ICC Jakarta
No Result
View All Result
  • Home
  • Profil
    • Sambutan direktur
    • Sejarah Berdiri
  • Kegiatan
    • Berita
    • Galeri
  • Artikel
    • Akhlak
    • Alquran
    • Arsip
    • Dunia Islam
    • Kebudayan
    • Pesan Wali Faqih
    • Press Release
    • Sejarah
  • Hubungi kami
  • Login
ICC Jakarta
No Result
View All Result

ASAL MULA DAN PERKEMBANGAN SIRAH NABAWIYAH PADA ABAD PERTAMA DAN KEDUA HIJRIAH

by Syafrudin mbojo
October 13, 2025
in Sejarah
0 0
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Syekh Muhammad Hadi Yusufi

Tidak diragukan lagi pentingnya yang besar yang dimiliki oleh perkataan dan perbuatan Nabi, semoga selawat dan salam Allah senantiasa terlimpah kepadanya dan keluarganya, selama hidupnya, dan bahkan lebih besar lagi setelah wafatnya.

Tentu saja, kepentingan ini melahirkan perhatian pada pendokumentasian rincian kehidupannya dan pengumpulan berita serta hadis tentangnya, semoga selawat dan salam Allah senantiasa terlimpah kepadanya dan keluarganya. Wajar juga jika kisah-kisah populer tentang sirahnya sudah ada sejak masa hidupnya, dan sangat diperhatikan—seperti halnya orang-orang yang memperhatikan kisah-kisah para nabi sebelumnya—dan wajar pula jika sebagian Sahabat lebih unggul dari yang lain dalam pengetahuan tentang sirahnya dan peperangannya (maghazi).

Kitab Sirah Generasi Awal

Sesungguhnya orang pertama yang menyusun kitab di bidang ini adalah Urwah bin Zubair bin Awwam (w.92 H). Ibnu Sa’ad menyebutkan dalam kitabnya “al-Thabaqat” yang menunjukkan bahwa orang pertama yang secara khusus mendalami bidang ini adalah Aban bin Usman bin Affan (w.105 H). Sebagiannya diriwayatkan darinya oleh Mughirah bin Abdurrahman.

Kemudian, Wahb bin Munabbih Yamani (w.110 H) memperhatikan pengumpulan berita-berita sirah dan meriwayatkannya, kemudian Ashim bin Umar bin Qatadah (w.120 H)—yang darinya Ibnu Ishaq meriwayatkan sebagian berita sirah, seperti kisahnya tentang doa Nabi untuk meminta hujan dalam perjalanan ke Tabuk dan banyaknya kemunafikan—kemudian Syarahbil bin Sa’ad Syami (w.123 H) kemudian Abdullah bin Abi Bakar bin Hazm -Qadhi (w.135 H) yang diminta oleh Umar bin Abdul Aziz untuk menulis kepadanya hadis-hadis yang dimilikinya, lalu dia menyebarkannya di antara orang-orang. Kemudian Musa bin Uqbah (w.141 H), kemudian Ma’mar bin Rasyid (w.150 H), kemudian Muhammad bin Ishaq bin Yasar Madani—dan ada yang mengatakan: bin Basyar—bin Khayyar dari tawanan Ainul Tamr di Irak (w.153 H), kemudian perawinya Ziyad bin Abdul Malik -Bakka’i Kufi Amiri (w.183 H), kemudian Muhammad bin Umar bin Waqid yang dikenal sebagai Waqidi penulis kitab al-Maghazi (w.207 H), kemudian perawi Ibnu Ziyad Bakka’i dari Ibnu Ishaq, Abdul Malik bin Hisyam Himayari Yamani Bashri (w.218 H).

Tidak ada satu pun kitab dari mereka yang sampai kepada kita kecuali Sirah Ibnu Ishaq melalui riwayat Ibnu Hisyam dari Bakka’i dari Ibnu Ishaq, dan Maghazi Waqidi, kecuali beberapa riwayat yang tersebar di dalam sumber-sumber sejarah induk setelahnya.

Para Sejarawan Awal

Selain mereka, muncul juga orang-orang yang tidak terbatas pada berita sirah Rasulullah saw, tetapi juga mengumpulkan berita-berita Jahiliyah sebelum Islam, kemudian berita-berita para khalifah setelahnya, atau hanya mengumpulkan berita-berita sebagian khalifah, atau para Imam dari Ahlulbait as. Jadi, mereka adalah sejarawan dalam arti luas. Di antara mereka adalah: Muhammad bin Sa’ib Kalbi Kufi Nassabah (w.146 H), Abu Mikhnaf Luth bin Yahya Azdi Kufi (w.157 H), Hisyam bin Muhammad Kalbi Kufi (w.206 H), Nashr bin Muzahim Minqari Kufi (w.212 H), Abdullah bin Muslim bin Qutaibah Dainawari (w.274 H), Ahmad bin Yahya bin Jabir Baladzuri (w.279 H), Ibrahim bin Muhammad Tsaqafi Kufi Ishbahani (w.283 H), Abul Faraj Ali bin Husain Umawi Ishbahani (w.284 H), Ahmad bin Wadhih bin Ya’qub Baghdadi (w.292 H), Muhammad bin Jarir Thabari (w.310 H), Ali bin Husain Mas’udi Baghdadi (w.346 H), dan Muhammad bin Muhammad bin Nu’man Tal’akbari Mufid (w.413 H).

