Oleh: Sayid Mundzir Hakim
Muawiyah dan sekelompok tokoh Bani Umayah yang korup merebut kendali pemerintahan, dan dengan demikian mereka menyempurnakan penyimpangan yang terjadi sejak Saqifah; di mana Muawiyah mengubah kekhalifahan menjadi kerajaan yang kejam dan otoriter ketika dia secara terang-terangan menyatakan permusuhannya terhadap umat Islam, dan mengakui ketidakrelaan umat terhadapnya sebagai penguasa dengan ucapannya, “Demi Allah! Aku tidak mengambil alihnya–maksudnya kekhalifahan–karena cinta yang aku ketahui dari kalian, dan bukan pula karena kesenangan dengan pemerintahanku, tetapi aku memerangi kalian dengan pedangku.”(1)
Namun, Muawiyah dan arus yang dipimpinnya menghadapi rintangan besar, yaitu penerapan hukum syariat Islam oleh Imam Ali as dalam bentuknya yang benar. Ditambah lagi, beliau tidak meninggalkan umat sampai beliau menanamkan akidah (keyakinan) dalam jiwa, sehingga massa mencintainya, terutama penduduk Irak. Dalam hal ini, beliau sangat peduli terhadap risalah dan umat Islam, sekaligus membantah klaim para pemimpin Saqifah, sebagaimana Abu Bakar mengungkapkan ketidakmampuannya dan meminta maaf atas banyak kesalahannya dengan mengatakan, “Sungguh aku telah diangkat memimpin kalian, padahal aku bukanlah yang terbaik di antara kalian.”(2)
Permintaan maaf ini mungkin dapat dipahami sebagai ketidakmampuan untuk menerapkan syariat Islam secara sempurna. Namun, Imam Ali as telah menyajikan model hidup kepemimpinan yang kompeten, sadar, dan maksum setelah Rasul saw, sehingga umat Islam mengharapkan seorang pemimpin seperti Ali bin Abi Thalib as.
Namun, Muawiyah mulai mendistorsi nilai-nilai Islam ini, memerangi kekuatan yang bersimpati dengan Ahlulbait as, dan menghancurkan semua nilai yang telah dibangun oleh Imam Ali as dalam umat Islam; agar umat kehilangan kehendaknya dan mati nuraninya; supaya tidak mampu menghadapi hawa nafsu penguasa yang bertentangan dengan agama yang lurus.
Muawiyah telah menyatakan sejak langkah pertama bahwa tujuan utamanya adalah mengambil kendali pemerintahan meskipun darah suci kaum muslim harus tumpah untuk itu, dengan ucapannya yang terkenal, “Demi Allah! Aku tidak memerangi kalian agar kalian salat, atau puasa, atau haji, atau zakat, tetapi aku memerangi kalian agar aku menjadi pemimpin atas kalian.”(3)
Metode Muawiyah untuk Memerangi Islam
Kita harus melakukan studi singkat tentang rencana-rencana setan yang dianut oleh Muawiyah dan peristiwa-peristiwa besar yang menyertainya; karena itu adalah salah satu alasan terpenting di balik revolusi Imam Husain as. Imam as melihat sejauh mana kondisi kaum muslim telah merosot; secara akidah, moral, sosial, ekonomi, dan politik.
Semua kemerosotan ini disebabkan oleh kebijakan yang menjauhkan umat dari jalan Islam yang otentik melalui praktik Muawiyah yang mencapai puncaknya dalam memaksakan Yazid dengan kekerasan sebagai khalifah atas kaum muslim. Maka, beliau as bangkit setelah Muawiyah binasa untuk meledakkan revolusi besarnya yang menyebabkan kebangkitan jiwa dan menggerakkan kehendak umat.
Berikut adalah beberapa ciri utama kebijakan jahiliah Bani Umayah yang dia laksanakan:
Muawiyah
- Kebijakan Ekonominya
Muawiyah tidak memiliki kebijakan ekonomi tertentu mengenai harta (uang) sesuai dengan makna kata yang umum digunakan. Sebaliknya, perilakunya dalam memungut dan membelanjakan harta tunduk pada keinginan dan hawa nafsunya. Dia memberikan kekayaan yang melimpah kepada para pendukungnya dan melarang penentangnya dari tunjangan, serta mengambil harta dan memaksakan pajak tanpa hak. Kemiskinan dan penindasan ekonomi meluas di era Muawiyah di kalangan mayoritas mutlak kaum muslim, sementara kekayaan menumpuk di tangan kelompok kecil yang mulai mengendalikan nasib dan urusan kaum muslim.
