Kelas Tafsir Maudhu’i yang digelar di ICC Jakarta pada Kamis, 13 November 2025, menghadirkan Ustaz Hafidh Alkaf dengan pembahasan mengenai falsafah kesulitan dalam kehidupan manusia. Melalui kajian ini, beliau mengajak jamaah untuk memahami bahwa setiap manusia pasti berhadapan dengan berbagai bentuk kesulitan. Allah swt menjadikan kesulitan sebagai bagian dari proses kehidupan manusia, sebagaimana ditegaskan dalam surah Al-Balad ayat 4: laqad khalaqnal-insâna fî kabad — sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam keadaan susah payah. Manusia, kata beliau, perlu memahami terlebih dahulu hakikat dari kesulitan itu: apakah sesuatu yang dianggap sulit benar-benar sulit, dan mengapa kesulitan tersebut hadir dalam hidupnya.
Kesulitan, menurut beliau, adalah bagian dari penciptaan manusia itu sendiri. Namun manusia perlu memahami terlebih dahulu hakikat dari kesulitan itu: apakah sesuatu yang dianggap sulit benar-benar sulit, dan mengapa kesulitan tersebut hadir dalam hidupnya. Dalam surah Al-A’raf ayat 172 disebutkan: wa idz akhadza rabbuka mim banî âdama min dhuhûrihim dzurriyyatahum wa asy-hadahum ‘alâ anfusihim, a lastu birabbikum, qâlû balâ syahidnâ, an taqûlû yaumal-qiyâmati innâ kunnâ ‘an hâdzâ ghâfilîn — (Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu Adam keturunan mereka, dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka sendiri (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” Hal ini menunjukkan bahwa manusia sejak sebelum dilahirkan telah memilih untuk menjalani kehidupan dunia, termasuk dengan segala kesulitannya.
Pilihan itu didasari keyakinan bahwa Allah swt tidak mungkin hanya menciptakan kesulitan tanpa hikmah. Allah berfirman dalam surah Asy-Syarh ayat 6: fa inna ma‘al-‘usri yusrâ — Maka, sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan. Kesulitan justru memiliki manfaat yang besar karena melatih kewaspadaan dan keteguhan jiwa. Tanpa kesulitan, manusia akan cenderung hidup dalam kenyamanan yang membuatnya lemah dan mudah putus asa ketika menghadapi ujian.
Karena itu, manusia-manusia terbaik dalam sejarah adalah para nabi yang sejak kecil telah dibiasakan menghadapi kesulitan. Ustaz Hafidh Alkaf mencontohkan kisah Nabi Ibrahim as yang berdakwah menghadapi penguasa zalim, Raja Namrud. Dalam surah Al-Baqarah ayat 258 disebutkan: a lam tara ilalladzî ḫâjja ibrâhîma fî rabbihî an âtâhullâhul-mulk, idz qâla ibrâhîmu rabbiyalladzî yuḫyî wa yumîtu qâla ana uḫyî wa umît, qâla ibrâhîmu fa innallâha ya’tî bisy-syamsi minal-masyriqi fa’ti bihâ minal-maghribi fa buhitalladzî kafar, wallâhu lâ yahdil-qaumadh-dhâlimîn — Tidakkah kamu memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim mengenai Tuhannya karena Allah telah menganugerahkan kepadanya kerajaan (kekuasaan). Ibrahim berkata, “Tuhanku adalah yang menghidupkan dan mematikan.” Orang itu menjawab, “Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat.” Akhirnya bingunglah orang yang kafir itu.
Demikian pula Nabi Musa as menghadapi kekuasaan Fir‘aun yang sangat zalim. Dalam surah Az-Zukhruf ayat 51, Allah swt berfirman: wa nâdâ fir‘aunu fî qaumihî qâla yâ qaumi a laisa lî mulku mishra wa hâdzihil-an-hâru tajrî min taḫtî, a fa lâ tubshirûn — Fir‘aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata, “Wahai kaumku, bukankah Kerajaan Mesir ini milikku dan sungai-sungai mengalir di bawah (istana-istana)-ku? Apakah kamu tidak melihat?” Para nabi mampu menghadapi penguasa-penguasa yang zalim karena mereka telah ditempa sejak awal kehidupan dengan berbagai kesulitan. Nabi Muhammad saw sendiri tumbuh dalam keterbatasan, namun justru hal itu yang membentuk keteguhan dan kesempurnaan jiwanya.
Ustaz Hafidh Alkaf menjelaskan bahwa dalam konteks kehidupan beragama, kesulitan merupakan syarat bagi manusia untuk mencapai kesempurnaan dan layak masuk surga. Allah swt berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 214: am ḫasibtum an tadkhulul-jannata wa lammâ ya’tikum matsalulladzîna khalau ming qablikum, massat-humul-ba’sâ’u wadl-dlarrâ’u wa zulzilû ḫattâ yaqûlar-rasûlu walladzîna âmanû ma‘ahû matâ nashrullâh, alâ inna nashrallâhi qarîb — Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu cobaan seperti yang dialami orang-orang sebelum kamu? Mereka ditimpa kemelaratan dan penderitaan hingga Rasul dan orang-orang beriman bersamanya berkata, “Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.
Kesulitan sejati, menurut beliau, bukanlah penderitaan fisik atau kekurangan materi, melainkan ketika manusia jauh dari Allah swt. Selama seseorang bersama rahmat Allah, kesulitan apa pun akan menemukan jalan keluar. Sebaliknya, orang yang berpaling dari Allah hidup dalam sempitnya batin, meskipun lahiriahnya terlihat baik. Allah berfirman dalam surah Thaha ayat 124: wa man a‘radla ‘an dzikrî fa inna lahû ma‘îsyatan dlangkaw wa naḫsyuruhû yaumal-qiyâmati a‘mâ — Siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.
Karena itu, orang mukmin sejati akan tetap tenang dalam menghadapi berbagai ujian. Allah swt menegaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 155: wa lanabluwannakum bisyai’im minal-khaufi wal-jû‘i wa naqshim minal-amwâli wal-anfusi wats-tsamarât, wa basysyirish-shâbirîn — Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang sabar.



