ICC Jakarta – Berdiri tegak diantara gedung-gedung yang berada disekelilingnya, Masjid Al-Mashun yang berada di jantung kota Medan dari kejauhan masih tampak kokoh menjulang tinggi diantara bangunan-bangunan lain yang berada disampingnya, meski telah berusia hampir 100 tahun (1906-2000). Masjid kebanggaan masyarakat Medan ini merupakan peninggalan kerajaan Islam Melayu Deli yang mulai mencapai kejayaannnya pada tahun 1861, setelah resmi merdeka dari Kesultanan Aceh dan Kesultanan Siak Sri Indrapura walaupun masih dalam bayang-bayang pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Didirikan pada tahun 1906 dan resmi digunakan pada tahun 1909 diatas lahan seluas 18.000 meter persegi dengan daya tampung jamaah sekitar 1.500 jamaah.
Masjid yang menjadi identitas masyarakat muslim Medan ini merupakan peninggalan Sultan Ma’mun Al Rasyid Perkasa Alam, penguasa ke 9 kerajaan Melayu Deli yang berkuasa pada tahun 1873-1924.Keseluruhan pembangunannya menghabiskan dana sebesar satu juta Gulden yang ditanggung sendiri oleh Sultan, namun konon Tjong A Fie, tokoh kota Medan dari etnis Tionghoa yang sezaman dengan Sultan Ma’mun Al Rasyid turut berkontribusi mendanai pembangunan masjid ini. Sultan Ma’mun memang sengaja membangun masjid kerajaan ini dengan megah karena menurut prinsipnya Masjid lebih utama ketimbang kemegahan istananya sendiri, Keseluruhan pembangunan masjid ini rampung pada tanggal 10 September 1909 (25 Sya‘ban 1329 H) sekaligus digunakan yang ditandai dengan pelaksanaan sholat Jum’at perdana.
Masjid ini bukan sekedar bangunan antik biasa, tetapi juga menyimpan keunikan tersendiri mulai dari gaya arsitektur, bentuk bangunan, kubah, menara, pilar utama hingga ornamen-ornamen kaligrafi yang menghiasi tiap bagian bangunan tua ini. Masjid ini dirancang dengan perpaduan gaya arsitektur Timur Tengah, India dan Eropa abad 18 oleh arsitek berkebangsaan Belanda bernama J.A Tingdeman. Tak jauh dari Masjid Al Mashun kita kuga dapat melihat peninggalan Sulthan Ma’moen lainnya yang hingga kini masih utuh bahkan menjadi andalan objek wisata sejarah Medan yaitu Istana Maimoon yang selesai dibangun 26 Agustus 1888 dan mulai dipakai 18 Mei 1891, kita juga dapat melihat berbagai bangunan tua lainnya seperti residen pejabat kesulthanan, masjid dan ruang pertemuan yang tersebar di berbagai pelosok bekas wilayah kesulthanan Melayu Deli- kini wilayah Kodya Medan, Kodya Binjai, Kab. Langkat dan Kab Deli Serdang.
Masjid Raya Al-Mashun Medan, banyak dikagumi karena bentuknya yang unik tidak seperti bangunan masjid biasa yang umumnya berbentuk segi empat. Masjid ini, dirancang berbentuk bundar segi delapan dengan 4 serambi utama – di depan, belakang, dan samping kiri kanan, yang sekaligus menjadi pintu utama masuk ke masjid. Antara serambi yang satu dengan lainnya dihubungkan oleh selasar kecil, sehingga melindungi bangunan/ruang utama dari luar. Di bagian dalam masjid ini, ditopang oleh 8 buah pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi dan langsung menjadi penyangga kubah utama pada bagian tengah.
Sedangkan 4 kubah lainnya berada di atas ke empat serambi selain ditambah dengan 2 buah menara di kiri-kanan belakang masjid, adapun mimbar, keempat pintu utama dan 8 buah jendela serambi terbuat dari ukiran kayu jenis merbau bergaya seni tinggi – terbukti hingga kini masih tetap utuh. Belum lagi dengan ukiran dan hiasan ornamen khas Melayu Deli pada setiap sudut bangunan, yang serta merta melahirkan nilai-nilai sakral religius yang teramat dalam bagi tiap orang yang memasukinya.
Namun kini, Masjid yang telah berusia seabad ini mulai terlihat kusut dan lapuk seiring dengan berjalannya waktu, menurut pantauan penulis banyak dari ornamen-ornamen masjid yang mulai rusak sedikit demi sedikit, hampir disetiap sudut jika kita jeli melihat, banyak kaca patri yang telah pecah, warna masjid jika kita perhatikan dari dekat juga dipenuhi dengan noda dan mulai terlihat lusuh. Walaupun masjid ini dilindungi undang-undang namun akan sangat menghawatirkan jika tidak segera dilakukan pemugaran.
Rencana pemugaran menurut info yang penulis dapat dari beberapa petugas sebenarnya telah ada, namun masalahnya adalah susahnya mendapat barang-barang yang akan diganti mengingat banyak dari bahan-bahan juga ornamen masjid yang diimpor dari luar negeri, seperti ornamen dan jenis besinya yang tidak tersedia di Indonesia karena berasal dari Eropa, begitu juga kayu dibagian menara yang mulai lapuk, kayu ini berasal dari Sulawesi dan susah didapatkan. Dilain sisi kondisi ini terjadi karena Badan Kemakmuran Masjid ingin mempertahankan keaslian bangunan yang menjadi cagar budaya Medan. Juga karena ornamen kuno tersebut berasal dari Eropa, sehingga sulit dicari penggantinya. (Muhammad Ihsan Sulis)