Peninggalan yang Tersisa dalam Sirah

Kita tahu bahwa penulisan tentang sirah Rasulullah saw, telah terjadi di kalangan tabi’in dan tabi’ut tabi’in, sebagaimana kita melihat daftar nama-nama mereka dan tanggal wafat mereka, tetapi itu tidak banyak, bahkan sekecil apapun kita membicarakannya, itu sangat sedikit, tidak lebih dari beberapa lembaran yang berisi sebagian berita tentang Sirah al-Mukhtar saw.

Adapun kitab yang dikaruniai keberhasilan, kesuksesan, dan popularitas untuk diandalkan dan dipercaya adalah Sirah Muhammad bin Ishaq, yang dia susun pada masa-masa awal Dinasti Abbasiyah.

Mereka meriwayatkan bahwa suatu hari dia masuk menemui Manshur dan di hadapannya ada putranya, Mahdi. Manshur berkata kepadanya, “Apakah engkau mengenalinya, wahai Ibnu Ishaq?” Dia menjawab, “Ya, ini adalah putra amirul mukminin.” Dia berkata, “Pergi dan susunlah sebuah kitab untuknya sejak Allah menciptakan Adam as hingga hari ini.” Maka Ibnu Ishaq pergi dan menyusun kitab tersebut, lalu membawanya kepadanya. Ketika melihatnya, dia berkata, “Sungguh engkau telah memanjangkannya, wahai Ibnu Ishaq! Pergi dan ringkaslah.” Maka dia meringkasnya, dan kitab yang besar itu diletakkan di gudang Khalifah.

Dalam konteks ini, diriwayatkan dari Ibnu Adi, ahli rijal yang terkenal, bahwa ia berkata tentang Ibnu Ishaq, “Sekiranya Ibnu Ishaq tidak memiliki keutamaan selain bahwa ia mengalihkan perhatian para raja dari sibuk dengan kitab-kitab yang tidak menghasilkan apa-apa menjadi sibuk dengan maghazi Rasulullah saw, pengutusannya, dan permulaan penciptaan, niscaya ini adalah keutamaan yang telah diraih Ibnu Ishaq. Dan aku telah meneliti banyak hadisnya dan tidak menemukan apa pun yang dapat dipastikan sebagai kelemahan padanya. Kadang-kadang dia salah atau dituduh dalam sesuatu, sebagaimana orang lain salah. Dan tidak ada orang yang terpercaya dan para imam yang kuat yang menahan diri untuk meriwayatkan darinya. Muslim meriwayatkan darinya dalam Bab al-Mubaya’at (Jual-Beli), Bukhari menggunakannya sebagai pendukung di beberapa tempat. Abu Dawud, Tirmizi, Nasa’i, dan Ibnu Majah meriwayatkan darinya.”

Kemudian Ibnu Ishaq pada hakikatnya menjadi tokoh utama para penulis Sirah, tidak ada satu pun penulis Sirah melainkan mengambil sumber darinya dan meriwayatkan darinya, kecuali Maghazi Waqidi dan riwayat penulisnya, Ibnu Sa’ad, darinya, dan apa yang diriwayatkan dari para Imam Ahlulbait as. Demikian pula, kitab Ibnu Ishaq menjadi kitab Sirah utama bagi para pembacanya sejak dia menulisnya hingga hari ini—terutama setelah disunting oleh Ibnu Hisyam—sehingga hampir tidak ada orang yang mempelajari sirah Rasul yang mulia saw kecuali kitab Ibnu Ishaq adalah kitab pertamanya dan induknya dalam hal itu.

Pekerjaan Ibnu Hisyam dalam Sirah Ibnu Ishaq

Kemudian datanglah Abdul Malik bin Hisyam Himayari Bashri (w.218 H) kira-kira setengah abad setelahnya, lalu dia meriwayatkan Sirah Ibnu Ishaq melalui riwayat Ziyad bin Abdul Malik Bakka’i Amiri Kufi (w.183 H), tetapi dia tidak meriwayatkannya apa adanya, melainkan dia menanganinya dengan banyak melewati (tidak meriwayatkan), meringkas, menambahkan, dan mengkritik kadang-kadang, serta menentang dengan riwayat-riwayat lain dari selainnya. Dia mengungkapkan pekerjaannya ini dengan perkataannya di awal sirahnya, “Dan aku, insya Allah, akan memulai kitab ini dengan menyebutkan Ismail bin Ibrahim, dan orang yang melahirkan Rasulullah saw dari keturunannya, anak-anak mereka dari sulbi mereka yang pertama dan seterusnya dari Ismail hingga Rasulullah saw, dan apa yang muncul dari hadis mereka—sambil meninggalkan penyebutan selain mereka dari keturunan Ismail untuk meringkas—menuju hadis Sirah Rasulullah. Dan meninggalkan sebagian yang disebutkan Ibnu Ishaq dalam kitab ini yang tidak ada penyebutan Rasulullah saw di dalamnya, atau tidak ada ayat Alquran yang turun mengenainya, dan bukan merupakan sebab bagi sesuatu pun dari kitab ini, atau penjelasannya, atau saksi atasnya, karena alasan yang aku sebutkan, yaitu peringkasan. Dan juga syair-syair yang dia sebutkan yang aku tidak melihat seorang pun dari ahli ilmu syair mengenalnya, dan beberapa hal yang sebagiannya membuat hadis itu tercela, dan sebagiannya menyakiti sebagian orang untuk disebutkan, dan sebagiannya tidak diakui oleh Bakka’i kepada kami periwayatannya. Dan aku akan melengkapi—insya Allah Ta’ala—selain dari itu darinya dengan kadar riwayat dan ilmu tentangnya.”(1)

