ICC Jakarta – Perkembangan teknologi digital membawa dua dampak baik positif maupun negatif terhadap berbagai hal termasuk perkembangan karakter anak. Di antara dampak positif berkembangnya informasi digital bagi anak adalah kemudahan mengakses informasi sehingga anak-anak bisa mencari informasi dan bisa memanfaatkan konten yang ada di dunia digital dengan mudah. Tapi di sisi yang lain, informasi di dunia digital kerap mengandung unsur yang membahayakan anak.
“Saat masuk ke dalam era digital sekarang ini orang tua cenderung melepas anaknya di dunia digital. Mereka cenderung mengasih anaknya smartphone, tablet atau mengoperasikan laptop komputer di rumah tanpa pengawasan yang cukup dari orang tua. Ini berbahaya karena ada titik ketika nanti si anak merasa lebih percaya kepada informasi yang dia baca di internet dari pada percaya dengan informasi dari guru atau orang tuanya,” kata Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho di Jakarta, Sabtu (9/3).
Dalam keadaan demikian ia menyarankan sebaiknya orang tua tidak serta merta ‘melepaskan’ anak di dalam dunia digital tanpa pengawasan. “Ini agar jangan sampai anak terpapar hal-hal yang bisa membahayakan dia secara keamanan atau mengunyah konten konten negatif seperti ujaran kebencian ataupun juga konten-konten yang terkait dengan radikalisme,” katanya.
Selain itu, anak-anak perlu tetap ‘disibukkan’ dengan aktivitas offline yang menuntutnya hidup dengan masyarakat. Hal ini bertujuan agar anak-anak kembali memiliki aktivitas fisik dan sosial dan tidak hanya menghabiskan waktunya dengan di dunia maya.
“Di level-level masyarakat yang ada di perkampungan ataupun di kota anak-anak itu perlu dibuatkan dan diajak untuk melakukan aktivitas yang membuat mereka bisa berinteraksi secara nyata dengan anak-anak yang lainnya. Ini agar mereka tidak hidup dalam dunia sendiri di dunia digital,” ucapnya.
Peran pemerintah
Selain itu ia juga mengatakan pentingnya intervensi pemerintah dalam mengenalkan ‘efek samping’ dari dunia digital melalui literasi digital. Tujuannya tak lain agar siswa memiliki keahlian, kemampuan untuk bisa menggunakan berbagai perangkat teknologi digital dengan baik dam sekaligus menghindari bahaya dari teknologi digital.
“Contoh seperti materi mengenai media sosial tentang bagaimana penggunaannya, apa bahayanya, apa yang seharusnya tidak dilakukan, termasuk sikap pengamanan supaya bagaimana informasi pribadi tidak diketahui orang lain, itu yang terkait dengan literasi digital,” ujarnya.
Selain itu perlu adanya materi tentang literasi media supaya anak dikenalkan mengenai bagaimana mengunyah informasi dari sumber-sumber yang ada, baik dari koran, majalah, media online atau dari media sosial.
“Artinya mereka butuh diberikan skill untuk bisa melakukan teknik literasi media misalnya perbandingan informasi teks, berita, mencari cari tahu seandainya ketemu dengan sebuah gambar, gambar ini benar atau tidak, konteksnya tentang apa, tentunya itu harus ditanamkan sejak awal,” tuturnya.
Oleh karena itu dirinya berharap hal tersebut bisa dibuatkan suatu kurikulum yang integratif oleh pemerintah, meski bukan kurikulum khusus yang mungkin bisa disisipkan atau diintegrasikan dengan kurikulum yang sudah ada.
“Pemerintah punya kurikulum TIK (Teknologi, Informasi dan Komputer) dimana itu sudah dimasukkan lagi oleh Kemendikbud di kurikulum. Tetapi saya rasa perlu dipertajam dan diperkaya sehingga ketika anak-anak ketemu dengan teknologi digital itu bisa menjadi lebih produktif, bukan justru sebaliknya. Kalau sekarang ini kesannya anak-anak itu lebih banyak yang menjadi konsumen informasi dari pada produsen,” ucapnya.
Untuk itu semua pihak perlu mendorong supaya anak-anak muda ini ketika masuk ke dunia digital tahu cara bagaimana memproduksi konten dengan baik. “Hal-hal seperti itu yang perlu kita tanamkan dan perlu kita masukkan dalam kurikulum, sehingga mereka kemudian tidak gagap atau dan bisa menangkal konten yang menyesatkan saat menggunakan tehnologi digital,” katanya mengakhiri. (Ahmad Rozali-NU Online)