Ditulis oleh Afifah Ahmad
ICC Jakarta – Rudkhan Castle, benteng tua dikitari pepohonan rindang terpancang di hadapanku. Sebuah perpaduan menawan antara bangunan perkasa dan hutan nan lebat, sungguh menyita perhatian siapapun yang memandangnya. Berbulan lamanya, gambar benteng ini hanya sempat kukagumi di sebuah kalender meja. “Ah, seandainya aku bisa menjejakkan kaki di sana” Begitulah yang terbersit di benakku saat itu.
Sangkala pun bergulir, bulan demi bulan terlewati seiring bergantinya kalender di atas meja. Harapan untuk mengunjungi Rudkhan Castle pun tercapai pada pertengahan April 2011. Pada Ahad pagi yang teduh, mobil tumpangan kami bergerak melintasi jalanan kecil beraspal menuju gerbang hutan Rudkhan yang terletak di kota kecil Foman, sekitar 35 km dari Rasht, ibu kota propinsi Gilan. Di kedua tepi jalan, terbentang lahan pertanian padi, perkampungan sederhana dilatari bukit-bukit dengan pepohonan rindang. Sebuah panorama yang mengingatkanku pada kampung halaman nun jauh di sana, Indonesia. Iklim serta alam di wilayah Iran Utara memang memiliki kemiripin dengan negara-negara Asia Tenggara.
***
Rasanya tak percaya, saat kakiku berhasil menjejak tangga-tangga terakhir dari 935 tangga yang terpancang ke atas bukit, tempat benteng Rudkhan berdiri kokoh. Masyarakat setempat menjulukinya dengan Ghaleh Hezar Peleh atau benteng seribu tangga, lantaran untuk sampai ke puncang benteng, pengunjung harus menempuh kurang lebih seribu tangga. Tadinya, kukira seribu itu hanya sekedar istilah hiperbolis yang biasa digunakan orang Iran, ternyata memang benar benar mendekati angka seribu.
Di pertengahan jalan tadi, hampir saja aku bermaksud menyudahi rute dan kembali ke bawah, karena medan lintasan terasa semakin berat. Selain tangga-tangganya yang curam, di salah satu tepinya tersaji jurang menganga. Kakiku bergetar menyangga badan yang kian melemah, sementara kepala terasa berputar menatap pepohonan yang makin mengecil di bawah sana. Tapi, keinginan kuat menyaksikan langsung Rudkhan Castle mengalahkan segala keletihan.
Barangkali, begitu juga perjalanan hidup manusia. Tidak jarang kita berada di persimpangan setelah melewati keletihan yang sangat. Rasanya kita tak sanggup untuk menanjaki undakan jalan kehidupan di depan sana, masalah kian berat dan melelahkan. Ada kalanya, kita ingin menyerah dan kembali ke titik nol demi menghindar dari segala kerja keras. Tapi, alangkah bahaginya saat kita bisa melewati berbagai aral yang melintang dengan mengoptinmalkan potensi diri. Itulah diantara pelajaran yang kucatat saat tiba di pintu gerbang Rudkhan.
“Khus Omadid..! Khastena Bashid,” (selamat datang! Semoga engkau tidak lelah!) sapa seorang lelaki yang usianya menapak senja, yang menyambut kami di pintu gerbang.
“Kheili mamnun,” jawabku masih dengan nafas yang tersengal-sengal
“Silahkan mampir ke ruangan saya di atas! Saya akan membuatkan teh hangat untuk Anda,” kata lelaki itu.
Kelelahan yang sangat, membuatku tak berpikir ulang apakah tawaran ini sungguhan ataukah sekedar basa basi ala Iranian. Tapi, ketulusan yang kubaca dari matanya membuat kami bersemangat memenuhi undangannya. Tidak setiap pengunjung mendapat undangan minum teh. Barangkali, karena mereka melihat kami datang dari tempat jauh dan membawa anak, nasib baik ini menghampiri kami.
Ruangan itu cukup mungil, hanya terdapat dipan sederhana, perlengkapan dapur ala kadarnya dan tungku api. Mehdi yang kelelahan segera merebahkan badannya di atas dipan. Sementara Pak Mas’udi, nama penjaga sekaligus pemandu kompleks Rudkhan Castle itu, mengajak kami berbincang sambil sesekali memperhatikan air rebusan di atas tungku api.
Adalah kebahagiaan tak terkira mendapat undangan mampir ke ruangan mungil, tempat Pak Mas’udi beristirahat di sela-sela tugasnya. Ia tak hanya menyuguhkan teh lokal yang lezat, juga mendedah segala hal berkaitan dengan sejarah benteng Rudkhan. “Benteng ini diperkirakan sudah ada sejak jaman Sasanid, tapi direnovasi kembali pada masa Saljuk oleh Raja Hisamuddin,” tuturnya membuka perbincangan.