Dengan demikian, Ibnu Hisyam telah menghilangkan dari karya Ibnu Ishaq: sejarah para nabi dari Adam hingga Ibrahim, dan keturunan Ismail yang tidak berada dalam garis keturunan Nabi yang mulia saw, serta menghapus berita-berita yang menyinggung sebagian orang dan juga syair-syair yang menurutnya tidak valid. Namun, dia menambahkan dari riwayat yang dianggapnya valid, dan karena itulah Sirah tersebut dinisbatkan kepadanya dan dikenal dengan namanya, sehingga Ibnu Ishaq hampir tidak disebut bersamanya. Sirah Ibnu Ishaq telah lama dikenal di kalangan ulama dengan nama Sirah Ibnu Hisyam, karena perannya dalam meriwayatkan dan menyuntingnya. Dalam konteks ini, Ibnu Khallikan berkata dalam biografi Ibnu Hisyam, “Ibnu Hisyam inilah yang mengumpulkan Sirah Rasulullah saw dari Maghazi dan Siyar Ibnu Ishaq, lalu menyuntingnya dan meringkasnya. Dan itulah Sirah yang ada di tangan orang-orang yang dikenal sebagai Sirah Ibnu Hisyam.”

Perhatian terhadap penulisan Sirah tidak pernah terhenti hingga hari ini. Namun, subjek ini sendiri bukanlah sesuatu yang didasarkan pada eksperimen, atau ide yang ditegakkan oleh bukti dan dibatalkan oleh bukti lain, seperti halnya teori-teori ilmiah yang terus diperbarui dan diubah seiring berjalannya waktu. Sebaliknya, ini adalah bagian dari ilmu naqliyah (transmisi) bukan ‘aqliyah (rasional). Oleh karena itu, mereka yang awalnya berkecimpung di dalamnya adalah para muhaddits (periwayat hadis) dan naqil (pentransfer), kemudian datanglah orang-orang setelah mereka yang mengumpulkan dan menyusun bab, lalu kemudian mengkritik dan memberi catatan.

Intinya, ia tidak terbuka untuk pembaruan kecuali dalam jumlah kecil melalui kritik yang cermat. Pembaruan terjadi pada bentuk dan ragamnya, baik berupa penjelasan, ringkasan, atau sedikit kritik yang menunjuk pada kesalahannya.

Mungkin saja orang-orang yang merangkum dan meringkas Sirah, meringankan beban kitab dengan membuang sebagian berita yang mereka anggap jauh dari kebenaran dan tidak mereka yakini keabsahannya, hanya memindahkan berita yang menurut mereka mendekati kebenaran, dan membuang apa yang tidak sejalan dengan ide dan keyakinan mereka, seraya membantah dan menolaknya.

Penyebaran dan Kontroversi Ibnu Ishaq

Mungkin salah satu alasan tersebarnya berita-berita Ibnu Ishaq dan kemudian kitab Sirahnya adalah seringnya perjalanannya. Tanggal lahirnya yang paling mungkin di Madinah adalah tahun 85 H. Para ahli rijal dan ahli Thabaqat tidak meragukan bahwa dia menghabiskan masa mudanya di Madinah sebagai pemuda yang tampan, “berwajah Persia,” menarik, dan memiliki rambut yang bagus. Oleh karena itu, Ibnu Nadim menceritakan tentangnya dalam Fihrist-nya bahwa dia dituduh duduk di bagian belakang masjid untuk salat sambil menggoda sebagian wanita, sehingga Amir Madinah memerintahkan untuk membawanya, mencambuknya beberapa kali, dan melarangnya duduk di bagian belakang masjid. Mungkin karena alasan ini, hanya satu orang dari penduduk Madinah yang meriwayatkan darinya, yaitu Ibrahim bin Sa’ad saja.(2)

Mungkin karena hal inilah dia berangkat dari Madinah pada tahun 115 H, yaitu pada usia tiga puluh tahun, menuju Iskandariyah di Mesir, dan ini diduga sebagai perjalanan pertamanya. Dia sendiri meriwayatkan hadis dari beberapa ahli hadis di sana. Kemudian dia melakukan perjalanan ke Kufah dan Hirah. Mungkin di sanalah dia bertemu dengan Manshur sehingga ia menyusun kitab Sirah untuk putranya, Mahdi, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Kitab itu diriwayatkan darinya oleh Ziyad bin Abdul Malik Bakka’i Amiri dan lainnya. Dia juga melakukan perjalanan ke Jazirah (yaitu Mosul) dan Rey. Ketika Baghdad dibangun, dia kembali ke sana dan di sanalah dia menetap, dan dia memiliki banyak perawi dari semua kota ini. Dia hidup di Baghdad sampai wafat di sana dan dimakamkan di pemakaman Khaizuran.