Berikut adalah beberapa garis utama dalam kebijakan ekonominya:
a. Penindasan Ekonomi (Pengurangan Tunjangan)
Muawiyah menyebarkan penindasan ekonomi di daerah-daerah yang merupakan pusat oposisi terhadapnya, seperti:
Yatsrib (Madinah)
Muawiyah tidak membelanjakan harta sedikit pun untuk penduduk Yatsrib; karena di antara mereka terdapat banyak tokoh yang menentang keluarga Umayah dan mendambakan kekuasaan.
Para sejarawan mengatakan, “Muawiyah memaksa mereka untuk menjual properti mereka, lalu ia membelinya dengan harga yang sangat murah. Dia mengirim seorang pengurus atas propertinya untuk memungut pendapatannya, tetapi mereka mencegahnya dan menemui gubernur mereka, Usman bin Muhammad, dan berkata kepadanya, ‘Semua harta ini milik kami, dan Muawiyah telah mengutamakan orang lain daripada kami dalam tunjangan kami, dan dia tidak memberi kami satu dirham pun sampai waktu menekan kami dan kelaparan menimpa kami, lalu dia membelinya dengan kurang dari seperseratus dari harganya.’ Gubernur Madinah membalas mereka dengan ucapan yang paling keras dan menyuruhnya pergi.”(4)
Muawiyah menempatkan Marwan bin Hakam sebagai gubernur di Hijaz pada suatu waktu, dan Sa’id bin Ash pada waktu yang lain. Dia akan memberhentikan yang pertama dan mengangkat yang kedua, dan keduanya berusaha bersama-sama untuk menghinakan dan memiskinkan penduduk Madinah.
Irak
Muawiyah menjatuhkan hukuman ekonomi kepada penduduk Irak karena dianggap sebagai pusat utama oposisi. Gubernur Muawiyah di sana, Mughirah bin Syu’bah, menahan tunjangan dan rezeki dari penduduk Kufah. Para penguasa Umayah setelah Muawiyah mengikuti pendekatan ini dalam menindas dan menahan hak penduduk Irak;(5) karena mereka adalah kekuatan terbesar dalam garis kesadaran yang mendukung Amirul Mukminin as.
b. Penggunaan Harta untuk Mengokohkan Kekuasaannya
Muawiyah menggunakan Baitulmal (kas negara) untuk mengokohkan kerajaannya dan kekuasaannya, dan menjadikan harta sebagai senjata yang memungkinkannya menguasai umat. Sesungguhnya salah satu elemen kebijakan Bani Umayah adalah menggunakan harta sebagai senjata untuk intimidasi dan alat untuk mendekatkan (pihak-pihak tertentu), sehingga dia melarangnya dari sekelompok orang, dan mencurahkan berkali-kali lipat kepada kelompok lain sebagai imbalan atas nurani mereka dan jaminan atas kebisuan mereka.(6)
Muawiyah juga menghibahkan pajak hasil Mesir kepada Amr bin Ash, dan menjadikannya sebagai imbalan (ṭu’mah) baginya selama dia hidup, karena kerja samanya dalam memerangi Amirul Mukminin as.(7)
c. Membeli Kesetiaan (Suap)
Muawiyah membuka babak baru dalam kebijakan ekonominya, yaitu membeli kesetiaan (suap). Dia mengumumkannya dengan segala kehinaan, seraya berkata, “Demi Allah! Aku akan memenangkan kepercayaan para pengikut setia Ali dengan harta, dan aku akan membagi-bagikan harta di antara mereka sehingga duniaku akan mengalahkan akhirat mereka.”(8)
Diriwayatkan juga bahwa sekelompok bangsawan Arab menemuinya, lalu dia memberi masing-masing seratus ribu dirham. Dia memberi Hattat, paman Farazdaq, tujuh puluh ribu. Ketika Hattat mengetahui hal itu, dia kembali menemui Muawiyah dengan marah, lalu Muawiyah berkata kepadanya–tanpa malu atau sungkan, “Aku membeli agama kaum itu, dan aku serahkan urusanmu kepada agamamu.”
