Dalam rangka memperingati syahadah Sayyidah Fatimah Zahra sa, Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta menggelar majelis duka pada Minggu malam, 2 November 2025. Acara ini dihadiri oleh para jamaah dan sejumlah ustaz, dengan ceramah utama disampaikan oleh Ayatullah Ali Abbasi, Rektor Universitas Internasional Al Mustafa, dan diterjemahkan oleh Ustaz Hafidh Alkaf. Dalam ceramahnya, Ayatullah Ali Abbasi menyampaikan rasa kehormatan dapat hadir di tengah para pecinta Ahlul Bait as, serta menegaskan pentingnya meneladani keagungan Sayyidah Fatimah Zahra sa dan menerapkannya dalam kehidupan masa kini.
Beliau menjelaskan bahwa berdasarkan berbagai riwayat dari kitab hadis Ahlusunnah maupun Syiah, surah Al-Kautsar diturunkan berkenaan dengan Sayyidah Fatimah Zahra sa. Surah ini mengingatkan Rasulullah saw akan nikmat besar dari Allah swt, bahwa melalui keberadaan Sayyidah Zahra sa, dakwah dan hakikat ajaran Rasulullah saw akan terus berlanjut. Allah swt berfirman:
innâ a‘thainâkal-kautsar
Sesungguhnya Kami telah memberimu nikmat yang banyak.
fa shalli lirabbika wan-ḫar
Maka, laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah!
inna syâni’aka huwal-abtar
Sesungguhnya orang yang membencimu, dialah yang terputus (dari rahmat Allah). (Al-Kautsar: 1–3)
Ayatullah Ali Abbasi menerangkan bahwa makna kautsar adalah segala bentuk kebaikan yang banyak, namun melalui ayat terakhir tampak bahwa yang dimaksud adalah sesuatu yang melanjutkan jalan dan dakwah Rasulullah saw. Dengan demikian, Sayyidah Fatimah Zahra sa merupakan simbol keberlanjutan risalah kenabian.
Beliau kemudian menguraikan kondisi masyarakat jahiliyah pada masa Rasulullah saw di mana perempuan tidak dihormati, meskipun keberlangsungan generasi manusia bergantung pada mereka. Al-Qur’an menggambarkan dengan jelas pandangan yang keliru itu melalui firman Allah swt:
wa idzâ busysyira aḫaduhum bil-untsâ dhalla waj-huhû muswaddaw wa huwa kadhîm
(Padahal,) apabila salah seorang dari mereka diberi kabar tentang (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam) dan dia sangat marah (sedih dan malu). (An-Nahl: 58)
yatawarâ minal-qaumi min sû’i mâ busysyira bih, a yumsikuhû ‘alâ hûnin am yadussuhû fit-turâb, alâ sâ’a mâ yaḫkumûn
Dia bersembunyi dari orang banyak karena kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah, alangkah buruk (putusan) yang mereka tetapkan itu! (An-Nahl: 59)
Menurut beliau, inilah keadaan masyarakat jahiliyah yang dicela keras oleh Allah swt melalui lisan Rasulullah saw. Namun, pada masa kini muncul bentuk jahiliyah modern yang tidak kalah buruknya. Mereka yang mengklaim membela hak-hak perempuan justru menjadikan kaum perempuan sebagai objek eksploitasi, baik dalam pemasaran maupun dalam aspek seksual. Hal itu, menurut beliau, merupakan penghinaan terhadap martabat kemanusiaan perempuan dan menimbulkan kerusakan besar dalam tatanan sosial.
Jika di masa jahiliyah lama perempuan dikurung di rumah, maka dalam jahiliyah modern perempuan justru dipisahkan dari keluarga. Akibatnya, banyak anak tumbuh tanpa kehadiran orang tua yang lengkap, yang menunjukkan kehancuran rumah tangga dan ketimpangan nilai yang mereka sebarkan ke masyarakat lain.
