ICC Jakarta – Pada masa Rasulullah saw tentu tidak ada kebutuhan yang sedemikian mendesak untuk melakukan ijtihad karena hukum dan pemahaman dapat diserap secara langsung dari beliau. Bisa jadi ada sahabat yang berijtihad3, tapi kemudian mendapat pengukuhan dari Rasulullah saw. Perselisihan pendapat yang ada saat itu bersifat sederhana, dan ketika wilayah Islam meluas turunlah ayat al-Nafar yang menegaskan soal realitas umat, menetapkan asas ijtihad dan memvalidasi berita dari satu narasumber (khabar wahid).
Allah Swt berfirman,
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya4
Secara alamiah, kebutuhan kepada ijtihad meningkat sepeninggal Rasulullah saw, dan lambat laun kian mendesak di era generasi tabiin, namun ketika itupun belum muncul mazhab-mazhab dalam bentuk aliran pemahaman yang jelas dan khas kecuali setelah era tabiin. Menurut Ustaz Sayyas, Dunia Islam baru menyaksikan adanya berbagai aliran pemahaman dan mazhab fikih sejak awal-awal abad ke-2, dan bahkan hingga pertengahan abad ke-4 sudah ada 138 mazhab di mana sebagian besar negeri-negeri Islam memiliki mazhab sendiri.5 Sedangkan menurut Ustaz Asad Haidar, saat itu sudah ada lebih dari 50 mazhab.6 Mazhab-mazhab yang muncul pascagenerasi tabiin itu, menurut sebagian ulama, sebagian di antaranya adalah mazhab-mazhab perseorangan yang belum dipaparkan oleh para pengikut masing-masing orang sehingga sebagian akhirnya punah dengan punahnya para pengikut, sedangkan sebagian lain adalah mazhab kolektif yang kemudian matang setelah disusun menjadi sebuah paket pemahaman dan terus dikembangkan oleh para pendiri mazhab dan para pengikut mereka.7
Adapun mazhab-mazhab yang telah punah antara lain ialah sebagai berikut.
1. Mazhab Hasan al-Bishri (23 – 110 H)
2. Mazhab Ibnu Abi Laili (74 – 148 H)
3. Mazhab Auza’i (88 – 157 H)
4. Mazhab Sufyan Tsauri (97 – 161 H)
5. Mazhab Laits bin Sa’ad (w. 175 H)
6. Mazhab Ibrahim bin Khalid al-Kalabi (w. 240 H)
7. Mazhab Ibnu Hazm Dawud bin Ali al-Asbahani al-Zhahiri (202 – 240 H)
8. Mazhab Muhammad bin Jarir al-Thabari (224 – 310 H)
9. Mazhab Sulaiman bin Mihran al-A’masy (w. 148 H)
10. Mazhab Amir bin Syarjil al-Sya’bi (w. 105 H)
Sedangkan mazhab-mazhab yang masih eksis hingga sekarang ialah sebagai berikut.
1. Mazhab Imamiyah Itsna Asyariyah. Pandangan mazhab ini dikembangkan oleh Imam Muhammad Baqir as dan Imam Ja`far Shadiq as yang berasal dari garis Ahlulbait as
2. Mazhab Zaidiyah
3. Mazhab Hanafi
4. Mazhab Syafi’i
5. Mazhab Maliki
6. Mazhab Hambali
7. Mazhab Ibadhi
Di sini kita tidak bermaksud membahas sebab-sebab kemunculan maupun sebab-sebab kepunahan ataupun perkembangan mazhab-mazhab tersebut, yang semuanya tidak lepas dari faktor-faktor ilmiah sebagaimana disebutkan oleh para ulama ketika membahas faktor-faktor terjadinya ikhtilaf. Ibnu Rusyd8, misalnya, menyebutkan faktor yang berkenaan dengan revisi premis-premis mayor validitas makna harfiah, atau validitas qiyas. Sedangkan Sayid Hakim menambahkan faktor perselisihan pendapat di bidang ushul dan dasar-dasar istimbat. Kita sendiri mungkin dapat menambahkan faktor perbedaan dalam metode argumentasi (istidlal) dan tahapan-tahapannya.
Sebagai tambahan lagi untuk faktor-faktor objektif ini kita dapat membayangkan adanya faktor-faktor pemahaman diri, misalnya berkenaan dengan seberapa luas pengetahuan diri, serta faktor-faktor psikologis dan pribadi, misalnya berkenaan dengan sejauhmana daya analisis pikiran seseorang. Faktor-faktor politik, sejarah, interes, sosial dan lain sebagainya tentu juga tidak dapat dikesampingkan. Hanya saja, hal yang lebih penting dari semua itu dalam pembahasan kita ini ialah mengemukakan beberapa poin sebagai berikut.
Pertama, kemunculan berbagai mazhab merupakan manifestasi dari perkembangan intelektual Islam yang di satu sisi adalah dalam rangka menutupi kevakuman yang terjadi akibat ketiadaan Rasulullah saw serta keterhentian wahyu, dan di sisi lain juga karena menanjaknya tingkat kebutuhan, banyaknya peristiwa dan kompleksitas komunitas. Bisa jadi pula, untuk sisi ketiga, kemunculan aneka mazhab itu juga sebagai akibat akumulasi ilmu-ilmu fikih dan terbukanya banyak peluang. Dengan demikian, kemunculan banyak mazhab itu merupakan fenomena yang wajar, sah dan beradab.
Kedua, heterogenitas mazhab alih-alih nista justru merupakan satu kekayaan intelektual bagi peradaban Islam, yang memungkinkan bagi pemimpin pemerintahan Islam—sebagai sosok muslim—untuk memberikan ikhtiar yang lebih optimal di bidang penerapan syariat dalam kehidupan pribadi –khususnya ketika tidak menemukan petunjuk untuk dapat bertaklid kepada mujtahid yang paling berilmu—maupun kehidupan sosial, mengingat bahwa pendapat yang mengemuka merupakan hasil dari ijtihad yang notabene suatu proses dan kegiatan yang Islami, sah dan diakui keternisbatannya kepada Islam. Dengan demikian, penguasa Islam yang syar’i itu akan leluasa untuk bermanuver dan memilih pendapat yang lebih relevan dengan maslahat, walaupun seandainya pendapat itu tidak sejalan dengan pendapat pribadinya. Ini juga bahkan memungkinkan dia untuk mengakomodir semua pendapat yang ada demi mencapai satu paradigma dan perspektif sosial yang lebih bermaslahat, dan ini tentu juga akan menjadi satu bentuk fleksibeliteas Islam.9
Ketiga, sebagaimana kami singgung tadi, mazhab-mazhab ini menjadi khazanah besar bagi kehidupan Islam dan merupakan fenomena natural yang dapat diperkirakan sejak awal. Hanya saja, hal yang mengubah fenomena ini menjadi sesuatu yang negatif dalam perjalanan sejarah Islam ialah apa yang disebut sektarianisme sempit dengan spiritnya yang cenderung menjauh dari dialog yang diserukan oleh al-Quran al-Karim, mengabaikan prinsip toleransi Islam, dan terkadang terjerumus dalam perdebatan sia-sia dan tercela secara moral. Kitapun lantas mengalami fase-fase yang menakutkan dan pola-pola yang tidak Islami berupa praktik takfiriah dan tuduhan-tuduhan fasik dan bidah yang kemudian, sebagaimana diungkapkan oleh Syekh Yusuf Qardhawi10, berdampak pada konflik besar yang mengakibatkan pertumpahan darah dan air mata, keterkoyakan umat dan ketergeseran mereka dari peradabannya yang ideal.11
Karena
itu, di sini kami serius menyerukan supaya suasana kemazhaban dikembalikan
kepada kondisinya yang alami melalui sosialisasi semangat dialog Islami yang
konstruktif, rasa persaudaraan, dan upaya membuka area-area kerja kolektif,
yaitu apa yang kita sebut “gerakan pendekatan antarmazhab Islam”.
3 Sebagaimana disebutkan dalam riwayat tentang Muadz ketika dia diutus oleh Rasulullah saw ke Yaman. Seseorang bertanya kepada Muadz, “Apa yang akan engkau lakukan jika engkau tidak menemukan (dalil) dalam kitab Allah dan sunah Rasulullah?” Dia menjawab, “Aku akan berijtihad dengan pendapatku dan aku tidak akan sembarangan.” Riwayat demikian memang ada meskipun sebagian ulama menyangsikan sikap Muadz tersebut (lihat Ushῡl al-Muzhaffar, jilid 3, hal.166).
4 QS. al-Taubah [9]: 122
5 Tārīkh al-Fiqh al-Islāmī, hal. 86.
6 Al-Imām al-Shādiq wa al-Madzāhīb al-Arba’ah, jilid 1, hal. 160.
7 Thabaqāt al-Fuqahā’, Mukadimah bagian kedua, hal. 57.
8 Bidayat al-Mujtahid wa Nihāyat al-Muqtashid, bagian Mukadimah.
9 Diskursus tentang ini telah kami kemukakan dalam forum-forum fikih tingkat tinggi, dan sudah pula kami publikasikan. Karena itu di sini kami tidak perlu memaparkannya panjang lebar. Silakan meninjau catatan penulis mengenai kajian-kajian dalam forum fikih Islam tersebut yang sejauh ini sudah terkemas dalam empat jilid.
10 Majalah Risālat al-Taqrib, No. 36, hal. 210.
11 Lihat kitab Qishshat al-Tawā’if karya Anshari, hal. 155 dan seterusnya