anzalnâhu ilaika mubârakun liyaddabbarû âyâtihi wa liyatadzakkara ulul-albâb” — “(Al-Qur’an ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang berakal sehat mendapat pelajaran.” Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa bacaan tanpa tadabbur hanyalah bacaan sia-sia, hanya menghasilkan pahala tanpa makna. Rasulullah SAW juga mengajarkan agar dalam setiap amal, seorang mukmin melakukan tadabbur. Kisah Nabi Musa as dan Nabi Khidir as menggambarkan bahwa Musa melihat yang tersurat, sedangkan Khidir melihat yang tersirat. Demikianlah perbedaan membaca tanpa dan dengan tadabbur.
Langkah kelima adalah belajar dan mengajarkan Al-Qur’an. Majelis ini sendiri, kata Syaikh Sharifani, adalah salah satu bentuk upaya mempelajari Al-Qur’an bukan hanya dari segi bacaan, melainkan juga pemahaman. Pada saat yang sama, umat Islam juga harus mengajarkan Al-Qur’an kepada orang lain. Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baiknya orang di antara kamu adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.”
Langkah keenam adalah menjaga Al-Qur’an, yang salah satunya dilakukan dengan menghafalnya. Menghafal berarti menjaga ayat-ayat agar tetap terpelihara. Menjaga juga berarti melindungi Al-Qur’an dari penafsiran yang menyimpang. Nabi SAW pernah bersabda bahwa hal yang paling beliau khawatirkan adalah orang yang membaca dan mengajarkan Al-Qur’an, tetapi menyimpangkan maknanya. Menjaga Al-Qur’an juga berarti menjadikannya gaya hidup: mempraktikkan nilai-nilai Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Dalam sebuah hadits disebutkan: “Hendaklah engkau jadikan dirimu sebagai lawan bicara Al-Qur’an.” Artinya, segala perintah dan larangan dalam Al-Qur’an harus ditujukan kepada diri sendiri. Rasulullah SAW sendiri dikenal dengan akhlaknya yang merupakan Al-Qur’an.
Langkah ketujuh adalah tablīgh (menyampaikan Al-Qur’an). Seorang Muslim hendaknya menjadi muballigh Al-Qur’an, menjelaskan maknanya, dan menyosialisasikannya. Allah memerintahkan dalam Surah Al-Mā’idah ayat 67: “Balligh mâ unzila ilaik” — “Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu.” Dalam Surah Al-An‘am ayat 29 juga disebutkan: “Li’undzirakum bihi wa man balagh” — “Al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada siapa saja yang sampai (kepadanya).” Demikian pula dalam Surah An-Nahl ayat 44: “Wa anzalnâ ilaikadz-dzikra litubayyina lin-nâs” — “Kami turunkan Adz-Dzikr (Al-Qur’an) kepadamu agar engkau menjelaskannya kepada manusia.”
Melalui tujuh langkah ini—istimā‘, membaca, tilāwah, tadabbur, belajar dan mengajarkan, menjaga, serta tablīgh—seorang Muslim dapat membangun hubungan yang erat dengan Al-Qur’an, menjadikannya pedoman hidup, serta menjaga diri agar tidak jauh dari nilai-nilainya.
Kajian ditutup dengan doa serta ajakan untuk terus memperkuat keterikatan dengan Al-Qur’an dan ajaran Ahlul Bait. Seperti biasa, Majelis Taklim Akhwat ICC – Zainab Al-Kubro yang diselenggarakan setiap Rabu pukul 10.00 WIB di Aula ICC Jakarta menjadi wadah rutin bagi para peserta untuk memperkaya pemahaman tentang Al-Qur’an dan nilai-nilai Ahlul Bait. Kajian akan kembali dilaksanakan pada Rabu, 27 Agustus 2025, dengan materi lanjutan seputar pendalaman Al-Qur’an.