Hattat berkata, “Beli juga agamaku!” Maka Muawiyah memerintahkan untuk melengkapi hadiahnya (hingga seratus ribu dirham).(9)
d. Pajak Nairuz
Muawiyah memaksakan Pajak Nairuz (Tahun Baru Persia) kepada kaum muslim, sebuah inovasi (bid’ah) yang dia buat tanpa dasar dalam syariat Islam, untuk menutupi pengeluarannya. Dia berlebihan dalam membebani dan menindas orang untuk membayarnya. Menurut sejarawan, pajak ini mencapai sepuluh juta dirham, dan ini adalah salah satu pajak yang asing bagi kaum muslim. Para penguasa setelahnya menjadikannya sebagai tradisi dan memaksa kaum muslim untuk membayarnya.(10)
- Kebijakan Pemecahbelahan
Muawiyah membangun kebijakannya di atas dasar memecah belah kesatuan kaum muslim, meyakini bahwa pemerintahannya tidak akan stabil kecuali dengan menyebarkan permusuhan di antara anggota umat Islam. “Muawiyah memiliki trik yang sering dia ulangi, kuasai, dan mahir di dalamnya, yang dia gunakan terhadap musuh-musuhnya di negara tersebut, baik muslim maupun non-muslim. Inti dari trik itu adalah upaya terus-menerus untuk memecah belah dan membuat putus asa di antara musuh-musuhnya dengan melemparkan syubhat (keraguan) di antara mereka dan membangkitkan dendam di antara mereka, termasuk di antara mereka yang berasal dari keluarganya sendiri dan kerabat dekatnya. Dia tidak tahan melihat dua orang yang berpengaruh bersepakat, dan persaingan alami di antara orang-orang berpengaruh adalah sesuatu yang membantunya untuk menghancurkan mereka.”(11)
a. Penindasan terhadap Mawali (Non-Arab Muslim)
Muawiyah berlebihan dalam menindas dan menghinakan Mawali, dan dia bahkan berniat untuk membasmi mereka secara menyeluruh. Para sejarawan mengatakan: Dia memanggil Ahnaf bin Qais dan Samurah bin Jundab, dan berkata kepada mereka, “Aku melihat si merah (sebutan untuk non-Arab, Hamra’) ini telah banyak, dan aku melihat mereka telah melampaui batas, dan seolah-olah aku melihat lompatan dari mereka terhadap Arab dan kekuasaan. Jadi, aku berpikir untuk membunuh sebagian dari mereka, dan membiarkan sebagian lagi untuk menjalankan pasar dan memakmurkan jalan.”(12)
b. Fanatisme Kesukuan
Muawiyah menghidupkan kembali fanatisme kesukuan (al-’aṣabiyyah al-qabaliyyah). Dalam puisi Arab muncul gambaran-gambaran mengerikan dan menyakitkan dari berbagai jenis konflik yang diciptakan oleh kekuasaan Umayah; untuk menyibukkan orang dari ikut campur dalam urusan politik.
Para sejarawan mengatakan, “Muawiyah berupaya untuk membangkitkan kebencian lama antara suku Aus dan Khazraj; dengan tujuan mengurangi kepentingan mereka dan menjatuhkan kedudukan mereka di hadapan dunia Arab dan Islam. Dia juga berpihak pada Yaman terhadap Mudhar, dan menyalakan api fitnah di antara mereka agar mereka tidak memiliki kata sepakat yang dapat merugikan kepentingan negaranya.”(13)
- Kebijakan Kekerasan dan Kezaliman
Muawiyah memerintah umat dengan kebijakan kekerasan dan penindasan, sehingga meremehkan potensi dan martabat mereka. Dia mengumumkan–setelah perjanjian damai (dengan Hasan)–bahwa dia memerangi kaum muslim dan menumpahkan darah mereka hanya agar dia menjadi pemimpin atas mereka. Dia membuat pernyataan yang mengungkapkan kesombongan dan keangkuhannya, seraya berkata, “Kami adalah zaman, siapa yang kami angkat akan terangkat, dan siapa yang kami rendahkan akan terhina.”(14)
Para pegawainya dan gubernurnya mengikuti rencana pengkhianatan ini. Utbah bin Abi Sufyan berpidato di hadapan penduduk Mesir, mengatakan, “Demi Allah! aku akan memotong perut cambuk di punggung kalian.”
Dalam pidato Khalid Qashri di hadapan penduduk Mekah, ia berkata, “Demi Allah! Tidaklah didatangkan kepadaku seseorang yang mencerca imamnya (maksudnya Muawiyah) melainkan aku akan menyulibnya di Tanah Haram.”(15)
- Kesenangan Duniawi, Kebejatan dan Meremehkan Nilai-nilai Agama
Muawiyah dikenal karena kesenangan duniawi (al-khala’ah) dan kebejatan (al-mujun). Ibnu Abil Hadid berkata, “Muawiyah pada masa Usman sangat tidak tahu malu (syadid al-tahattuk), dicap dengan segala keburukan. Pada masa Umar, dia sedikit menyembunyikan dirinya karena takut padanya, namun dia mengenakan sutra dan brokat, minum di wadah emas dan perak, dan menunggangi bagal yang pelananya dihiasi dengannya (emas) dan di atasnya ada selimut brokat dan sulaman. Orang-orang meriwayatkan darinya dalam kitab-kitab sejarah bahwa dia minum khamar pada masa Usman di Syam.”(16)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Buraidah, yang berkata, “Aku dan ayahku masuk menemui Muawiyah, lalu dia mendudukkan kami di atas permadani. Kemudian didatangkan makanan, lalu kami makan. Kemudian didatangkan minuman, lalu Muawiyah minum! Kemudian dia menyodorkannya kepada ayahku, lalu ayahku berkata, ‘Aku belum meminumnya sejak Rasulullah saw mengharamkannya.’”(17)
Ada banyak riwayat yang menceritakan tentang Muawiyah yang memakan riba, di antaranya: Bahwa Muawiyah menjual tempat minum dari emas, atau perak, dengan harga lebih dari beratnya. Abu Darda berkata kepadanya, “Aku mendengar Rasulullah saw melarang hal seperti ini kecuali setara dengan setara.” Muawiyah berkata, “Aku tidak melihat ada masalah dengannya.” Abu Darda berkata kepadanya, “Siapa yang akan memaafkanku dari Muawiyah?! Aku memberitahunya tentang Rasulullah, dan dia memberitahuku tentang pendapatnya! Aku tidak akan tinggal bersamamu di tanah yang ada kamu di dalamnya.” Kemudian Abu Darda datang kepada Umar bin Khaththab dan menceritakan hal itu kepadanya, lalu Umar menulis kepada Muawiyah, “Jangan menjual itu kecuali setara dengan setara dan timbangan dengan timbangan.”(18)
Di antara manifestasi peremehan Muawiyah terhadap nilai-nilai Islam adalah menganeksasi Ziyad bin Ubaid Rumi dan menempelkannya pada nasabnya tanpa bukti syar’i. Dia hanya mengandalkan kesaksian Abu Maryam al-Khammar (penjual khamar), yang merupakan hal yang tidak menetapkan nasab syar’i. Dengan demikian, dia melanggar sabda Rasulullah saw, “Anak itu milik ranjang (pernikahan) dan bagi pezina adalah batu (hukuman).”(19)
- Menunjukkan Kebencian terhadap Nabi saw dan Permusuhan terhadap Ahlulbait as
Muawiyah membenci Nabi saw. Dia berdiam diri selama empat puluh Jumat di masa kekhalifahannya tidak bershalawat kepada beliau. Sebagian sahabatnya bertanya tentang hal itu, lalu dia berkata, “Tidak ada yang menghalangiku untuk menyebutkannya (Nabi saw) kecuali agar para pria tidak mengangkat hidung mereka (merasa sombong).”(20)
Dia mendengar muazin berkata, “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah…”, dan dia berkata, “Ayahmu untuk Allah, wahai putra Abdullah! Engkau benar-benar memiliki ambisi yang tinggi, engkau tidak puas untuk dirimu sendiri kecuali namamu disandingkan dengan nama Tuhan semesta alam.”(21)
Muawiyah memanfaatkan seluruh aparaturnya untuk merendahkan nilai Ahlulbait as yang merupakan amanah Rasulullah saw, hingga dia menggunakan cara-cara paling berbahaya dalam memerangi mereka dan menyingkirkan mereka dari realitas kehidupan Islam. Di antara apa yang dia gunakan dalam hal ini adalah:
- Memanfaatkan para penceramah (al-wu’aẓh) untuk mengalihkan hati dari Ahlulbait as.
- Mengarang berita (hadis palsu) atas nama Nabi saw untuk merendahkan nilai Ahlulbait as. Dia memanfaatkan Abu Hurairah Dausi, Samurah bin Jundab, Amr bin Ash, dan Mughirah bin Syu’bah, yang mengarang ratusan hadis atas nama Nabi saw.
Muawiyah menggunakan lembaga pendidikan dan sistem sekolah (al-katatib) untuk mencuci otak generasi muda dengan kebencian terhadap Ahlulbait as dan menciptakan generasi yang memusuhi mereka.
Muawiyah terus melampaui batas dalam permusuhannya terhadap Amirul Mukminin as, lalu dia mengumumkan penghinaan dan laknat terhadap beliau di pertemuan umum maupun pribadinya. Dia menginstruksikan kepada semua pegawainya dan gubernurnya untuk menyebarkan penghinaan terhadap beliau di antara masyarakat, dan penghinaan terhadap Imam ini merambat ke seluruh dunia Islam.
Muawiyah berpidato di hadapan penduduk Syam, mengatakan kepada mereka, “Wahai manusia! Sesungguhnya Rasulullah saw berkata kepadaku, ‘Sungguh kamu akan memegang kendali kekhalifahan setelahku, maka pilihlah Tanah Suci–maksudnya Syam–karena di dalamnya terdapat al-abtal (orang-orang saleh).’ Aku telah memilih kalian, maka laknatlah Abu Turab (gelar Ali bin Abi Thalib).”(22)
- Kekerasan terhadap Syiah Ahlulbait as
Kaum Syiah dianiaya secara resmi pada masa Muawiyah, dan mereka mengalami bentuk penindasan dan pengekangan yang paling parah.
Imam Muhammad Baqir as menggambarkan teror Umayah dengan ucapan as, “Syiah kami dibunuh di setiap kota, tangan dan kaki mereka dipotong atas dasar kecurigaan, dan siapa pun yang disebutkan karena mencintai kami dan terikat pada kami akan dipenjara, atau hartanya dijarah, atau rumahnya dirobohkan.”(23)
Muawiyah berusaha untuk memusnahkan kekuatan intelektual dan sadar dari kaum Syiah. Dia menyeret kelompok-kelompok dari mereka ke tempat eksekusi, seperti: Hujr bin Adi, Rasyid Hajri, Amr bin Ḥumq Khuza’i, dan Awfa bin Ḥuṣhn.
Muawiyah tidak membatasi kekejamannya pada pria Syiah saja, tetapi kezalimannya meluas hingga wanita mereka. Dia menyebarkan ketakutan dan teror di antara banyak dari mereka, seperti: Zarqa’ binti Adi, Sawdah binti Umarah, dan Ummul Khair Bariqiyah.
Muawiyah menginstruksikan kepada semua pegawainya untuk merobohkan rumah-rumah Syiah, menghapus nama mereka dari catatan (tunjangan negara), dan memutus tunjangan dan rezeki mereka. Dia juga memerintahkan para pegawainya untuk tidak menerima kesaksian mereka dalam pengadilan dan lainnya; sebagai upaya berlebihan untuk menghinakan dan merendahkan mereka.
Penyimpangan dan kejahatan Muawiyah tidak dapat dicakup dalam isyarat singkat ini. Hal ini membutuhkan buku khusus karena banyaknya dan luasnya. Tujuan utama kami dalam isyarat ini adalah sebagai pendahuluan untuk membahas kejahatan terbesarnya yang menyebabkan Imam Husain as menyatakan revolusinya. Kejahatan ini diwujudkan dalam memaksakan putranya, Yazid yang fasik, sebagai putra mahkota.
- Memaksakan Baiat dengan Kekuatan untuk Yazid yang Durjana
Kekhalifahan pada masa Abu Bakar, Umar, dan Usman memiliki sentuhan keislaman, dan mereka memerintah di bawah slogan kekhalifahan Rasul saw.
Meskipun Muawiyah ketika mulai menguasai kendali kekuasaan–terlepas dari tipu daya dan penyesatan yang sebagian telah kita ketahui–dia tidak berani secara terang-terangan dan terbuka menantang Rasul saw dan risalahnya di awal pemerintahannya; karena dia memanfaatkan penampilan Islam untuk memperketat cengkeramannya dan untuk mencapai kontrol lebih lanjut atas leher umat Islam. Dari sini Muawiyah digambarkan memiliki kecerdikan dan kecerdasan yang luar biasa, karena dia membalut kebatilannya dengan pakaian Islam.
