Oleh: Syekh Ibrahim Amini
Masalah “Ulil Amri” atau “pemilik kekuasaan” menjadi sangat penting di kalangan para sahabat, mungkin karena ayat yang mulia ini dalam firman Allah Ta’ala, “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan Ulil Amri di antara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Itu lebih baik dan lebih baik akibatnya.”(1)
Sumbu-sumbu ketaatan dalam ayat ini berpusat pada tiga hal:
- Allah Azza wa Jalla: Ketaatan kepada-Nya adalah hukum akal dan nurani. Akal menguatkan wajibnya patuh kepada Allah Azza wa Jalla tanpa syarat atau ikatan, karena Dia adalah Pencipta alam semesta dan Pemilik segala yang ada. Segala sesuatu berada dalam genggaman-Nya, dan perintah-Nya berlaku.
Karena hukum-hukum-Nya—Yang Mahasuci—baik perintah maupun larangan, tidak sampai langsung kepada manusia melainkan melalui perantara yang menyampaikan syariat sebagaimana Allah menurunkannya. Nabi tidak menciptakan, melainkan menyampaikan, “Dan tiadalah yang diucapkan itu (Alquran) menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”(2)
- Rasul: Ketaatan kepadanya wajib karena Allah mengaitkan ketaatan-Nya dengan ketaatan kepada Nabi yang diutus-Nya. Dari sini dapat dipahami bahwa Rasulullah saw memiliki keputusan dan hukumnya sendiri.
Selain tugasnya dalam menyampaikan risalah, beliau juga memiliki tugas lain yang berkaitan dengan penerapan syariat Allah di muka bumi dan di antara hamba-hamba-Nya. Beliau bertanggung jawab untuk menegakkan sistem, membangun dasar-dasar keadilan, memimpin masyarakat di jalan kebaikan dan kebenaran, serta meninggikan kalimat Islam. Ini adalah tugas ilahi yang tidak mungkin dilaksanakan kecuali dengan membentuk sistem pemerintahan yang terintegrasi, yang mencakup semua urusan kehidupan manusia.
Karena itu, Rasul saw bertindak dalam kerangka ini sebagai seorang penguasa, pemimpin, dan kepala negara. Berdasarkan hal itu, beliau memiliki hukum-hukum khusus yang disebut hukum kepemimpinan. Beliau membuat keputusan yang sesuai dengan kepentingan kaum muslim dan manfaat masyarakat Islam. Karena alasan inilah, ketaatan kepadanya adalah wajib. Allah Ta’ala berfirman, “Dan taatilah Allah dan Rasul, agar kalian dirahmati(3); “Dan taatilah Allah dan taatilah Rasul. Jika kalian berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (risalah) dengan terang”(4); “…Dan taatilah Allah dan rasul-Nya…”(5); “Barang siapa menaati Rasul, sesungguhnya dia telah menaati Allah…”(6); “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun melainkan agar dia ditaati dengan izin Allah…”(7); “Nabi itu lebih utama (patut) bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri…”(8)
- Sebagian dari Para Penentang: Nabi Muhammad saw mewakili puncak piramida dalam struktur pemerintahan Islam, di mana kaum muslim patuh kepadanya dengan sukarela. Namun, perenungan atas berbagai peristiwa dan ayat-ayat mulia menunjukkan kepada kita bahwa sebagian kaum muslim meragukan atau menentang keistimewaan Nabi dalam hal wajibnya ketaatan kepadanya, baik di awal maupun di akhir. Mari kita renungkan ayat yang mulia ini dari firman Allah Ta’ala, “… Dan segolongan (yang lain) telah disibukkan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka terhadap Allah sangkaan yang tidak benar, seperti sangkaan jahiliah. Mereka berkata, ‘Apakah ada bagi kita sesuatu dari urusan (ini)?’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah.’ Mereka menyembunyikan dalam diri mereka apa yang tidak mereka nyatakan kepadamu. Mereka berkata, ‘Sekiranya ada bagi kita sesuatu dari urusan (ini), niscaya kita tidak akan terbunuh di sini….’”(9)
Perang Uhud
Agar kita dapat memahami makna ayat yang mulia, penting untuk mengetahui sebab-sebab turunnya dan sifat peristiwa yang menyertainya atau mendahuluinya.
Nabi diberitahu tentang pergerakan Quraisy dan pergerakan mereka menuju Madinah. Nabi Muhammad saw berkumpul dengan kaum muslim dan memberi tahu mereka kabar terbaru. Pendapat Rasulullah saw adalah untuk bertahan di Madinah.
Abdullah bin Ubay bin Salul, seorang munafik, berpura-pura mendukung Nabi saw, tetapi para pemuda yang bersemangat, terutama mereka yang tidak ikut dalam Perang Badar, melihat kesempatan ini sebagai peluang untuk maju dan menolak gagasan bertahan di Madinah. Sa’ad bin Mu’adz mendukung mereka dalam hal itu. Slogan “Kemenangan atau syahid, salah satu dari dua kebaikan” mendominasi suasana perdebatan. Nabi saw harus memutuskan situasi, lalu beliau masuk ke rumahnya dan keluar sambil mengenakan baju besi perang.