Dari berbagai sumber yang kubaca, memang belum ada bukti peninggalan kuat yang mengungkap kapan pertama kali benteng Rudkhan berdiri. Satu-satunya prasasti yang ditemukan di sekitar area adalah sepotong batu yang kini sudah dipindah ke musium Antropologi Rasht. Prasasti itu memuat catatan bahwa pada masa Hisamuddin, sekitar abad ke 10-11, benteng Rudkhan mengalami pemugaran. Dari batu pondasi yang digunakanlah, para arkeolog menduga bangunan ini kembali ke masa dinasti Sasanid, 224-651 tahun sebelum masehi.
Lebih jauh Pak Mas’udi menjelaskan, benteng ini terdiri dari tiga bagian. Sebelah Timur, digunakan sebagai pusat pertahanan. Sedangkan di bagian Barat, menjadi tempat kediaman anggota kerajaan, karena terletak di lokasi paling tinggi. Di sana juga, terdapat Ab Anbari atau penyimpanan air raksasa. Sedangkan bagian tengah terdiri dari gerbang utama dan pelataran.
Perbincangan masih terus berlangsung antara suami dengan lelaki sepuh tadi, sementara pandanganku mulai terbagi pada jendela melengkung yang berada tepat di hadapanku. Dari luar tampak panorama memesona, pepohonan berjajar tumbuh dari seberang bukit, anak tangga yang meliuk dan bagian Barat kompleks benteng Rudkhan. Kubayangkan bangunan yang memiliki luas 22.300 meter persegi dengan ketinggian antara 5-12 meter ini, pada masanya tentulah benteng yang cukup kokoh.
Masih sulit kubayangkan, di tengah hutan lebat dan di puncak perbukitan, terdapat bangunan yang kokoh dan megah. Bagaimana cara mendatangkan jutaan batu bata itu, padahal tentu saja jalan yang dulu dilalui tidak seperti hari ini. Ingatanku melompat pada keterangan penduduk setempat “Dahulu, puluhan ribu prajurit berjajar membawa batu bata ke gunung secara estafet,” katanya penuh semangat. Keperkasaan Rudkhan memang seolah ingin berpesan, tak ada yang tak mungkin dengan kerja keras dan kebersamaan.
Etos kerja keras yang juga kujumpai hari ini pada Pak Mas’udi. Di usianya yang sedemikian senja, masih mengisi hari-harinya dengan penuh semangat. Rumah Pak Mas’udi sendiri berada di kaki bukit Rudkhan, di petang hari ia akan turun ke bawah dan kembali ke atas pada pagi harinya. Tentu, melewati seribu tangga sama yang tadi membuatku begitu tersiksa. Bila dua kali pulang pergi dalam sehari, berarti ia harus menaiki dan menuruni sebanyak 4000 tangga sehari. “Wow…sungguh luar biasa!”
Cerita Pak Mas’udi membuatku kembali terpekur, keberhasilan yang baru saja kurayakan dengan penuh suka cita di depan gerbang tadi, belumlah seberapa dibandingkan kehebatan lelaki senja ini. “Di atas langit, masih ada langit yang lain,” begitulah pepatah lama mengingatkan, jangan terlampau berbangga dengan keberhasilan yang kita raih. Kesuksesan hanyalah satu pijakan untuk mencapai keberhasilan lainnya.
***
Setelah menikmati suguhan teh panas dan suntikan semangat, keletihan yang kurasakan mulai berkurang. Perlahan mulai kusisir beberapa bagian ruangan benteng. Pada setiap bangunan, hampir kutemukan lengkung jendela setengah lingkaran, tentulah ini tempat para prajurit berjaga-jaga dengan kecemasan. Dahulu, suara ringkikan kuda dan benturan pedang, mungkin sudah sangat sering meramaikan suasana di bawah gerbang Rudkhan sana. Tapi yang kujumpai hari ini hanyalah kesenyapan, sesekali nyanyian satwa rimba terdengar lirih. Dan ribuan barisan prajurit seperti tergantikan oleh barisan pepohonan yang tumbuh di seberang bukit, dihiasi daun-daun hijau muda yang baru saja terkena sentuhan musim semi. Tak kalah indah dengan suasana di tepi hutan yang baru kulalui. Suara gemercik air di sepanjang aliran sungai, pepohonan rindang, nyanyian burung, jembatan tua juga batu-batu raksasa yang ditumbuhi lumut, sungguh mengesankan.
Lebih dari itu, yang juga menggetarkanku adalah pelajaran tekad dan kesungguhan dari sekolah kehidupan bersama seorang guru yang mungkin tak pernah tercatat dalam daftar pengajar. Terima kasih untuk hari yang menginspirasi ini, Pak Mas’udi, lelaki senja di Rudkhan Castle…
Tulisan ini telah terbit pada majalah fitrah 2011 Edisi bulan Juni