Namun, pembebanannya terhadap Yazid yang fasik, yang secara terbuka dikenal kefasikannya, atas umat merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap nilai-nilai Islam, dan pengabaian yang jelas terhadap tradisi kaum muslim; karena seluruh kaum muslim mengetahui bahwa kekhalifahan Islam bukanlah pemerintahan Kaisar atau Kisra untuk diwariskan, dan posisi ini hanya layak bagi orang yang menguasai kitab dan sunah, mengamalkannya, dan mampu mencapai tujuan risalah Islam serta menerapkan hukum-hukumnya.
Ditambah lagi, memaksakan baiat untuk Yazid kepada kaum muslim adalah kejahatan besar dengan dimensi sosial dan politik yang berbahaya yang akan berakhir dengan pemusnahan Islam dan penghapusannya dari muka bumi, seandainya bukan karena revolusi Imam Husain as, cucu Rasul yang agung saw, yang menjaga agama kakeknya dari kehancuran dan kerusakan.(24)
Catatan Kaki:
- Tarikh al-Khulafa’, jil.71.
- Ibid. (Merujuk pada Tarikh al-Khulafa’, atau sumber yang sama dengan catatan kaki sebelumnya dalam teks aslinya).
- Syaraḥ Nahj al-Balaghah, jil.4, jil.16.
- Ḥayat al-Imam al-Ḥusain as, jil.2, jil.123.
- Ḥayat al-Imam al-Ḥusain as, jil.2, jil.125, dan lihat Al-’Iqd al-Farid Jilid 4, jil.259.
- Ibid, jil.2, jil.127, mengutip dari Ittijahat al-Syi’r al-’Arabi (Tren Puisi Arab)-Dr. Muḥammad Muṣṭhafa, jil.27.
- Ḥayat al-Imam al-Ḥusain as, jil.2, jil.127.
- Lihat Naṣhr bin Muzahim, Waq’at Ṣhiffin, , jil.495; Syarḥ Nahj al-Balaghah, jil.2, jil.293.
- Ḥayat al-Imam al-Ḥusayn as, jil.2, jil.128 – 129.
- Ibid, jil.2, jil.131. Dan lihat al-Ḥayat al-Fikriyyah fi al-Islam, jil.42.
- Ḥayat al-Imam al-Ḥusayn as, jil.2, jil.135, mengutip dari Aqqad dalam kitabnya Muawiyah fi al-Mizan, jil.64.
- Al-’Iqd al-Farid, jil.2, jil.260.
- Ḥayat al-Imam al-Ḥusayn as, jil.2, jil.137.
- Ḥayat al-Imam al-Ḥusayn as, jil.2, jil.138 – 139; al-’Iqd al-Farid, jil.2, jil.159.
- Abul Faraj Iṣfahani, al-Aghani, jil.22, jil.382, cetakan Beirut.
- Ḥayat al-Imam al-Ḥusayn as, jil.2, jil.144 – 145.
- Musnad Aḥmad bin Ḥambal, jil.5, jil.347.
- Sunan Nasa’i, jil.7, jil.279.
- Lihat Kisah Anaksasi (Penempelan Nasab) beserta Sebab dan Dampaknya dalam (Ḥayat al-Imam al-Ḥasan bin Ali), jil.2, hal.174-190.
- Ḥayat al-Imam al-Ḥusayn as, jil.2, jil.151, mengutip dari al-Naṣhaiḥ al-Kafiyah, jil.97.
- Ibnu Abil Ḥadid, Syaraḥ Nahj al-Balaghah, jil.10, jil.101.
- Ḥayat al-Imam al-Ḥusayn as, jil.2, jil.160; Syaraḥ Nahj al-Balaghah, jil.3, jil.361.
- Syarḥ Nahj al-Balaghah, jil.3, jil.15; al-Ṭhabaqat al-Kubra, jil.5, hal.95.
- Dari Kitab al-Imam al-Ḥusayn Sayyid al-Syuhada’. Ditulis oleh komite penulis di bawah pengawasan YM. Sayid Mundzir Ḥakim.