Saat itulah para pemuda yang bersemangat merasa bahwa mereka telah memaksakan pendapat mereka pada Nabi saw. Mereka menyesal dan berkata, “Kami telah memaksa Rasulullah saw.” Kemudian mereka meminta maaf dan berkata, “Lakukanlah apa yang engkau kehendaki, wahai Nabi Allah.” Nabi saw berkata, “Tidak pantas bagi seorang nabi ketika telah mengenakan baju besinya untuk melepaskannya sampai dia berperang.” Dan beliau mengeluarkan perintah untuk bergerak menghadapi agresi.
Nabi saw mengerahkan pasukannya untuk pertempuran, dan memerintahkan lima puluh pemanah terbaik untuk ditempatkan di atas lereng Bukit “Ainain” untuk melindungi bagian belakang pasukan Islam dari gerakan mengepung yang dilakukan musuh.
Beliau berkata kepada Ibnu Jubair, pemimpin pemanah, “Tempatkanlah panah-panah pada tempatnya agar mereka tidak datang dari belakang kita.”
Beliau berpaling kepada para pemanah dan menekankan, “Lindungilah bagian belakang kami. Jangan biarkan mereka datang dari belakang kami. Dan panahlah mereka, karena kuda tidak akan maju menghadapi panah. Kita akan terus menang selama kalian tetap di tempat kalian… Ya Allah! Aku bersaksi kepada-Mu atas mereka.”
Untuk terakhir kalinya, Nabi saw menasihati mereka, “Jika kalian melihat kami dicengkram oleh burung-burung, janganlah kalian tinggalkan tempat kalian sampai aku mengirimkan pesan kepada kalian. Dan jika kalian melihat kami mengalahkan kaum itu dan menghancurkan mereka, janganlah kalian tinggalkan tempat kalian sampai aku mengirimkan pesan kepada kalian. Dan jika kalian melihat kami memperoleh rampasan perang, janganlah kalian ikut serta. Dan jika kalian melihat kami terbunuh, janganlah kalian datang untuk menolong atau membela kami.”
Ketika pertempuran berkobar, kemenangan pertama kali berpihak pada kaum muslim, di mana kaum musyrikin melarikan diri. Pada saat-saat kritis itu, para pemanah meninggalkan posisi mereka, meskipun telah diperingatkan oleh komandan yang tetap teguh bersama dua belas orang, yang berkomitmen pada perintah Nabi saw.
Di saat itulah pasukan berkuda yang dipimpin oleh Khalid bin Walid memanfaatkan kesempatan dan melancarkan serangan dahsyat melalui manuver melingkar yang cepat, sehingga mengejutkan bagian belakang pasukan Islam. Akibatnya, terjadi kekacauan dalam barisan pasukan Muslim, dan situasi pun berubah menguntungkan kaum musyrik, yang kemudian mengejar kaum muslim.
Seandainya bukan karena keteguhan orang-orang yang setia, yang terdepan di antara mereka adalah Imam Ali bin Abi Thalib as, niscaya Rasulullah saw akan tinggal seorang diri dan nyawanya bisa saja terancam.
Pada saat-saat genting itu, kaum muslim pun menyadari akibat dari ketidaktaatan mereka kepada Rasulullah saw.
Lalu muncul pertanyaan mengenai kepemimpinan mutlak Rasulullah saw, dan apakah kaum muslim memiliki hak dalam hal tersebut. Maka wahyu Ilahi pun turun untuk memberikan jawaban, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya segala urusan itu milik Allah…’”(9)
Sebagian kaum muslim berkata, “Sekiranya urusan ini (perang) ada di tangan kita, niscaya kita tidak akan terbunuh di sini…” (QS. Ali Imran: 154).
Maka datanglah jawaban Ilahi, “Katakanlah, ‘Sekalipun kamu berada di rumah-rumahmu, pasti orang-orang yang telah ditetapkan akan terbunuh itu akan keluar menuju tempat kematian mereka…’” (QS. Ali Imran:154).
Kemudian penjelasan atas kekalahan dalam Perang Uhud datang melalui firman-Nya, “Dan sungguh, Allah telah memenuhi janji-Nya kepadamu ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya, hingga ketika kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai (perintah Rasul), sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai…”(10)
Kaum muslim pun menyadari kedudukan Rasulullah saw dalam kepemimpinan melalui firman Allah Ta’ala, “Kemudian Kami jadikan engkau berada di atas suatu syariat dari urusan (agama), maka ikutilah syariat itu dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”(11)
Dengan penekanan pula pada pentingnya musyawarah, namun keputusan akhir tetap berada di tangan Nabi saw, “… Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah…”(12)
Dari sini, kita memahami sunah Nabi saw, bahwa beliau adalah seorang pemimpin, selain dari perannya dalam menyampaikan syariat dan wahyu. Dan perintah-perintah serta keputusannya tetap berada dalam koridor hukum ilahi dan syariat samawi.(13)
Catatan Sumber:
- al-Nisa [4]:59, hal.87.
- al-Najm [53]:3-4, hal.526.
- Ali Imran [3]:132, hal.66.
- al-Taghabun [64]:12, hal.557.
- al-Mujadilah [58]:13, hal.544.
- al-Nisa [4]:80, hal.91.
- al-Nisa [4]:64, hal.88.
- al-Ahzab [33]:6, hal.418.
- Ali Imran [3]:154, hal.70.
- Ali Imran [3]:152, hal.69.
- al-Jatsiyah [45]:18, hal.500.
- Ali Imran [3]:159, hal.71.
- Dikutip dari kitab Studi Umum tentang Imamah.