Ibnu Ishaq dianggap sejajar dengan murid-murid Abdul Malik bin Syihab Zuhri dan orang-orang sezamannya, dan dia memiliki riwayat darinya. Para ahli Thabaqat menyampaikan bahwa gurunya, Ibnu Syihab Zuhri, tidak menuduhnya apa-apa, melainkan mempercayainya. Yang mengikuti dalam memercayai Ibnu Ishaq dari kalangan fukaha dan para imam adalah Sufyan Tsauri dan Syu’bah, di samping riwayat Ziyad bin Abdul Malik Bakka’i darinya.

Meskipun Hisyam bin Urwah bin Zubair, salah satu perawi Sirah, dan Malik bin Anas, salah satu imam fukaha, menyerangnya dengan mencela dan melemahkannya, menuduhnya berbohong (kadzib), menipu (dajal), melakukan tadlis (penyembunyian cacat riwayat), berpendapat tentang Qadar, meriwayatkan dari orang yang tidak terpercaya, dan melakukan kesalahan dalam nasab. Namun, mungkin ini karena Ibnu Ishaq mencela nasab dan ilmu Malik dan berkata, “Bawakan kepadaku sebagian kitabnya agar aku jelaskan cacatnya, aku adalah dokter hewan kitab-kitabnya!” Dengan demikian, serangan itu bersifat timbal balik dari kedua belah pihak, dan pelemahan itu lemah karena diketahui motif dan penyebabnya yang “pribadi.”

 

Maghazi Waqidi

Adapun Waqidi, Muhammad bin Umar bin Waqid, maula (bekas budak) Bani Sahm, muridnya Ibnu Sa’ad menyebutkan dalam (al-Thabaqat al-Kubra) bahwa dia lahir di Madinah pada tahun 130 H, yaitu 15 tahun setelah Ibnu Ishaq meninggalkannya. Oleh karena itu, dia tidak meriwayatkan darinya, meskipun dia meriwayatkan dari perawi-perawi berita lain dari Zuhri. Terdapat kesamaan besar antara bagian-bagian kitab Sirah Ibnu Ishaq dan kitab Maghazi Waqidi. Oleh karena itu, dua orientalis (Wellhausen dan Horovitz) mengklaim bahwa dia mencuri darinya dan tidak menyandarkannya kepadanya. Klaim mereka dibantah oleh orientalis lain, Marsden Jones, penyunting al-Maghazi, sebagaimana terdapat dalam pendahuluan kitab tersebut.(3) Kemudian dia menduga bahwa Waqidi mungkin menghindari riwayat dari Ibnu Ishaq mengingat tidak adanya kepercayaan dari ulama Madinah terhadapnya.

Dia kemudian berkata, “Jelas bagi pembaca modern bahwa salah satu karakteristik terpenting yang menempatkan Waqidi pada posisi khusus di antara para penulis Siyar dan Maghazi adalah penerapan metode sejarah yang ilmiah dan artistik. Kami memperhatikan pada Waqidi—lebih dari yang kami perhatikan pada sejarawan awal lainnya—bahwa ia menyusun detail peristiwa yang berbeda dengan cara yang logis dan tidak berubah. Misalnya, dia memulai Maghazi-nya dengan menyebutkan daftar panjang nama-nama tokoh yang darinya ia menukil berita-berita tersebut. Kemudian dia menyebutkan peperangan satu per satu dengan tanggal yang ditentukan secara akurat. Dia sering menyebutkan detail geografis tentang lokasi peperangan. Kemudian dia menyebutkan peperangan yang dipimpin sendiri oleh Nabi saw, dan nama-nama orang yang dia tinggalkan sebagai penggantinya di Madinah selama peperangannya, dan akhirnya ia menyebutkan semboyan (syiar) kaum muslim dalam pertempuran. Semua itu selain deskripsi setiap peperangan dengan gaya yang seragam. Dia menyebutkan terlebih dahulu nama peperangan, tanggalnya, dan pemimpinnya.”

“Waqidi sering menyajikan kisah suatu peristiwa dengan sanad kolektif (isnad jami’), yaitu menggabungkan tokoh dan sanad dalam satu teks. Jika peperangan tersebut terdapat banyak ayat Alquran yang diturunkan, Waqidi memisahkannya sendiri bersama dengan penafsirannya dan menempatkannya di akhir berita peperangan. Dalam peperangan penting, Waqidi menyebutkan nama-nama mereka yang gugur syahid di dalamnya.”

“Detail geografis yang dia masukkan dalam kitabnya menunjukkan usahanya dan pengetahuannya tentang seluk-beluk berita yang ia kumpulkan dalam perjalanannya ke timur dan barat bumi untuk mencari ilmu.”(4)

Ibnu Asakir, Khatib Baghdadi, dan Ibnu Sayidun Nas(5) meriwayatkan dari Waqidi bahwa ia berkata, “Tidaklah aku mendapati seseorang dari putra-putra sahabat dan putra-putra syuhada dan tidak pula maula mereka melainkan aku bertanya kepadanya, ‘Apakah engkau mendengar seseorang dari keluargamu memberitahumu tentang persaksiannya dan di mana dia terbunuh?’ Jika dia memberitahuku, aku pergi ke tempat itu untuk melihatnya sendiri. Dan tidak ada peperangan yang aku ketahui melainkan aku pergi ke tempat itu untuk melihatnya sendiri, sampai-sampai aku pergi ke Muraisi’ dan melihatnya.”

