ICC Jakarta – Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengajak umat beragama proaktif dalam pendirian rumah ibadah. Menurutnya, semakin banyak rumah ibadah di tengah masyarakat, semakin banyak umat yang dapat menunaikan kewajibannya.
“Saya ingin mengajak semua kita untuk secara proaktif bisa membantu pendirian rumah ibadah. Semakin banyak rumah ibadah yang ada di tengah-tengah kita artinya menunjukan bahwa semakin banyak umat beragama yang menunaikan kewajibannya, mentaati ajaran agama untuk beribadah sesuai ajaran agamanya masing-masing,” ujar Menag di Kantor Kemenag, Kamis (17/01).
Menurut Menag, keberadaan rumah ibadah itu hakikatnya hal positif, tidak hanya bagi diri masing-masing sebagai umat beragama melainkan juga dalam konteks lebih luas sebagai sebuah bangsa. Apalagi, Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religius dan agamis.
“Mari berikan dukungan kepada semua proses pendirian rumah ibadah dengan membantu optimal dan semaksimal mungkin,” tegas Menag.
Namun demikian, Menag menuturkan bahwa proses pendirian rumah ibadah juga harus sesuai ketentuan yang diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan Nomor 8 tahun 2006. PBM ini mengatur tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat.
Sebab, pendirian rumah ibadah juga akan berpengaruh pada kehidupan sosial. Menurut Menag, rumah ibadah dengan tempat ibadah merupakan dua hal yang berbeda. Tempat ibadah merupakan tempat di mana orang bisa melaksanakan ritual peribadatan masing-masing sesuai dengan ketentuan agama. Tempat ibadah bisa di mana saja, bahkan di kendaraan saat dalam perjalanan.
Adapun rumah ibadah, itu merupakan tempat tersendiri yang secara khusus difokuskan sebagai sarana melakukan ritual dan upacara peribadatan sesuai ketentuan agama masing-masing. “Rumah ibadah selalu diisi oleh banyak masyarakat yang jumlahnya bisa puluhan, ratusan hingga ribuan. Jadi implikasi terhadap keberadaan rumah ibadah berdampak pada kehidupan sosial, tidak hanya ketertiban umum, keamanan, dan hal lain,” ujarnya.
Pemerintah Sebagai Fasilitator
Karenanya, lanjut Menag, perlu ada aturan khusus terkait pendirian rumah ibadah. Kementerian Agama bersama Kementerian Dalam Negeri pada 2006 telah memfaslitasi tokoh dan pemuka agama untuk melakukan serangkaian diskusi guna merumuskan ketentuan terkait rumah ibadah dan upaya menjaga kerukunan. Hasilnya adalah PBM Nomor 9 dan Nomor 8 tahun 2006.
“Jadi PBM bukan rumusan yang datang dari pemerintah. Sementara yang membuat, merumuskan dan mensepakati adalah wakil dari majelis agama,” ujarnya.
“Selaku Menteri Agama, saya mengimbau kepada segenap kita umat beragama untuk benar-benar bisa membaca dan memahami isi ketentuan yang ada dalam peraturan tersebut. Semuanya itu diberlakukan justru dalam rangka menjaga kehidupan bersama di tengah tengah keragaman dan perbedaan,” lanjutnya.
Pasal 14 PBM 2006 ini misalnya, mengatur tentang pendirian rumah ibadat. Di situ ditegaskan bahwa pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung. Selain itu, pendirian rumah ibadat juga harus memenuhi persyaratan khusus meliputi :
a. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);
b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;
c. rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan
d. rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.
“Jika persyaratan itu belum terpenuhi, maka pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat,” tegas Menag.
Menag berpandangan, PBM tersebut masih relevan dalam mengatur kehidupan beragama di Indonesia, utamanya terkait pendirian rumah ibadah. Bagaimana pun juga Indonesia dikenal dengan masyarakat yang beragam dan majemuk. Untuk itu, harus ada rumusan yang disepakti bersama yang isinya mengatur kehidupan bersama, khususnya dalam pendirian rumah ibadah.
Selama belum ada aturan penganti yang lebih baik, kata Menag, menghilangkan PBM tersebut justru lebih berbahaya. Sebab, akan menimbukan ketidakpastian hukum. “Dan aparat penegak hukum tidak bisa bekerja karena tidak ada aturan yang disepkati bersama dan menjadi dasar dalam menegakan hukum,” tutup Menag.
Sumber: Kemenag