Bukan gertak sambal, bukan mulut besar. Iran sudah melancarkan serangan rudal ke pangkalan militer milik negara sekuat Amerika Serikat di barat Baghdad, Irak, hanya beberapa saat sebelum jenazah Qassem Soleimani dimakamkan. Bagi jajaran elite Negeri Mullah sendiri, serangan itu masih belum apa-apa dibandingkan 13 skenario yang dipersiapkan untuk membalas aksi pembunuhan AS atas jenderal kebanggaan mereka itu. Berbeda bagi banyak kalangan media dan pemimpin negara, serangan Iran itu mengejutkan setelah mereka dikejutkan oleh aksi pembunuhan empat hari sebelumnya.
Keterkejutan dunia menyebar luas akibat kecemasan atas, utamanya, Iran yang dimungkinkan akan melakukan pembalasan lebih keras. Dalam sebuah tulisan yang serius dan panjang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menolak eskalasi di Timur Tengah itu akan mengarah ke perang terbuka, kendati ia tampak tidak keberatan bila krisis ini diangkat sebagai dinamika yang paling menegangkan di awal dan mungkin sekali sepanjang tahun ini.
Sambil mencoba menganalisis secara umum faktor-faktor penyebab perang dan mengabaikan upaya mengidentifikasi mana sebab/pelaku dan mana akibat/korban dalam konfrontasi antara AS dan Iran, SBY mendesak agar kedua negara itu menahan diri serta tidak mengambil langkah yang dapat meningkatkan tensi ketegangan di kawasan yang disebut-sebut Henry Kissinger sebagai jantung dunia itu.
Sebelum segala sesuatunya, patut kiranya disampaikan hormat dan kagum atas keseriusan serta itikad SBY yang masih fokus mengamati situasi dunia dalam bentuk tulisan yang serius dan panjang, sesuatu yang akan amat sulit dinantikan dari orang setingkat statusnya.
Tuntutan politik detente SBY itu sesungguhnya lebih tajam mengarah kepada pemerintah Indonesia, sebelum diarahkan ke pemimpin lain. Sejauh ini, hanya ada empat opsi untuk merespon pembunuhan jenderal senior Iran oleh AS itu: mengecam, berbelasungkawa, mendesak agar menahan diri, atau diam (SBY menyebutnya ‘abstain’). SBY menuntut agar para pemimpin dunia tidak memilih opsi keempat, melainkan terlibat aktif dan tidak melakukan pembiaran atas situasi yang, dalam bahasanya, akan mengarah pada tragedi kemanusiaan yang juga besar.
Berusaha objektif, berimbang dan mengambil posisi adil di tengah medan ketegangan dua negara yang sama-sama dianggap ‘sahabat’ bagi Indonesia tentu tidaklah mudah. Upaya ini terakomodasi dalam opsi ketiga. Opsi ini pula yang juga ditempuh pemerintah. Sejumlah media nasional menyoroti desakan kemenlu RI agar semua pihak untuk menahan diri, desakan yang tampak bijak dan proporsional.
Tidak banyak terungkap, alasan apa saja yang bisa disimak dari pemerintah dalam mengambil sikap. Tetapi, cukup banyak argumen dan pertimbangan yang dikalkulasi SBY untuk mengajukan opsi ketiga sebagai pilihan ‘win-win solution’ kepada AS dan Iran. Tentu saja, tidak sedikit catatan kritis yang bisa dikemukakan sebagai perimbangan.
Terlepas dari kekuatirannya yang besar atas miskalkukasi (terjadi perang) yang merasuki berbagai lapisan opini publik dan lini media, ada satu kata kunci yang muncul tiga-empat kali, namun lantas tenggelam, di sepanjang tulisan SBY: KEADILAN. Artikulasi kata ini lantas hilang ditindih oleh kata kunci lain: DAMAI.
Dalam teknik elementer logika bab relasi antara dua konsep, kita mengenal ada empat model relasi (nisab arba’ah). Ketika dibuatkan relasinya, konsep ‘damai’ dan ‘keadilan’ termasuk ke dalam model relasi di mana kedua konsep yang sangat mulia itu ini tidak selalunya bersamaan; tidak setiap adil berarti damai, dan tidak setiap damai itu adil. Tentu saja, kita juga mengenal ada situasi di mana keadilan bisa tegak bersama kedamaian.
Dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia, kemerdekaan bangsa ini diraih dan tegak tidak semata-mata cinta dan cita-cita perdamaian, melainkan terlebih dahulu digagas dan dipertahankan dengan kesadaran akan keadilan. Di bawah naungan dan dalam kerangka keadilan ini, upaya perdamaian itu sah dan rasional. Tanpa keadilan, perdamaian jadi obsesi sesaat, dicurigai dan rentan digugat seperti kelahiran jabang bayi tanpa pertanggungjawaban ayah.
SBY tampaknya masih sama seperti sejumlah pemimpin yang tulus menyerukan dan memperjuangkan ideologi perdamaian dalam penyelesaian kasus Palestina-Israel dengan berlindung di balik narasi KONFLIK. Ideologi dan narasi ini diangkut, diais dan dibongkar oleh mereka untuk dibangun kesekian kalinya dan, kali ini, narasi itu pula yang dipakai dalam mendudukkan serta memikirkan penyelesaian krisis mutakhir AS-Iran.
Karena itu, wajar bila SBY lantas menempatkan dua negara itu secara sejajar dan sepragmatis mungkin, meskipun tampak tidak wajar bila ia menyadari akar permusuhan mereka yang sangat dalam. Namun, pada saat yang sama, ia membandingkan catatan permusuhan itu dan berhenti di kedangkalan angka 52, yakni kasus penyanderaan 444 warga AS oleh Iran tahun 1980. Ini tentu mengecewakan Iran.
Lihatlah, tanpa perlu menunggu atau mempedulikan narasi “aksi teror” dan “terorisme”, semua media dan retorika dunia menarasikan serangan militer AS atas Qassem Solaemani sebagai assasination, pembunuhan langsung dan terencana. Narasi yang paling populer ini saja sudah hilang dalam pemetaan krisis SBY.
Dalam tulisannya, SBY secara tegas mendesak agar Iran dan AS untuk berpikir “out of the box”. Ironisnya, ia secara tidak sadar sedang berada dalam box itu sendiri, box yang dirancang dan masih diisi oleh dunia, yaitu kotak ideologi “perdamaian” dan narasi “konflik”. Dalam framing konflik, kedua belah pihak diasumsikan sama-sama bermasalah yang lantas perlu ada KOMPROMI untuk menciptakan perdamaian.
Jika paket “konflik-kompromi-damai” ini serius dirasionalisasikan dan diajukan, akan tampak bijak bila SBY sendiri melangkah untuk lebih dahulu berpikir “out of the box”, yaitu dengan cara menggunkan ideologi KEADILAN dan narasi KETERTINDASAN. Paket inilah yang sepatutnya jadi titik tolak pertimbangan dan fokus harapan sehingga proses kompromi dan cita-cita perdamaian bermakna sesuai dengan suara hati kemanusiaan. Bersama SBY, kita juga suarakan politik agar juga berangkat dari kehendak para pemimpinnya, yakni menghendaki keadilan untuk perdamaian.
Ideologi keadilan ini sudah sepatutnya jadi pijakan utama dalam berpikir dan berpendapat sebagai ekspresi konsistensi kesetiaan kepada dasar negara. Jiwa setiap manusia Indonesia dihidupkan dengan Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Terutama di alenia pertama pembukaan UUD 45, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Sekali lagi, perikemanusiaan dan perikeadilan.
Belasan rudal balistik produk dalam negeri Iran kemarin malam bukan hanya simbol salvo kehormatan untuk pemakaman Qassem Solaemani, melainkan jawaban untuk semua spekulasi dan kepastian atas miskalkukasi opsi dan seruan senada SBY. Miskalkulasi ini kian ditonjolkan kelemahannya oleh reaksi lunak Trump. Keinginan untuk berunding dengan Iran dalam pidatonya hari ini seolah meluncur dari jiwa inferior setelah sebelumnya tampil gagah dan bangga.
Seperti janji Plato kepada generasi manusia di muka bumi, keadilan akan menjadi isu abadi kemanusiaan. Setiap bangsa akan mencintai dan tak kenal lelah menuntut keadilan. Perdamaian dan kompromi bisa saja dicapai oleh kebodohan, kekerdilan, ketakutan, dan pengabaian fakta. Akan tetapi, keadilan hanya bisa diperjuangkan oleh kesadaran, kejujuran, dan keberanian dalam berpendapat, bersikap, dan bertindak. Oleh keadilan pula nilai setiap orang, kita semua, di dalam ataupun di luar peta krisis, sedang dan akan terus diuji. []
Oleh Ammar Fauzi. PhD, Peneliti Indonesia Center for Middle East Studies (ICMES), Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra
Sumber: Liputan Islam