Mereka meriwayatkan dari Harun Gharawi, dia berkata, “Aku melihat Waqidi di Mekkah dan bersamanya wadah air (rakwah). Aku berkata, ‘Ke mana engkau akan pergi?’ Dia menjawab, ‘Aku ingin pergi ke Hunain untuk melihat tempat dan peristiwanya.’”

Yang menjadi saksi atas kecerdasan Waqidi dalam hal ini adalah apa yang diceritakan oleh murid dan perawinya, Ibnu Sa’ad dalam al-Thabaqat: Bahwa ketika Harun Rasyid dan Yahya bin Khalid Barmaki mengunjungi Madinah dalam haji mereka, mereka meminta seseorang untuk menunjukkan kepada mereka tempat-tempat bersejarah (masyahid) dan kuburan para syuhada. Mereka ditunjukkan kepada Waqidi, lalu dia menemani mereka dalam kunjungan mereka, dan tidak meninggalkan satu pun tempat atau peristiwa bersejarah melainkan ia melewatinya bersama mereka. Harun Rasyid memberinya sepuluh ribu dirham, lalu dia menggunakannya untuk melunasi utang yang menumpuk padanya dan menikahkan sebagian anaknya, dan ia hidup dalam kemudahan dan kelapangan.(6)

Namun, dia kembali berkata bahwa setelah itu ia terlilit utang lalu pergi ke Irak pada tahun 180 H.(7) Khatib merinci dari Waqidi, dia berkata, “Aku memiliki seratus ribu dirham milik orang lain yang aku putar dalam bisnis gandum, dan dirham-dirham itu hilang. Maka aku pergi ke Irak dan menuju Yahya bin Khalid Barmaki.”(8) Ibnu Sa’ad juga merinci darinya, ia berkata, “Kemudian kesulitan menimpa kami. Ummu Abdullah (istriku) berkata kepadaku, ‘Wahai Abu Abdillah! Mengapa engkau duduk-duduk, padahal ini adalah wazir amirul mukminin yang telah mengenalmu dan memintamu untuk pergi kepadanya di mana dia menetap.’ Maka aku melakukan perjalanan dari Madinah.”

Ketika dia memasuki Baghdad, dia mendapati Khalifah dan istana telah pindah ke Raqqah di Syam, maka dia melakukan perjalanan ke sana sampai menyusul mereka.(9) Dia berkata, “Enam ratus ribu dirham telah datang kepadaku dari sultan, yang mana aku tidak wajib membayar zakat atasnya.”(10) Kemudian dia kembali bersama mereka ke Baghdad dan tetap di sana, sampai Makmun datang, lalu menjadikannya kadi (hakim) untuk pasukan Mahdi. Pasukan itu berada di sisi Timur, sementara Waqidi berada di sisi Barat. Ketika dia pindah, dia mengangkut kitab-kitabnya dengan seratus dua puluh beban unta (waqr).(11) Dia menjabat sebagai kadi selama empat tahun sebelum wafatnya, dan dia berwasiat kepada Makmun, lalu Makmun melaksanakan wasiatnya dan mengirimkan kain kafannya serta melunasi utangnya.(12)

Ibnu Sa’ad—yang merupakan murid, penulis, dan perawinya—menyebutkan: Dia wafat di Baghdad pada malam Selasa, sebelas malam menjelang akhir Zulhijah, tahun 207 H, dan dimakamkan pada hari Selasa di pemakaman Khaizuran, dalam usia 78 tahun.

Kedudukan Waqidi dalam Riwayat dan Ilmu

Kedudukannya dalam riwayat dan ilmu tergambar dalam deskripsi penulis dan muridnya, Ibnu Sa’ad, tentang dirinya, yang mengatakan: Dia seorang yang sangat alim (berilmu) tentang Maghazi (peperangan), Sirah (biografi), Futuh (penaklukan), perbedaan pendapat manusia dalam Hadis dan hukum-hukum, serta kesepakatan mereka atas apa yang mereka sepakati. Dia telah menjelaskan semua itu dalam kitab-kitab yang dia gali, susun, dan riwayatkan.(13)

Ibnu Nadim berkata tentangnya dalam al-Fihrist, “Dia memiliki dua budak yang bekerja siang dan malam untuk menyalin kitab-kitab. Ketika dia wafat, dia meninggalkan enam ratus qimathr (peti atau tumpukan) kitab yang masing-masing membutuhkan dua orang untuk membawanya.”(14)

Khatib Baghdadi menukil dari Ali bin Madini bahwa hadis-hadis yang dikumpulkan oleh Waqidi mencapai dua puluh ribu hadis.(15) Ibnu Sayyidun Nas menukil dari Yahya bin Ma’in bahwa dia berkata, “Waqidi menyendiri (membawakan riwayat unik) tentang Rasulullah dalam dua puluh ribu hadis.” Kemudian Ibnu Sayyidun Nas berkata, “Kami telah meriwayatkan darinya tentang upaya pelacakannya terhadap lokasi-lokasi peristiwa dan pertanyaannya kepada putra-putra para syuhada, sahabat, dan mawali (bekas budak) mereka tentang keadaan leluhur mereka, yang menunjukkan keunikan dalam periwayatan dan berita yang tak terhitung jumlahnya.”(16)

Dzahabi menukil dari Ibrahim Harbi bahwa dia berkata tentang Waqidi, “Dia adalah orang yang paling berilmu tentang urusan Islam, adapun urusan Jahiliyah, dia tidak mengetahui apa pun darinya.”(17) Kemudian mereka menyebutkan sekitar 30 kitab karyanya.

