Oleh: Fardiana Fikria Qurany
ICC Jakarta -Secara sadar kita mesti mengakui bahwa di antara kita ada yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan dan tidak ada jenis kelamin ketiga. Pembagian ini lazim disebut sebagai seks. Sehingga “seks” tidaklah berkonotasi negatif sebagaimana sering kita dengar dalam percakapan sehari-hari. Mengenali seorang perempuan dengan anatomi biologis tertentu dan laki-laki dengan anatomi biologis tertentu yang berbeda dengan perempuan tidaklah butuh perdebatan panjang. Cukuplah kita lihat dengan cermat alat kelamin dan beberapa bentuk tubuh kita cukuplah kita sadar siapakah kita.
Kesederhanaan soal kelamin (seks) di atas, ternyata menjadi rumit begitu mulai ditafsirkan dan dikonstruksi. Artinya, tubuh lelaki dan perempuan tak hanya soal biologis. Tapi ia adalah “tubuh sosial” yang dianggap sebagai simbol dan memiliki makna tertentu. Anggapan ini perlu ditelusuri apakah sekadar anggapan, atau ada yang tersembunyi di balik layar anggapan tersebut?
Dalam perspektif sosiologis-antropologis, manusia terlebih dahulu dinilai berdasar tindakannya, yang mengindikasikan dia membangun hubungan dengan selain dirinya. Hubungan yang dia bangun tentu selain dia mesti terlibat dalam sebuah hubungan namun juga memberi makna dan tujuan dari adanya sebuah hubungan. Contoh sederhana bagaimana kita mesti membangun hubungan adalah saat kita lapar. Saat kita merasa lapar, tentu saja akal kita menginfokan bahwa kita bisa memenuhi hasrat perut kita dengan melakukan hubungan dengan alam: kita harus makan. Demikian membuktikan bahwa hasrat kita memerintahkan kita berhubungan dengan entitas di luar diri kita. Secara rasional-ilmiah barangkali kita dapat berkata bahwa “makanan hanyalah sarana kita memenuhi kebutuhan jasad kita”. Namun begitu aspek spiritual kita berkata, ungkapan yang hadir adalah bahwa “makanan adalah bukti rahmat Tuhan kepada kita”. Pada tataran rasional-ilmiah makanan menjadi subyek yang memenuhi hasrat kita, tapi pada ranah spiritualitas justru Rahmat Tuhan-lah sebagi subyek yang termediasi dalam hubungan jasadiah kita.
Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa persepsi, imaji, dan konstruksi atas realitas dibangun berdasar sebuah hubungan. Kurang lebih berikut pula konstruksi mengenai lelaki dan perempuan. Keduanya ter(di)konstruksi sedemikian rupa berdasar cara mereka berhubungan. Mula-mula lelaki merasa secara fisiknya lebih kuat dari perempuan, maka ia mengidentifikasi dirinya sebagai lelaki lebih kuat dari perempuan. Perlahan anggapan tersebut menjadi dominan dan bereproduksi dalam turun-temurunnya adat dan sejarah manusia. Tidak berhenti di situ, penilaian (konstruksi) lekaki sebagai “yang kuat” melebar maknanya dari sekedar tubuh, tapi juga mental. Sehingga begitu terafirmasi dalam kehidupan masyarakat muncullah hukum tak tertulis bahwa dunia di luar rumah, yang begitu keras, penuh tantangan perlu dihadapi dengan sosok yang kuat tubuh dan mentalnya. Dan ia adalah kaum laki-laki. Sementara perempuan cukup berada di dalam rumah yang tak mengharuskanya berhadapan dengan kerasnya hidup di luar rumah. Dan tentu saja, dengan demikian konstruksi hak atas laki-laki berbeda dengan perempuan.
