Karya: Muhammad Husain Ali al-Shaghir
Syariat Islam telah mengalami kemunduran besar yang setara dengan bencana kemanusiaan, yakni ketika Ahlulbait as disingkirkan dari kepemimpinan umat. Bersamaan dengan itu, fikih mereka juga disingkirkan dari ranah legislasi, dan sebagai gantinya dijadikan rujukan fikih para sahabat dan para tabi’in. Ini berarti bahwa para Imam Ahlulbait as, mulai dari Amirul Mukminin hingga Imam Mahdi as yang ditunggu kedatangannya, telah disingkirkan dari peran mereka dalam menyebarkan peradaban Islam, memberikan fatwa tentang hukum halal dan haram, serta menjunjung tinggi kalimat Allah di muka bumi. Dan inilah yang benar-benar telah terjadi.
Para fakih pun dilarang menyebutkan secara langsung nama para Imam as. Bahkan, terkadang pendapat Ahlulbait as dicampur dengan pendapat lain agar sumbernya tidak diketahui. Kadang pula, nama-nama mereka disamarkan; seperti Amirul Mukminin as disebut dengan “Abu Zainab” atau “al-Syekh”, dan para Imam lainnya disebut “seseorang berkata” atau “al-’alim berkata” dan sejenisnya.
Salah satu kisah menarik adalah tentang Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit (w.150 H), yang ketika ditanya mengenai sebuah masalah fikih, dia berkata, “Aku merasa berat dalam hati karena aku akan menjawabnya dengan pendapat Ali bin Abi Thalib (‘alaihis salam)—semoga Allah menjaganya. Apa yang harus kulakukan?”
Kemudian dia memutuskan untuk jujur kepada si penanya dan memberinya fatwa berdasarkan agama yang dia yakini. Maka dia pun memberi fatwa, lalu berkata, “Bani Umayah tidak mau memberi fatwa dengan pendapat Ali as dan tidak mengambilnya. Bahkan nama Ali pun tidak disebut di kalangan para fakih. Ciri di antara para ulama adalah menyebutnya dengan ‘al-Syekh’.”
Demikian pula keadaan di zaman Abbasiyah. Ini merupakan arah politik yang bertujuan untuk meredam kobaran ilmu dan pemikiran Ahlulbait as. Sebagai gantinya, muncul kepemimpinan fikih yang sebagian besar tidak memiliki ketakwaan, tidak berilmu, dan tidak memiliki latar belakang iman.
Akibat dari pencampuradukan aneh ini, sekelompok orientalis merasa memiliki legitimasi untuk meremehkan warisan Islam. Mereka menuduh Islam sebagai ajaran yang kaku dan tertinggal dari peradaban modern. Mereka melontarkan tuduhan ini dengan atau tanpa kesadaran, seolah-olah mereka buta terhadap konspirasi besar yang dirancang oleh para penguasa politik sesat dalam menghadapi Islam. Mereka tidak mau mengakui hal ini, meski mereka sebenarnya mengetahuinya. Sebaliknya, mereka menyalahkan Islam atas tindakan para raja dan sultan.
Salah satu beban paling berat dalam sejarah resmi adalah bahwa suara kebenaran telah diselewengkan, bukan karena ingin menyampaikan kebenaran, tetapi karena mengeksploitasi nama dan posisi, tanpa menyelami inti kebenaran yang sesungguhnya. Akibatnya, mereka tidak mampu menjangkau makna yang hakiki, dan tidak juga memberikan tempat yang layak bagi para pemiliknya yang sah.
Khalifah Abbasiyah, khususnya Abu Ja’far al-Manshur, memainkan peran penting dalam menciptakan sistem mazhab berdasarkan loyalitas terhadap penguasa. Dia memilih para fakih yang mau sejalan dengan kebijakan politiknya yang kejam—penuh pembunuhan, penghancuran, penumpahan darah, dan penyiksaan terhadap para keturunan Amirul Mukminin as. Penyiksaan itu dilakukan dengan cara-cara kejam, seperti: membunuh satu kelompok atau individu secara perlahan, mengubur mereka hidup-hidup di dalam tembok bangunan hingga mati kelaparan dan kehausan, menjebloskan mereka ke dalam penjara lalu meruntuhkan bangunannya agar mereka mati tertimbun reruntuhan, memenggal kepala lalu menuliskan nama-nama mereka di atas papan, dan mewariskan praktik ini kepada putranya Mahdi serta cucunya Harun Rasyid.
Kami tidak akan memperpanjang pembahasan yang menyedihkan ini ataupun menguraikan secara detail kekejaman yang dilakukan atas nama agama, karena topik ini memiliki tempat tersendiri dalam kajian sejarah.
Yang ingin kami tekankan adalah bahwa Abu Ja’far al-Manshur membuka selebar-lebarnya pintu bagi para wa’izh al-salathin (ulama pengikut penguasa). Maka naiklah ke mimbar-mimbar fatwa orang-orang yang sebenarnya tidak layak secara ilmiah maupun religius. Mereka menafsirkan kitab Allah dengan makna yang tidak diturunkan oleh Allah, menciptakan hadis-hadis palsu untuk membenarkan kekuasaan para zalim, berbicara tentang sunah Nabi berdasarkan hawa nafsu, dan mencampakkan akal sehat.
Mereka memperlakukan syariat hanya dengan pendapat pribadi, tanpa merujuk pada dalil. Mereka lebih memilih istihsan (menyukai sesuatu secara subjektif) daripada istinbath (penggalian hukum dari sumber yang sahih), serta mengedepankan qiyas (analogi) daripada ijtihad yang didasarkan pada dalil dan prinsip-prinsip fikih serta ushul (metodologi fikih).
Para fakih resmi ini menyebar di berbagai negeri dan wilayah kekuasaan, menjalankan kehendak para sultan dan mengeluarkan fatwa sesuai perintah penguasa. Mereka membuat-buat hadis dan mengklaim bahwa itu berasal dari Rasulullah saw, menyusun riwayat-riwayat palsu yang memuliakan para pendahulu khalifah secara dusta, serta menciptakan sunah-sunah yang sebenarnya tidak ada, kecuali hanya sedikit dari mereka yang terhalangi oleh ketakwaan pribadi atau kontrol batin religius untuk tidak terjerumus ke dalam kebatilan dan pelanggaran.
Fenomena ini telah menjadi problem besar dalam sejarah legislatif Islam. Ini bukan masalah politik yang bisa diselesaikan dengan pejabat dan gubernur, bukan pula masalah ekonomi yang bisa diatasi dengan kesejahteraan dan distribusi kekayaan, dan bukan pula masalah militer yang dapat diselesaikan dengan panglima perang dan wajib militer. Melainkan ini adalah masalah agama yang sangat serius, menyangkut agama suci ini, sunah, fikih, legislasi, dan pemberian fatwa kepada umat Islam, serta menyangkut penerapan hukum langit yang telah dipilih oleh Allah untuk umat manusia.
Di sinilah muncul kekosongan mematikan dalam kehidupan syariat yang mengancam dengan bahaya. Kelompok-kelompok penguasa yang ada saat itu tidak mampu mengisi kekosongan nyata ini. Mereka hanya terbagi menjadi para pedagang, gubernur, politisi, pencari dunia, pebisnis, dan rakyat biasa. Sementara yang benar-benar layak untuk memimpin urusan agama—yakni para Imam Ahlulbait as—tidak diberi tempat.
Bagaimanapun juga, umat Islam dihadapkan pada masalah ini tanpa solusi. Para penguasa pun kebingungan, karena mereka harus mencari dan menciptakan seseorang yang dapat memberi fatwa di tengah masyarakat. Upaya menciptakan pengganti bagi kepemimpinan para Imam maksum as sangatlah sulit. Hal ini menimbulkan berbagai polemik, penuh dengan hawa nafsu, sehingga perdebatan menjadi ramai namun tidak menghasilkan apa pun. Akibatnya, umat Islam mengalami kerugian besar dalam memahami ajaran agama.
Manshur Dawaniqi (w.158 H), yang meniru gaya para raja Persia dan mempopulerkan tradisi mencium tanah di hadapannya, mencoba menundukkan para ulama agar menciptakan mazhab-mazhab lain sebagai tandingan Mazhab Ahlulbait as. Namun, usahanya tidak berhasil saat berhadapan dengan Sulaiman bin A’masy, yang tetap teguh meriwayatkan hadis-hadis Ahlulbait as, menyampaikan sabda-sabda Imam Ja’far Shadiq as, serta menyebarkan riwayat dari keturunan Nabi saw. Dalam banyak situasi yang terlalu panjang untuk dijelaskan, ia menolak untuk tunduk. Dan boleh jadi, karena itulah Manshur membunuhnya.
Abu Hanifah berada di posisi tengah-tengah dalam hubungannya dengan Manshur; terkadang dia menuruti perintahnya, dan di lain waktu dia menghindarinya. Dia pun akhirnya diberi minuman madu yang beracun oleh Manshur, dan wafat pada keesokan harinya. Yang benar, dia wafat di dalam penjara Manshur.
Dalam konteks ini, kita tidak bisa mengatakan bahwa Abu Hanifah menentang Manshur, dan tidak pula bisa dikatakan bahwa dia mendukungnya, melainkan dia mengambil jalan tengah. Namun demikian, Manshur tetap mengkhianatinya.
Benar bahwa Manshur berhasil menundukkan Malik bin Anas dan menjadikannya sebagai pelaksana perintahnya dalam segala hal. Dia memanggil dan menghadirkannya, lalu berkata, “Tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang lebih berilmu dariku dan darimu! Namun aku telah disibukkan oleh urusan kekhalifahan, maka buatlah engkau sebuah kitab bagi manusia yang bisa mereka ambil manfaat darinya. Hindarilah keringanan Ibnu Abbas, ketegasan Ibnu Umar, dan susunlah secara sederhana agar mudah bagi manusia.”
Malik berkata, “Demi Allah! Pada hari itu aku belajar cara menyusun kitab.” Maka Malik pun memenuhi permintaan tersebut dan menamai kitabnya dengan al-Muwaththa’, yang menjadi asal mula mazhab Maliki. Manshur pun mensyaratkan kepada Malik agar tidak meriwayatkan sedikit pun dari Imam Ali as, dan Malik benar-benar menjalankan perintah itu secara harfiah. Oleh karena itu, Anda tidak akan menemukan satu pun riwayat dari Amirul Mukminin Imam Ali as dalam al-Muwaththa’.
Al-Manshur pun bertekad untuk memaksakan kitab tersebut kepada kaum muslimin dengan kekuatan, setelah ditulis seperti mushaf. Diriwayatkan oleh Dzahabi bahwa Manshur berkata kepada Malik, “Demi Allah! Jika aku masih hidup, aku akan menuliskan pendapatmu sebagaimana mushaf ditulis, dan aku akan mengirimkannya ke berbagai wilayah dan memaksa mereka untuk mengikutinya.”
Namun dengan segala upaya yang dilakukan oleh Abu Ja’far Manshur ini, dia tidak berhasil menghapus jejak Ahlulbait as, dan tidak mampu menghilangkan pemikiran mazhab Imamiyah (Syiah). Imam Ja’far Shadiq bin Muhammad as (w.148 H) berhasil meneruskan dasar-dasar yang telah dibangun oleh ayahnya, Imam Muhammad Baqir as, dalam memperkuat fondasi madrasah Ahlulbait as yang agung, dan menyebarkan prinsip-prinsip syariat yang murni, meskipun menghadapi tekanan dan pengaruh racun berbahaya dari penguasa.
Dengan demikian, kemurnian Islam kembali bersinar, dan pandangan-pandangan keagamaannya berkembang pesat. Para Imam setelah beliau pun mempersiapkan para pemimpin pemikiran Imamiyah, terdiri dari para fakih, ulama besar, dan ahli ilmu dengan upaya serius dalam menyusun hadis, mengumpulkan dan merapikannya. Dari sinilah lahir gerakan ijtihad di kalangan fuqaha, sesuai dengan dasar-dasar yang ditetapkan oleh Imam Muhammad Baqir dan Imam Jaf’ar Shadiq as, sebagaimana dalam sabda mereka, “Sesungguhnya kewajiban kami adalah menyampaikan pokok-pokok (ajaran), dan kewajiban kalian adalah untuk mengembangkan dan merincinya.”
Dan sabda Imam Ali Ridha bin Musa as, “Kewajiban kami adalah menyampaikan pokok-pokok, dan kewajiban kalian adalah cabang-cabangnya.”
Berdasarkan bimbingan agung ini, para fukaha menjalankan tanggung jawab syar’i mereka dan dengan penuh keikhlasan menampakkan fikih Ahlulbait as yang tersusun dan sistematis di bawah ilmu Hadis. Imam Hasan Askari as pun mendukung inisiatif yang baik ini dan menyatakan dukungannya terhadap para fukaha serta menganjurkan para pengikutnya untuk merujuk kepada fatwa mereka dan mengikuti mereka dalam hal-hal cabang (furu’), dengan sabdanya, “Adapun fukaha yang menjaga dirinya, memelihara agamanya, menentang hawa nafsunya, dan taat kepada perintah Tuhannya, maka rakyat awam boleh mengikuti mereka (taklid).”
Dalam hal ini, imam memberikan empat kriteria seorang fakih yang pantas dijadikan rujukan dalam taklid:
- Menjaga dirinya (wara’),
- Menjaga agamanya,
- Menentang hawa nafsunya,
- Taat kepada perintah Allah Azza wa Jalla.
Dengan demikian, Imam Hasan Askari as telah meneguhkan dasar-dasar mazhab Imamiyah pasca wafatnya dan memasuki masa ghaibah putranya, Imam Mahdi as, dengan dua misi besar:
- Wakil-wakil khusus, di mana beliau memerintahkan umatnya untuk merujuk kepada mereka karena mereka memiliki kepercayaan penuh yang diberikan oleh imam kepada mereka. Imam merujuk para pengikutnya kepada mereka. Dalam hadis dari Ahmad bin Ishaq, Imam Hasan Askari as berkata tentang Usman bin Sa’id dan anaknya, Muhammad, “Al-Amri dan anaknya adalah dua orang terpercaya. Apa yang mereka sampaikan, maka itu dariku; dan apa yang mereka katakan, maka itu adalah perkataanku. Maka dengarkanlah mereka dan taatilah mereka, karena keduanya adalah orang yang terpercaya dan amanah.”
- Marja’iyyah fuqaha (referensi kepada para fakih), yang mengambil bentuk final dan bersifat mutlak, tidak dapat ditolak atau diperdebatkan lagi, sebagaimana telah Anda lihat sebelumnya.
Imam Ja’far bin Muhammad Shadiq as telah meletakkan dasar prinsip ini, dengan mengarahkan kaum Imamiyah melalui sabdanya, “Perhatikan siapa di antara kalian yang meriwayatkan hadis-hadis kami, memahami halal dan haram kami, dan mengenal hukum-hukum kami, maka ridhailah dia sebagai hakim (pemimpin hukum). Sungguh, aku telah menjadikannya hakim atas kalian. Jika dia memutuskan dengan keputusan kami, namun tidak diterima, maka sesungguhnya dia telah meremehkan hukum Allah, dan kami ditolak, dan orang yang menolak kami berarti menolak Allah, dan itu adalah bentuk kemusyrikan.”
Sejak wafatnya wakil keempat Imam Mahdi as, yaitu Ali bin Muhammad al-Samari (w.329 H) dan dimulainya Ghaibah Kubra (Kegaiban Besar) hingga hari ini, para pengikut Ahlulbait as tidak pernah menyimpang dari prinsip ini. Mereka selalu merujuk kepada para fukaha dalam melanjutkan misi keagamaan. Para fukaha Ahlulbait terus melakukan ijtihad dalam menggali hukum-hukum cabang (furu’) berdasarkan Alquran, sunah, ijmak dan akal.
Salah satu tugas besar dalam pelatihan ijtihad secara sistematis dijalankan oleh Syekhul Akbar (Guru Besar), pendiri utama, yaitu Muhammad bin Muhammad bin Nu’man Ukbari Kazhimi Baghdadi, yang dikenal dengan Syekh Mufid (w.413 H). Prinsip ini diperkuat oleh muridnya, Sayid Murtadha Alamul Huda (w.436 H), dan membuahkan hasil yang matang di tangan murid mereka berdua, yaitu Abu Ja’far Muhammad bin Hasan Thusi (w.460 H), yang menyusun kitab agungnya: al-Mabsuth dalam fikih Imamiyah.
Dalam kitab tersebut, ia mengumpulkan seluruh cabang fikih dalam setiap bab dan pasal, serta memberikan fatwa secara menyeluruh. Dengan itu, dia memindahkan ilmu fikih ini dari masa periwayatan teks ke masa fatwa (ijtihad), dari lingkungan riwayat ke lingkungan istinbath (penggalian hukum) dalam sekitar 30 bab fikih. Ini merupakan lompatan besar dan awal peradaban yang diberi taufik dan keberhasilan.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa para fukaha besar setelahnya mengikuti jejaknya dan menapaki metode ijtihadnya. Karena itulah dia dijuluki Syekh Thaifah (Guru Besar Mazhab Syiah), karena dia yang memelopori metode objektif dalam membahas permasalahan besar fikih.
Dan demikianlah marja’iyah (otoritas keagamaan) tertinggi melaksanakan tugasnya dengan amanah dan penuh keikhlasan. Pemilihan serta pengangkatan marja’ tertinggi tidak dikendalikan oleh faktor-faktor politik ataupun kehendak penguasa. Marja’iyah juga tidak berinteraksi dengan pemerintahan duniawi berdasarkan bisikan atau arahan tertentu. Sebaliknya, marja’ tertinggi yang paling berilmu dan paling layak akan terpilih secara alami oleh kalangan ahli yang memiliki keahlian ilmiah. Para ahli inilah yang memiliki keputusan akhir dalam proses pencalonan, dan umat pun menerima keputusan tersebut dengan rasa rida, suka cita, dan penerimaan yang tulus.
Tidak pernah terjadi sekalipun dalam sejarah selama sebelas abad, bahwa musuh-musuh pemikiran Imamiyah atau para penguasa tirani berhasil memaksakan satu marja’. Struktur ini tetap kokoh, stabil, tidak berubah, tidak menyimpang, dan tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.(SM)
Sumber: Surat Kabar Bulanan Shada al-Mahdi as, yang diterbitkan oleh Pusat Studi Khusus tentang Imam Mahdi as, edisi ke-79, tanggal 31 Januari 2016 M.