Dalam daftar kitab-kitabnya, kita melihat kitab al-Thabaqat. Kita dapat membayangkannya dalam kitab al-Thabaqat al-Kubra karya murid dan penulisnya, Muhammad bin Sa’ad, karena dia banyak menukil darinya dan tidak diragukan lagi bahwa dia menyusunnya mengikuti pola kitab gurunya, dan dia juga meriwayatkan di dalamnya dari orang lain.

Di antara kitabnya adalah kitab al-Riddah, di dalamnya ia menyebutkan kemurtadan orang Arab setelah wafatnya Nabi saw dan perlawanan sahabat terhadap Thalhah bin Khuwailid Asadi, Musailamah Kadzdzab, dan Sajah di Yamamah, serta Aswad Ansi di Yaman. Muridnya, Ibnu Sa’ad, dalam al-Thabaqat, dan Thabari dalam Tarikh-nya, menukil darinya berita-berita peristiwa yang terjadi setelah wafatnya Nabi saw, dan itu berasal dari kitabnya tentang al-Riddah.

Dapat dikatakan bahwa apa yang dinukil oleh Ibnu Sa’ad dan Thabari darinya mengenai berita-berita Jahiliyah adalah dari sebuah kitab yang mereka namakan: kitab al-Tarikh wa al-Maghazi wa al-Mab’ats, dengan mendahulukan al-Maghazi daripada al-Mab’ats dan mengakhirkan al-Mab’ats dari al-Maghazi, yang mereka anggap berbeda dari kitab al-Maghazi yang lain. Thabari menukil al-Maghazi langsung dari Waqidi, tetapi ketika dia menyajikan berita-berita Jahiliyah dan masa sebelum Islam, dia meriwayatkannya dari Ibnu Sa’ad dari Waqidi, yang menunjukkan bahwa dia berpegangan pada kitab al-Maghazi Waqidi untuk al-Maghazi, sedangkan berita-berita Jahiliyah berasal dari kitabnya yang lain, mungkin al-Tarikh wa al-Mab’ats.

Di antara kitabnya adalah Futuh al-Syam dan Futuh al-Iraq. Baladzuri dalam kitabnya Futuh al-Buldan, banyak menukil dari Waqidi, dan dia adalah salah satu murid Ibnu Sa’ad, penulis Waqidi. Jadi, dia meriwayatkan kitab gurunya, dan Baladzuri meriwayatkannya. Ibnu Katsir juga banyak menukil dalam (al-Bidayah wa al-Nihayah) banyak peristiwa tahun 64 H, dan Thabari banyak menukil darinya peristiwa-peristiwa paruh kedua abad kedua, yaitu masa hidup Waqidi.

Seputar Kesyiahan Waqidi dan Ibnu Ishaq

Ibnu Nadim berkata dalam al-Fihrist-nya tentang Waqidi, “Dia adalah seorang yang cenderung kepada Syiah (Yatasyayya’u), memiliki mazhab yang baik, dan melaksanakan taqiyah (penyembunyian keyakinan). Dialah yang meriwayatkan bahwa Ali termasuk mukjizat Nabi saw, seperti tongkat bagi Musa as dan menghidupkan orang mati bagi Isa bin Maryam as, dan berita-berita lainnya.”(14)

Sayid Amin Amili, penulis (A’yan al-Syiah), menukil perkataan ini darinya dan membuatkan biografi untuknya.(18) Demikian pula, Agha Buzurg Tehrani menyebutkannya dalam (al-Dzari’ah ila Taṣhanif al-Syiah)(19) ketika membahas sejarah Waqidi. Sementara itu, Syekh Thusi tidak menyebutkannya dalam al-Fihrist maupun Rijal-nya, dan tidak menyebutkan satu pun kitabnya, bahkan bukan pula Maqtal al-Husain as.

Ibnu Abil Hadid, ketika menukil paragraf panjang dari Waqidi, kemudian menyajikan riwayat lain yang berbeda dari yang pertama, ia memulainya dengan perkataan, “Dan dalam riwayat Syiah,”(20) yang menunjukkan bahwa dia tidak menganggapnya Syiah atau sebagai representasi mereka.

Menarik untuk dicatat bahwa Ibnu Ishaq juga dituduh Syiah.(21)

Mungkin alasan penyifatan keduanya sebagai Syiah tidak kembali pada keyakinan pribadi mereka, melainkan pada berita-berita yang terdapat dalam kitab-kitab mereka yang mereka sajikan sesuai dengan sifat penulisan dalam subjek-subjek semacam ini, bukan karena keyakinan yang benar terhadapnya. Dan juga pada apa yang mereka masukkan di beberapa bagian kitab mereka mengenai sekelompok Sahabat, termasuk sebagian Khalifah, di mana mereka menyebut mereka dengan ungkapan yang tidak menempatkan mereka pada posisi terhormat di mata banyak muslim.

