Guru Besar Pemikiran Islam UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Media Zainul Bahri, tak setuju dengan siapapun dalam umat Islam yang mengklaim dirinya paling otentik lalu mengkafirkan umat Islam lainnya. Jika menengok sejarah Rasulullah saw yang mengajarkan sikap terbuka kepada perbedaan dan sejarah tradisi Islam pascawafatnya Nabi, sikap saling mengkafirkan tidak rasional.
“Tradisi saling menyalahkan, saling membid’ahkan, saling mengkafirkan, sudah tidak bisa (diterima akal sehat), tidak logis,” kata Media ketika berbicara di Webinar ‘Kosmopolitanisme dalam Warisan Risalah Sang Nabi’ yang digelar ICC Jakarta secara virtual, Kamis, 5 Oktober 2023.Mengutip sejarawan Juan Cole, Media mengisahkan bagaimana Rasulullah saw bersikap terbuka kepada perbedaan pandangan dan keyakinan. Bagaimana Muhammad bersentuhan langsung dengan keragaman budaya, etnis, agama di lintas negara sejak remaja dalam rangka berdagang.
Pada masa Nabi hidup, umat Islam bisa merujuk langsung kepada Rasulullah untuk memecahkan suatu masalah. Namun, setelah Nabi wafat, meluasnya umat Islam ke berbagai negeri dan banyaknya masalah baru yang timbul, maka lahirlah beragam cara dalam umat Islam dalam memandang dan memecahkan suatu masalah. “Sehingga tradisi intelektual dalam Islam menjadi beragam,” ujarnya.
Di Indonesia, kata Media, dikenal adanya Islam tradisionalis, Islam modernis, Islam neo-modernis, Wahabi, Syiah, dan lain-lain. “Itu adalah tipologi masyarakat Muslim yang menunjukan bahwa walau Alquran dan Nabinya sama tapi cara pandangan teologinya bisa berbeda,” katanya.
Selain Media Zainul Bahri, ICC Jakarta menghadirkan Dr. Muhsin Labib, MA dari Moderate Institute dan KH. Miftah Fauzi Rakhmat, MA dari Yayasan Muthahhari Bandung. Ketiganya merupakan narasumber webinar yang digelar dalam rangka Maulid Nabi Muhammad saw 1445 Hijriah tahun ini.
Muhsin Labib mengurai dua sisi kelahiran Nabi. Kelahiran antropologis dan kelahiran ontologis. Kelahiran pertama adalah kelahiran Muhammad sebagai manusia dalam proses sejarah. Kelahiran kedua sebagai kelahiran eksitensial Muhammad yang digambarkan sebagai cahaya (Nur Muhammad).
Sementara Miftah Fauzi Rakhmat menjelaskan pengutusan Nabi Muhammad untuk seluruh umat manusa. Bukan seperti nabi-nabi sebelumnya yang diutus kepada umat tertentu saja. Dari sini, Miftah kemudian menjelaskan apakah Nabi itu hanya secara ekslusif dimiliki oleh umat Islam atau lebih luas dari itu.
Sebelum ketiga narasumber mempresentasikan materinya masing-masing, webinar dibuka dengan senandung tilawah Alquran, lagu Indonesia Raya dan kata sambutan dari Direktur ICC Jakarta Dr. Hakimelahi. Webinar yang seharusnya berlansung hanya dua jam harus molor hingga 30 menit lantaran tingginya antusias peserta dalam sesi tanya-jawab.