Ayatullah Ali Abbasi menegaskan bahwa pandangan Islam berbeda sepenuhnya. Rasulullah saw — yang merupakan ayah Sayyidah Fatimah Zahra sa — menjelaskan kedudukan perempuan yang sejati, menampilkannya secara nyata dalam kehidupan beliau, dan menjadikan Sayyidah Zahra sa sebagai contoh utama. Dalam pandangan Al-Qur’an, laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan dalam kemanusiaan, meski berbeda peran dalam keberlangsungan kehidupan. Allah swt berfirman:
man ‘amila shâliḫam min dzakarin au untsâ wa huwa mu’minun fa lanuḫyiyannahû ḫayâtan thayyibah, wa lanajziyannahum ajrahum bi’aḫsani mâ kânû ya‘malûn
Siapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia seorang mukmin, sungguh, Kami pasti akan berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang selalu mereka kerjakan. (An-Nahl: 97)
Demikian pula dalam surah Al-Ahzab ayat 35, Allah swt menyebutkan dengan rinci kedudukan spiritual laki-laki dan perempuan yang setara di hadapan-Nya:
innal-muslimîna wal-muslimâti wal-mu’minîna wal-mu’minâti wal-qânitîna wal-qânitâti wash-shâdiqîna wash-shâdiqâti wash-shâbirîna wash-shâbirâti wal-khâsyi‘îna wal-khâsyi‘âti wal-mutashaddiqîna wal-mutashaddiqâti wash-shâ’imîna wash-shâ’imâti wal-ḫâfidhîna furûjahum wal-ḫâfidhâti wadz-dzâkirînallâha katsîraw wadz-dzâkirâti a‘addallâhu lahum maghfirataw wa ajran ‘adhîmâ
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, yang mukmin, yang taat, yang benar, yang sabar, yang khusyuk, yang bersedekah, yang berpuasa, yang menjaga kehormatan, dan yang banyak berzikir kepada Allah, untuk mereka Allah telah menyiapkan ampunan dan pahala yang besar. (Al-Ahzab: 35)
Ayatullah Ali Abbasi menekankan bahwa ayat ini menunjukkan keagungan sifat-sifat mulia tanpa pembedaan jenis kelamin. Islam sejak awal telah memberikan perempuan hak kepemilikan, hak pendidikan, hak berpendapat, dan hak untuk berperan dalam masyarakat. Bahkan Rasulullah saw menerima baiat dari perempuan, suatu bentuk pengakuan atas tanggung jawab dan kapasitas mereka dalam kehidupan sosial.
Beliau menambahkan, perempuan dalam Islam dapat menjadi ilmuwan, pedagang, dan pemimpin masyarakat selama menjaga kehormatannya, serta menampilkan nilai dan pemikirannya dengan mulia. Rasulullah saw sendiri telah menunjukkan teladan tertinggi itu melalui pribadi Sayyidah Fatimah Zahra sa, sosok perempuan ideal — ahli ibadah, berilmu, beriman, menjaga kehormatan, dan berani tampil membela kebenaran di tengah masyarakat.
Ayatullah Ali Abbasi menjelaskan bahwa perjuangan Sayyidah Fatimah Zahra sa tidak semata karena urusan pribadi, tetapi karena prinsip imamah dan kepemimpinan. Beliau menanggung penderitaan dan kesulitan demi mempertahankan hak dan keadilan. Jika kepemimpinan berada di tangan orang-orang yang tidak layak, maka masyarakat akan hancur. Sebagai contoh, di masa kini banyak pemimpin dunia yang dengan kesombongannya melakukan kerusakan besar terhadap kemanusiaan.
Sayyidah Fatimah Zahra sa tampil di hadapan kaum laki-laki di masjid dan juga di tengah kaum perempuan untuk menyampaikan peringatan penting ini. Namun, ketika nasihat beliau diabaikan dan kezaliman terus terjadi, beliau diliputi kesedihan mendalam karena menyaksikan kehancuran nilai yang akan datang. Di akhir kehidupannya, Sayyidah Zahra sa mewasiatkan kepada Imam Ali as agar memandikan dan menguburkan beliau di malam hari. Wasiat ini, sebagaimana dijelaskan Ayatullah Ali Abbasi, memiliki makna yang sangat dalam — menjadi simbol penolakan terhadap kezaliman dan penjagaan kemurnian niat demi Allah swt.
Melalui ceramahnya, Ayatullah Ali Abbasi mengajak umat Islam untuk merenungkan kembali makna perjuangan Sayyidah Fatimah Zahra sa dan menjadikannya teladan dalam menghadapi tantangan zaman modern. Beliau menutup dengan penegasan bahwa cahaya keteladanan Sayyidah Zahra sa akan senantiasa menerangi hati para pecinta Ahlul Bait as sepanjang masa.