Karena itu, sebagian besar kritikus dari kalangan para ahli hadis awal melemahkan Waqidi dalam hadis.

Bukhari, Razi, Nasa’i, dan Daruquthni berkata, “Dia ditinggalkan hadisnya (matruk al-hadits), tetapi mereka tidak bersepakat atas hal itu.” Darawardi menggambarkannya sebagai, “Amirul mukminin dalam hadis.” Yazid bin Harun berkata, “Waqidi terpercaya (tsiqah). Dia juga dipercaya oleh Mush’ab Zubairi, Mujahid bin Musa, Musayyib, Abu Ubaid Qasim bin Sallam, dan Abu Bakar Shaghani.”(22) Ibrahim Harbi berkata, “Dia adalah orang yang paling aman (aman al-nas) terhadap urusan kaum muslim.”(23) Ibnu Nadim berkata, “Dia adalah seorang yang alim tentang Maghazi, Siyar, Futuh, perbedaan pendapat manusia dalam hadis, fikih, hukum-hukum, dan berita-berita.”(14)

Adapun mengenai Ibnu Ishaq: Khatib Baghdadi dalam kitabnya (Tarikh Baghdad) dan juga Ibnu Sayyidun Nas dalam kitabnya (Uyun al-Atsar) mendedikasikan bab untuk membantah semua celaan yang ditujukan kepadanya.

Mengenai tuduhan kesyiahan dan qadar (fatalisme) kepadanya, mereka mengatakan intinya, “Adapun tuduhan tadlis (penyembunyian cacat riwayat), qadar, dan kesyiahan yang dilemparkan kepadanya, tidak mengharuskan penolakan riwayatnya, dan tidak menjadikannya kelemahan yang besar. Adapun tadlis, ada yang mencela dan ada yang tidak mencela, dan tadlis mutlak yang terjadi di sini tidak dibawa pada tadlis yang terikat dengan celaan pada keadilan. Demikian pula qadar dan kesyiahan tidak menuntut penolakan kecuali dengan tambahan lain yang tidak kami temukan di sini.”

Anehnya, Anda tidak menemukan sedikit pun keraguan ini pada Abdul Malik bin Hisyam, penyunting Sirah Ibnu Ishaq. Seandainya cacat itu ada pada bagian Sirah Ibnu Ishaq yang tersisa ini, niscaya keraguan itu akan mencakup Ibnu Hisyam juga.

Pada titik ini, kita menjadi yakin bahwa cacat itu tidak terletak pada bagian yang tersisa ini, melainkan pada apa yang dikatakan Ibnu Hisyam tentangnya, “Dan meninggalkan sebagian yang disebutkan Ibnu Ishaq dalam kitab ini, beberapa hal yang sebagiannya membuat hadis itu tercela, dan sebagiannya menyakiti sebagian orang untuk disebutkan, dan sebagiannya tidak diakui oleh Bakka’i kepada kami periwayatannya, dan aku akan melengkapi selain dari itu.”

Pada titik ini, Anda juga akan menemukan poros tuduhan kesyiahan atas dirinya. Dan kita telah melihat bahwa jika kita mengecualikan dua orang yang dituduh Syiah ini, tidak ada lagi yang tersisa bagi kaum muslim secara umum yang patut disebutkan dalam Sirah maupun Maghazi. Pada titik ini, kita juga menyadari bahwa para perintis pertama dalam mendokumentasikan Sirah Rasulullah dan Maghazi-nya, yaitu generasi awal sejarah Islam, adalah Syiah-syiahnya para Imam Ahlulbait as, atau orang-orang yang dekat dengan mereka yang dituduh Syiah.

Catatan Kaki:

  1. Sirah Ibnu Hisyam, jil.1, hal.4.
  2. Dan lihat Tahdzib al-Tahdzib, jil.9, hal.44.
  3. Maghazi al-Waqidi, hal.29.
  4. Pengantar al-Muhaqqiq (Penyunting) untuk al-Maghazi, jil.1, hal.31.
  5. Tarikh Madinat Dimashq, jil.11, hal.5; Tarikh Baghdad, jil.3, hal.6; Uyun al-Atsar, jil.1, hal.18.
  6. Lihat al-Tabaqat, jil.5, hal.315.
  7. Al-Thabaqat, jil.7, hal.77.
  8. Tarikh Baghdad, jil.3, hal.4.
  9. Al-Thabaqat, jil.5, hal.315.
  10. Tarikh Baghdad, jil.3, hal.20.
  11. Tarikh Baghdad, jil.3, hal.5; Uyun al-Atsar, jil.1, hal.18; al-Wafi bi al-Wafayat, jil.4, hal.238; Siyar A’lam al-Nubala’, jil.7, hal.118.
  12. Al-Thabaqat, jil.5, hal.315; Tarikh Baghdad, jil.3, hal.20; Tarikh Dimashq, jil.11, hal.3; al-Wafi bi al-Wafayat, jil.4, hal.238.
  13. Al-Thabaqat, jil.5, hal.144.
  14. Al-Fihrist, hal.144.
  15. Tarikh Baghdad, jil.3, hal.13.
  16. Uyun al-Atsar, jil.1, hal.20.
  17. Siyar al-A’lam, jil.7, hal.117.
  18. A’yan al-Syi’ah, jil.46, hal.171.
  19. Al-Dzari’ah, jil.3, hal.293.
  20. Syarh Nahj al-Balaghah, jil.3, hal.339.
  21. Mu’jam al-Udaba’, jil.18, hal.7.
  22. Tahdzib al-Tahdzib, jil.9, hal.364.
  23. Uyun al-Atsar, jil.1, hal.18.
Syafrudin mbojo