Begitu mudah sebuah persepsi berpindah dari domain yang satu pada domain yang lain. Seakan nampak begitu logis dan natural. Tapi mari kita urai kembali sejauh mana konstruksi tersebut layak diterima. Memang “pada umumnya” tubuh laki-laki memiliki tenaga yang lebih kuat dari perempuan, tapi ini sebuah perbandingan: yakni bisa dibenarkan sejauh sebanding. Namun untuk membenarkannya, akan berapa lelaki dan perempuan yang mesti kita bandingkan di dunia ini? Sebelum kita menetapkannya dalam proposisi universal!! Kalaulah di antara keduanya memang lebih kuat dari yang lain, apakah ini sebuah bukti bahwa kekuatan (fisik) adalah “yang terbaik?”, apakah problem dunia semata-mata dapat diselesaikan dengan kekuatan fisik? Hampir pasti dapat kita katakan tidak!
Secara kognitif pun demikian. Bagaimana dengan pengukurannya? Begitu banyak perempuan yang tampil sebagai ilmuan, filosof, teknisi, dan tak kalah dengan laki-laki. Apakah soal mental, dimana lelaki adalah sosok pemberani? Tampaknya tak dapat disangkal pun begitu banyak perempuan yang memiliki keberanian lebih dari seorang lelaki. Kadang seorang perempuan berani bertaruh demi nyawa demi anak yang dikandungnya, atau hidup sendiri demi bisa mendidik anaknya tanpa tangan lelaki. Tidak sedikit pilihan-pilihan berat dan tak terkata diambil oleh perempuan dalam hidupnya.
Kosmologi Perempuan: Melihat Perempuan Sebagai Jiwa
Dengan demikian, Perempuan dan laki-laki tak memiliki perbedaan signifikan dalam soal kekuatan fisik, kognisi, dan mentalitas. Namun betapapun, manusia adalah makhluk yang tak sempurna pada dirinya. Ketaksempurnaannya menjadikannya selalu ingin membangun ikatan dengan selainnya. Ikatan yang dibangun semata untuk saling menyempurna (sebagaimana suara jiwa yang selalu menginginkan kesempurnaan). Mengapa demikian? Karena sang pemilik Jiwa adalah Yang Maha Sempurna, sementara sang jiwa adalah “Tiupan” dari RohNya. Yang hendak dituju oleh setiap jiwa adalah pemiliknya, Yang Maha Sempurna. Namun kesempurnaan tersebut tak serta merta kembali begitu saja pada Yang Maha Sempurna. Namun ia harus terlibat dalam dunia dimana dia hidup: materi.
Perempuan dan laki-laki keduanya memiliki jiwa. Maka keduanya mesti akan merasa ingin saling bersandar dan terikat untuk tercapainya kesempurnaan. Namun sebagaimana alam, ada yang memberi pun ada yang menerima. Perempuan merepresentasikan jiwa yang tunduk akan kebenaran dan cinta, Karena Tuhan maha benar dan maha Cinta. Sementara laki-laki merepresentasikan tindakan aktif jiwa untuk mengaktualisasikan kebenaran dan cinta, sebagaimana Tuhan memberi (mengaktualisasikan kebenaran dan cinta pada jiwa manusia). Keduanya hidup di alam, yang berarti memiliki tanggung jawab memanifestasikan potensi jiwa tersebut.
Kadang perempuan terlihat lemah saat bersabar atas tindakan suaminya yang menyakiti hatinya, tapi pahamilah dia bukan lemah, tapi dia manusia yang kuat mempertahankan kesetiaan. Karena nalurinya adalah sang Jiwa yang tunduk pada cinta. Namun jika dia tak jua diperlakukan adil, suatu ketika jiwanya yang tunduk, menjadi aktif menggelorakan keadilan. Lelaki dengan instingnya untuk menciptakan atau bahkan mengubah dunia, tidak akan pernah dapat terus menerus mengencang tanpa sentuhan ruhani yang mengukuhkan perjuangannya. Saat jiwa mulai lemah dan letih berhadapan dengan kerasnya hidup, ada jiwa yang lain yang hadir untuk menguatkannya kembali. Jiwa feminin dengan ketundukan, kelembutan, dan kesetiaannya, serta Jiwa maskulin yang selalu ingin memberi dan mengubah dunia, keduanya saling ingin bersandar. Keduanya saling ingin bersandar karena hanya Tuhan yang tak butuh sandaran.
Hubungan Gender dalam kosmologi Islam menilai terdapat kesetaraan laki-laki dan perempuan, dan dengan tetap memandangnya berbeda. Namun perbedaan tersebut agar satu sama lain terikat dan menyempurna, dan bukan ditujukan guna menegasi atau bahkan menginferiorkan yang lain. Laki-laki dan perempuan keduanya adalah manifestasi keagungan dan keindahan Tuhan. Maka sistem sosial yang mampu mendudukkan keduanya tiada lain adalah sistem sosial kosmologis, di mana ideologinya berlandas pada Tauhid.
Melihat sistem Filsafat Islam yang memberi landasan integratif kesatuan semesta, mengindikasikan bahwa Tuhan, Alam, dan Manusia terikat dalam satu hubungan (tasykikul wujud-gradasi wujud) di mana Tuhan berhubungan dengan alam melalui Jiwa manusia. Karena manusia diberikan amanah kekhalifahan atas dunia. Adalah Jiwa yang feminin yang menerima dengan tunduk dan ikhlas atas segala titah Tuhan (Taslim, Islam), Jiwa yang feminin adalah jiwa yang menyaksikan Tuhannya. Jiwa yang femini mendapati tubuh yang juga feminin: demikianlah PEREMPUAN hadir di dunia ini. Dirinya adalah cermin keindahan Tuhan. Cara Tuhan mewakilkan keindahan diriNya. Tuhan begitu berkuasa, maskulin—dalam kitab suci disebut “Huwa”, (dia-maskulin) seperti “huwallahu”, “huwalladzi la ilaha illahu”, dan redaksi “huwa” lainnya—dan jiwa siap menerima lamaran kuasa dan maskulinitas Tuhan. Jiwa menjadi indah karena keindahan Tuhan (yang bertajalli), Keindahannya bisa menjadi kekuatan tersendiri dimana kekuatan yang lain (maskulinitas) bisa takluk bi bawah sinar keindahannya. Keindahannya adalah manisfestasi dari keindahanNya.
Keindahan ini harus dijaga kesuciannya, karena ia pusat keseimbangan alam. Ada Jiwa Tuhan di alam melalui jiwa Manusia. Jiwa tak sekedar menerima, namun ia akan berhubungan dengan alam, melalui tindakan. Tindakan untuk meletakkan sistem keseimbangan agar alam ini berfungsi dengan baik memenuhi kebutuhan manusia yang berjiwa. Namun memutus pertalian kosmik jiwa dan Tubuh, hanya akan menjebak kemanusiaan pada tubuh belaka, tak puas dengan satu tubuh berpindah pada tubuh yang lain. Eksploitasi alam atas kepentingan tubuh.
Jiwa manusia yang feminin menjelma dalam tubuh perempuan. Demikian lelakipun memiliki feminitas tersebut, itu sebabnya lelaki selalu merindukan realitas jiwanya, dan itu ada pada sosok perempuan. Begitu pula perempuan ia ingin terjaga jiwanya, maka ia membutuhkan maskulinitas guna melindungi kesuciannya, dan itu ada pada sosok lelaki. Keduanya saling merindu oleh karena Jiwa yang Ruh Tuhan bersemedi di dalamnya. Perkawinan antara dua anak manusia bernilai kosmik di hadapan Tuhan, sehingga dalam satu tubuh hadir sakinah, mawaddah dan Rahmat. Kosmik bernilai abadi, maka ikatan cinta dengan pertalian kosmik akan bersifat abadi pula. Namun tubuh bernilai temporal, dan cinta yang hanya diikat pada nafsu jasadi tak akan menunggu lama untuk hancur.
Inilah Kosmologi Perempuan, pusat keseimbangan alam, pembawa Cinta Ilahi. Keagungan dan keindahan Ilahi tersirat pada dirinya.
ikmalonline