ICC Jakarta – Islam—terbentuk bersama fitrah manusia yang berakar dari wahyu dan ruang lingkup fitrah itu sendiri—adalah pendiri pertama dan rasul hak-hak asasi manusia yang sesungguhnya. Empat belas abad sebelum penyusunan deklarasi universal PBB, Islam telah menghadirkan deklarasi hak-hak asasi manusia yang sempurna kepada umat dunia. Baik dalam teori maupun praktik, Islam mempertahankan status spritual yang paling agung bagi manusia di seluruh dunia, yang sekarang kami sebutkan secara singkat.
Islam memperkenalkan manusia sebagai khalifah atau wakil Allah. Tanggung jawab ini secara jelas tidak dilimpahkan kepada makhluk yang terbelakang atau lemah. Istilah ini adalah ungkapan terbaik tentang status manusia yang agung dan mulia yang darinya para nabi—yakni fenomena spiritual terbesar dan paling mengejutkan dunia—ditinggikan.
Di samping kemuliaan praktis ini, al-Quran telah memberikan martabat dan kemuliaan Ilahiah khusus kepada manusia dengan mengatakan, Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam…(QS al-Isra:70)
Di tempat lain, dalam sebuah hadis yang dikutip dari Nabi Muhammad saw diriwayatkan bahwa umat manusia adalah “keluarga Allah”. Beliau berkata, “Manusia (nas) adalah anggota keluarga Allah; orang yang bekerja untuk keuntungan orang lain adalah orang yang lebih dicintai” dan nas merupakan istilah yang sangat luas dan komprihensif yang meliputi seluruh manusia. Istilah ini sering digunakan dalam al-Quran dan hadis dan menyangkut semua individu—termasuk Muslim dan non-Muslim, semua ras, semua bahasa, warna, dan agama.
Oleh karena itu, Islam yang memandang manusia sebagai wakil Tuhan dan anggota keluarga-Nya, mempertahankan status yang mulia dan hak-hak asasi baginya.
Salah satu pengejawantahan kemuliaan dan martabat bagi manusia dalam Islam adalah pendiriannya melawan penindasan. Islam memandang penindasan dan ketertindasan sebagai penghinaan besar kepada status manusia yang mulia dan Islam tidak mentolerirnya. Bahkan Islam memandang penindasan sebagai haram (dilarang) dan merupakan penghinaan atas martabat manusia. Sebaliknya, Kristiani dan beberapa mazhab moral lainnya memandangnya kesempurnaan dan kesalehan.
Pengejawantahan lain tentang kemuliaan dan kehormatan Islam bagi manusia adalah asas pendapat yang baik dari orang yang menyampaikan. Islam telah memberikan berbagai macam aturan untuk asas ini. Dalam undang-undang administratif dan perpajakan, asas utamanya berdasarkan kejujuran individu; para pemungut zakat dan pajak harus menerima kata-kata mereka dan ditekankan bahwa pemerintah tidak boleh memaksa dalam mengumpulkan pendapatan atau pajak ini. Tidak boleh menyakiti atau kekayaannya dijual untuk menutupi kepentingannya karena ini berarti tidak menghormati kemanusiaannya.
Dalam sebuah surat kepada pengumpul pajak, Imam Ali as menyatakan, “Perlakukankan para pembayar pajak dengan kewajaran dan keadilan dan pikirkanlah hasrat-hasrat mereka dengan kesabaran dan kebaikan. Jangan paksa siapapun juga untuk mengabaikan kebutuhan-kebutuhannya dan menagih tanpa melihat keperluannya (sehingga ia dapat membayar pajak)… jangan mengambil hak lain dengan mencambuk, jangan menyentuh kekayaan mereka, baik mereka Muslim atau bukan… Berbuat baiklah kepada manusia…”[9]
Mengenai “kemerdekaan” yang merupakan pengejawantahan penghormatan paling utama kepada status manusia, Islam memberikan istilah yang paling sempurna kepadakemerdekaan, yaitu kemerdekaan jiwa, raga, pemikiran dan intelek dan menyatakan manusia berhak untuk menerimanya. Itulah kenapa dalam pandangan dunia Islam, manusia, tanpa menghiraukan rasnya, bahasanya atau warnanya, adalah terhormat dan merdeka.
Dalam Islam, melebihi budaya lain, manusia menikmati kemerdekaan berpikir dan tidak ada seorang pun yang bisa memaksa orang lain untuk melepaskan ideologi mereka serta memaksa mereka untuk menerima Islam. Al-Quran menyatakan, Tidak ada paksaan dalam agama; sesungguhnya sudah jelas jalan yang benar dari yang salah…(QS al-Baqarah:256)
Adalah aib dan pelanggaran kemerdekaan manusia jika seseorang tidak mampu untuk memilih sendiri jalannya.
Manusia bebas pergi kemana saja yang ia inginkan dan tinggal dimana saja sesuka hatinyanya. Sebagaimana telah masyhur Imam Ali as memegang pendirian yang sama terhadap orang-orangnya dan mengizinkan mereka pergi kemana pun mereka suka—bahkan ke istana Mu’awiyah—dimana mereka berkomplot untuk menentang beliau.
Demikian itu adalah suatu hal bagi kemerdekaan orang lain yang merupakan hak-hak asasi manusia hingga batas tertentu, bahwa mereka tidak merugikan hukum Islam dan hak-hak sosial maupun individual serta kepentingan orang lain karena kemerdekaan dan hak-hak orang lain juga dihormati dan adalah wajib bagi semuanya untuk memenuhi hak-hak orang lain. Itulah kenapa asas peniadaan kehilangan atau kerugian (lâ dharar) merupakan satu hukum dan asas sosial Islam yang tak dapat disangkal sehingga kemerdekaan seseorang tidak membahayakan atau mengancam kemerdekaan orang lain.
Hukum dan undang-undang dan juga hak-hak asasi manusia dalam Islam berasal dari pandangan dunia realistis dan ideologi Ilahi. Semua pandangan Islam yang realistis ini, pandangan dunianya dan hukum-hukumnya dianugerahkan oleh Sang Pencipta dunia. Hanya Dialah yang mampu berucap, Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan Kami mengetahui apa yang ada dalam isi hatinya dan Kami lebih dekat dari urat lehernya. (QS Qâf:16)
Menurut pernyataan ini, kita juga percaya bahwa deklarasi hak-hak asasi manusia yang paling sempuma bagi pria dan wanita, kulit hitam dan putih kaya dan miskin, orang Timur dan Barat, Utara dan Selatan dan dapat ditemukan da1am Islam dan bukan dalam Deklarasi PBB. Karena kurangnya pengetahuan yang benar tentang manusia dalam budaya Barat, dalam komunitas dan peradabannya selama 4000 tahun yang lalu (dari zaman Hamurabi sampai zaman PBB)—tiada seorang pun yang sanggup mengambil langkah yang efektif terhadap kebangkitan, mengamankan dan melindungi hak-hak asasi manusia. Berkali-kali kesalahpahaman para pendukung manusia ini dalam membelanya justru mengarah kepada persoalan-persoalan baru baginya. (Risalah Hak Asasi Wanita, Sayid Ali Khamenei)