Syafrudin mbojo

Related Posts

PEMERINTAHAN MUAWIYAH DAN PERANNYA DALAM MENDISTORSI AJARAN ISLAM
Sejarah

PEMERINTAHAN MUAWIYAH DAN PERANNYA DALAM MENDISTORSI AJARAN ISLAM

October 10, 2025

Oleh: Sayid Mundzir Hakim Muawiyah dan sekelompok tokoh Bani Umayah yang korup merebut kendali pemerintahan, dan dengan demikian mereka menyempurnakan...

APA PERLUNYA SUNAH NABI SAW JIKA KITA SUDAH MEMILIKI ALQURAN?
Sejarah

Apa Hubungan Manusia Terdahulu Dengan Kaum-Kaum Yang Telah Dikutuk Menjadi Kera Dan Babi, Dan Siapa Saja Kaum-Kaum Yang Telah Dikutuk Tersebut…?

August 26, 2025

Oleh: Syekh Shaleh al-Karbasi Pertanyaan: Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh. Amma ba’du! Saya ingin menyampaikan sedikit teguran kepada Anda...

Nabi Adam as: Kisah Penciptaan, Ujian, dan Warisan Spiritual Bagi Umat Manusia
Sejarah

Nabi Adam as: Kisah Penciptaan, Ujian, dan Warisan Spiritual Bagi Umat Manusia

August 21, 2025

Siapa Nabi Adam as? Nabi Adam as adalah manusia pertama sekaligus bapak seluruh umat manusia. Dalam Islam, beliau disebut Abu...

Sejarah

Protokol Hannibal: Doktrin Gelap Militer Israel

March 5, 2025

Kekejaman dan diskriminasi rasial yang melekat pada aksi militer Israel atas nama keamanan telah lama menjadi sorotan dunia. Namun, tahukah...

Pengaruh Khutbah Imam Sajjad (AS) dalam Mempermalukan Yazid
Sejarah

Pengaruh Khutbah Imam Sajjad (AS) dalam Mempermalukan Yazid

August 8, 2024

  Saat Imam Sajjad (AS) menyampaikan khutbah yang tegas, orang-orang yang hadir di masjid sangat terpengaruh dan terbangkitkan kesadarannya. Khutbah...

Syiah Sebelum Perang Gaza dan Badai Al-Aqsa
Sejarah

Syiah Sebelum Perang Gaza dan Badai Al-Aqsa

August 8, 2024

Saya adalah warga negara Yordania, Fayed Al-Rasheed, seorang Muslim Sunni yang tinggal di Amman. Saya memiliki gelar sarjana dan magister...

Next Post
KHUMUS (SEPERLIMA BAGIAN) ANTARA POLITIK DAN LEGISLASI (HUKUM)

KHUMUS (SEPERLIMA BAGIAN) ANTARA POLITIK DAN LEGISLASI (HUKUM)

Majelis Ziarah Jami‘ah Kabirah ICC: Makna “Masaakina Barakatillah”

Majelis Ziarah Jami‘ah Kabirah ICC: Makna “Masaakina Barakatillah”

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

ICC Jakarta

Jl. Hj. Tutty Alawiyah No. 35, RT.1/RW.7, Pejaten Barat.
Pasar Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12510

Telepon: (021) 7996767
Email: iccjakarta59@gmail.com

Term & Condition

Agenda

[tribe_events_list]

HUBUNGI KAMI

Facebook
Telegram

Jadwal Salat Hari Ini

sumber : falak-abi.id
  • Lintang: -6.1756556° Bujur: 106.8405838°
    Elevasi: 10.22 mdpl
Senin, 26 Desember 2022
Fajr04:23:34   WIB
Sunrise05:38:32   WIB
Dhuhr11:53:01   WIB
Sunset18:07:31   WIB
Maghrib18:23:39   WIB
Midnight23:15:32   WIB
  • Menurut Imam Ali Khamenei, diharuskan berhati-hati dalam hal waktu salat Subuh (tidak berlaku untuk puasa) dengan menambah 6-7 menit setelah waktu diatas

© 2022 ICC - Jakarta

No Result
View All Result
  • Home
  • Profil
    • Sambutan direktur
    • Sejarah Berdiri
  • Kegiatan
    • Berita
    • Galeri
  • Artikel
    • Akhlak
    • Alquran
    • Arsip
    • Dunia Islam
    • Kebudayan
    • Pesan Wali Faqih
    • Press Release
    • Sejarah
  • Hubungi kami

© 2022 ICC - Jakarta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist