Kekejaman dan diskriminasi rasial yang melekat pada aksi militer Israel atas nama keamanan telah lama menjadi sorotan dunia. Namun, tahukah Anda bahwa di balik retorika perlindungan diri—yang kerap dijadikan dalih untuk tindakan genosida—tersimpan sebuah doktrin rahasia? Israel ternyata menerapkan kebijakan yang secara tegas mengizinkan pembunuhan terhadap tentara dan warga sipilnya sendiri. Doktrin tersebut diwujudkan melalui sebuah protokol yang dikenal sebagai Protokol Hannibal.
Protokol Hannibal adalah perintah militer Israel yang memerintahkan penggunaan segala upaya, termasuk penembakan artileri berat, untuk menghentikan penculikan tentara atau warga sipil. Meskipun metode ini berpotensi melukai atau bahkan membunuh orang yang sedang diculik, doktrin ini tetap diterapkan. Selama dua dekade terakhir, Protokol Hannibal telah digunakan dalam berbagai operasi militer, dan baru-baru ini mendapat sorotan serta kontroversi sejak serangan 7 Oktober.
Lebih lanjut, sebuah penyelidikan oleh surat kabar Israel, Haaretz, pada Juli 2024 melaporkan bahwa tentara Israel menerapkan protokol tersebut ketika Hamas menyerang Israel. Penerapan protokol ini diduga menyebabkan tewasnya warga sipil maupun personil militer Israel. Fakta ini menambah deretan insiden yang mengungkapkan betapa Israel kerap memilih strategi yang ekstrim dan cenderung melakukan pendekatan kekerasan dalam setiap episode konflik.
Pada Juni 1982—saat Israel menginvasi Lebanon—Front Persatuan untuk Pembebasan Palestina (PFLP) yang dipimpin oleh Ahmed Jibril berhasil menculik beberapa tentara dalam insiden terpisah. Negosiasi panjang akhirnya menghasilkan Perjanjian Jibril pada Februari 1985, di mana tiga tentara Israel—Yosef Grof, Nissim Salem, dan Hezi Shai—dibebaskan sebagai pertukaran atas 1.150 tahanan Palestina, termasuk Sheikh Ahmed Yassin, pendiri Hamas. Sebagai respons terhadap penculikan tentara yang terjadi pada tahun 1980-an dan jumlah tahanan Palestina yang besar yang harus ditukar, Komando Utara Tentara Israel mulai menyusun Protokol Hannibal pada tahun 1986.
Walaupun kesepakatan itu disetujui oleh pemerintah Israel hampir tanpa perlawanan, perjanjian tersebut memicu perdebatan sengit mengenai harga mahal yang harus dibayar negara. Dalam bukunya tahun 1993, A Place Under the Sun, Benjamin Netanyahu—saat itu duta besar Israel untuk PBB—menulis: “Sejak awal, saya melihat kesepakatan Jibril sebagai pukulan fatal bagi seluruh upaya Israel untuk membangun front internasional melawan terorisme. Bagaimana mungkin Israel mengajarkan kepada Amerika Serikat dan Barat untuk tidak menyerah kepada terorisme ketika ia sendiri menyerah dengan begitu memalukan?”
Kemudian, pada Februari 1986, setelah tentara Israel Rahamim Alsheikh dan Yossi Fink diculik oleh Hizbullah di Lebanon selatan, sisa-sisa tubuh mereka dikembalikan pada tahun 1996 melalui kesepakatan yang juga melibatkan pembebasan 22 tahanan. Tak lama setelah itu, protokol ini dirumuskan ulang oleh tiga anggota Komando Utara—Yossi Peled, Gabi Ashkenazi, dan Yaakov Amidror—yang kemudian mengembangkan prinsip-prinsip utamanya.
Meskipun teks resmi Protokol Hannibal belum pernah dipublikasikan, versi lisan yang beredar menyatakan tiga prinsip dasar: pertama, selama penculikan personel militer, tujuan utama adalah menyelamatkan tentara tersebut, meskipun harus mengorbankan keselamatan sandera; kedua, penggunaan tembakan dengan senjata kecil diarahkan untuk menghentikan penculik, misalnya dengan menembak kendaraan yang mereka gunakan—jika metode tersebut tidak berhasil, penculik harus dikejar dan dihilangkan, meskipun hal itu berisiko bagi sandera; dan ketiga, segala upaya harus dilakukan untuk menghentikan kendaraan penculik agar tidak melarikan diri. Menurut Asa Kasher, penulis kode etik tentara Israel, intisari doktrin ini dapat diringkas sebagai:
“Tentara yang mati lebih baik daripada tentara yang diculik.”
Penerapan Protokol Hannibal telah terlihat dalam sejumlah insiden tragis. Misalnya, pada Februari 2000, sebuah patroli di wilayah Shebaa Farms diserang oleh pejuang Hizbullah sehingga tiga tentara diculik. Dalam upaya mengejar penculik, pasukan Israel menerapkan protokol dengan menembak kendaraan musuh. Yossi Refaelov, komandan yang memerintahkan pembukaan tembakan, menyatakan bahwa saat ia melihat jeep musuh, ia menyadari bahwa tentara yang diculik sudah tidak bernyawa. Jenazah mereka kemudian dikembalikan ke Israel pada tahun 2004 sebagai bagian dari pertukaran yang melibatkan setidaknya 430 tahanan dan sisa-sisa 59 warga Lebanon yang tewas.
Selanjutnya, pada 1 Agustus 2014, setelah penculikan tentara Hadar Goldin oleh Hamas, penerapan protokol menghasilkan tembakan berat dan pemboman di Rafah, yang menewaskan 135 warga Palestina, termasuk 75 anak-anak. Hari itu kemudian dikenal sebagai “Black Friday.” Selain itu, doktrin ini juga dikaitkan dengan insiden penculikan Gilad Shalit dan digunakan selama Operasi Cast Lead pada tahun 2009.
Akhirnya, perdebatan seputar Protokol Hannibal terus bergemuruh. Pada tahun 2003, Chaim Avraham, ayah dari Bani—salah satu tentara yang tewas pada tahun 2000 dalam upaya penculikan—mengungkapkan kepada Haaretz, “Sangat mengejutkan bahwa seorang tentara mengeksekusi temannya. Memang benar bahwa dalam penculikan terdapat dilema sulit terkait harga yang harus dibayar negara. Namun, seberat apapun dilema itu, saya lebih memilih anak yang dijadikan sandera daripada anak yang mati.”
Sumber berita: https://www.middleeasteye.net
Sumber gambar: https://www.timesofisrael.com/