Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayyid Ali Khamenei, menegaskan bahwa saat ini bukan lagi waktunya dunia Islam berdiam diri menyaksikan genosida di Gaza. Melalui akun resmi beliau pada Senin, 21 Juli 2025, Ayatullah Sayyid Ali Khamenei menekankan bahwa pemerintah negara-negara Muslim memikul tanggung jawab penuh atas penderitaan rakyat Palestina. Jika ada pemerintah Muslim yang mendukung rezim Zionis dalam bentuk apa pun atau menghalangi jalur bantuan ke Palestina, maka kehinaan akan melekat abadi pada nama mereka di mata sejarah.
Peringatan keras ini muncul di tengah krisis kemanusiaan yang semakin parah di Jalur Gaza. Serangan militer Israel selama berbulan-bulan, disertai blokade total, telah memutus pasokan bahan bakar, makanan, dan air bersih. Pemerintah Kota Gaza pada hari yang sama melaporkan bahwa fasilitas penyulingan air laut di wilayah utara terpaksa berhenti beroperasi karena kehabisan bahan bakar, sementara serangan terus berlanjut. Jalur pasokan air Mekorot — salah satu sumber air dari luar yang tersisa — juga terputus, membuat krisis air semakin sulit diatasi.
Saluran air utama di Kota Gaza kini mati total, memutus pasokan air bersih ke sebagian besar permukiman. Hampir semua sumur berhenti beroperasi karena tidak ada bahan bakar. Lebih dari 1,2 juta penduduk, termasuk para pengungsi, kini terancam kekurangan air tanpa ada penanganan darurat yang memadai. Ribuan orang terpaksa antre di titik distribusi darurat dengan jeriken dan wadah seadanya, meski tempat-tempat itu pun sering menjadi sasaran serangan.
Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) kembali mendesak pencabutan blokade secepatnya karena risiko bencana kelaparan semakin nyata. Sekitar satu juta anak di Gaza kini hidup dalam kondisi rawan gizi buruk akut. Dalam 24 jam terakhir, Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan kematian Razan Abu Zaher, seorang bayi yang meninggal akibat malnutrisi parah dan ketiadaan susu. Bersamaan dengan kematian Razan, empat anak lain juga dilaporkan meninggal karena kelaparan.
Rumah sakit di seluruh Gaza kewalahan menangani ratusan pasien yang datang dengan kondisi tubuh sangat lemah akibat kelaparan. Tenaga medis menggambarkan suasana ruang darurat penuh dengan bayi, anak-anak, perempuan, dan lansia yang hampir tidak lagi sanggup bertahan hidup. Kementerian Kesehatan Gaza memperingatkan, bila blokade total terhadap pasokan pangan dan bantuan medis tidak segera dicabut, ribuan orang berisiko meninggal dalam hitungan hari.
Situasi di sekitar titik distribusi bantuan pun tidak luput dari serangan. Sedikitnya delapan warga Palestina, mayoritas anak-anak, tewas pekan lalu setelah rudal Israel menghantam titik penyaluran air di Kamp Pengungsi al-Nuseirat. Serangan tersebut menewaskan enam anak dan melukai 17 orang lainnya. Militer Israel mengklaim rudal tersebut salah sasaran karena gangguan teknis, tetapi korban sipil tetap berjatuhan.
Krisis air di Gaza sudah berlangsung lama. Laporan Tricontinental Institute for Social Research mencatat bahwa sejak November 2023 Israel menutup penuh akses air bagi penduduk Gaza. Sebelum agresi terbaru, sekitar 97 persen air di akuifer pesisir Gaza sudah tidak layak konsumsi menurut standar WHO. Berkali-kali fasilitas penyulingan air hancur akibat serangan, sementara impor peralatan dan bahan kimia penjernih air terus dihalangi.
Pedro Arrojo-Agudo, Pakar PBB untuk hak atas air bersih dan sanitasi, menilai penutupan total akses air adalah pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional. Ia mengingatkan bahwa setiap jam penutupan pasokan air membuat jutaan warga Gaza terancam mati kehausan dan terkena penyakit. Menurutnya, Israel tidak boleh menggunakan air sebagai senjata perang.
Koordinator Kemanusiaan PBB untuk Palestina, Jamie McGoldrick, juga menegaskan bahwa Gaza membutuhkan suku cadang dan bahan kimia agar sistem air dan sanitasi dapat berfungsi kembali. Kekurangan kebutuhan mendasar inilah yang memicu melonjaknya kasus malnutrisi.
Laporan Oxfam dan Integrated Food Security Phase Classification menyebut seluruh penduduk Gaza kini benar-benar berada dalam kondisi kelaparan nyata. Rumah sakit setiap hari merawat ratusan pasien dengan gizi buruk parah. Para dokter menggambarkan suasana ruang perawatan darurat sebagai bencana dengan jumlah pasien yang jauh melampaui kapasitas penanganan.
Sejak Oktober 2023, pejabat militer Israel secara terbuka mengakui bahwa penguasaan penuh atas pasokan air digunakan sebagai senjata politik untuk melemahkan penduduk Gaza. Mayor Jenderal Ghassan Alian, Kepala COGAT, pada 10 Oktober 2023, menyatakan bahwa siapa pun yang melawan akan mendapat balasan berupa pemutusan total pasokan listrik dan air.
Kini, di tengah rentetan serangan di sekitar pusat distribusi air dan pangan, blokade total Israel terus menutup jalan rakyat Gaza untuk bertahan hidup. Sementara itu, dunia hanya bisa menyaksikan Gaza terperangkap di salah satu krisis kemanusiaan terburuk abad ini.