ICC Jakarta – Radikalisme ternyata sudah menyusup ke kampus-kampus. Sabtu (2/6), tim Densus 88 Antiteror dilaporkan telah menangkap seorang tersangka teroris di Universitas Riau (Media Indonesia), Senin 4/6. Kampus yang seharusnya menjadi wilayah yang steril dari paparan paham radikal, karena sikap kritis mahasiswa, ternyata tidak mampu mengelak dari tawatan ideologi radikal.
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Hamli mengatakan hampir semua perguruan tinggi negeri (PTN) di Jawa dan di luar Jawa ternyata tidak steril dari paparan paham radikalisme. BNPT membeberkan di Indonesia sejumlah PTN terkenal, seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Diponegoro (Undip), hingga Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Universitas Airlangga (UA), dan Universitas Brawijaya (UB) sudah disusupi paham radikal.
Berbeda dengan pola sebelumnya, penyebaran paham radikal lebih banyak dilakukan di lingkungan pesantren, kini sasaran baru penyebaran paham radikal ditengarai lebih banyak menyusup ke berbagai lingkungan kampus, baik negeri maupun swasta. Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan bahkan mengungkapkan setidaknya sekitar 39% mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi telah terpapar paham radikal.
Sejauh mana sinyalemen BNPT dan temuan BIN di atas terbukti benar, tentu masih membutuhkan kajian yang lebih mendalam. Sejumlah pimpinan PTN memang menolak dan meragukan sinyalemen terjadinya paparan paham radikal di lingkungan kampus, tetapi sejumlah studi telah membuktikan bahwa pengaruh paham radikal dan sikap intoleran sebetulnya telah mulai masuk bukan hanya di jenjang PT, melainkan juga sudah sejak jenjang SMA.
Studi yang dilakukan Setara Institute pada 2016 yang dilakukan di 171 sekolah di Jakarta dan Bandung, misalnya, menemukan bahwa bibit-bibit terorisme sudah mulai muncul ketika pelaku duduk di bangku sekolah. Meskipun hanya 0,3% siswa SMA negeri yang terpapar ideologi terorisme, dan hanya 2,4% siswa yang mengembangkan sikap intoleransi aktif, tetapi kita tidak bisa menutup mata bahwa bibit-bibit terorisme sudah mulai muncul jauh sebelum seseorang benar-benar menjadi teroris. Dari studi yang dilakukan sebanyak 5,8% setuju kalau Pancasila diganti. Bahkan, yang mencemaskan, studi Setara Institute menemukan adanya sebanyak 11,3% pelajar setuju jika Indonesia menjadi negara khilafah.
Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika para remaja atau anak muda yang seharusnya berkonsentrasi menghabiskan sebagian besar waktunya untuk belajar dan bergaul dengan teman-teman sekolahnya ternyata mulai terpapar paham radikal dan bersikap intoleran terhadap teman-temannya di lingkungan sekolah.
Dengan alasan keimanan, sebagian pelajar di berbagai sekolah diketahui ada yang enggan untuk mengikuti upacara dan menghormati Pancasila. Sejumlah pelajar dilaporkan juga mulai enggan menghadiri acara yang menghadirkan pejabat pemerintah serta enggan pula menyanyikan lagu Indonesia Raya. Mengembangkan kebencian dan sikap permusuhan kepada pemerintah ialah bagian dari upaya membuktikan keimanan dan keyakinan keliru yang mulai tertanam di sejumlah pelajar.
Secara kuantitatif, jumlah pelajar yang terkontaminasi ideologi radikal dan mengembangkan sikap intoleran, benar tidak banyak. Namun, indikasi munculnya benih-benih terorisme di kalangan pelajar ini tentu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Perkembangan kondisi politik, seperti pelaksanaan pilkada serentak di berbagai daerah dan pertikaian di antara elite politik yang terkadang dibayang-bayangi isu agama, bukan tidak mungkin menjadi pupuk yang akan menambah subur perkembangan paham radikal di kalangan pelajar.
Sementara itu, para guru yang diharapkan dapat menjadi penengah dan pencerah atas kekeliruan perkembangan pemikiran sebagian pelajar, diakui atau tidak terkadang justru menjadi minyak yang memperbesar sikap fanatisme, sikap intoleransi dan mempertebal kemungkinan tumbuhnya sikap radikal pelajar. Alih-alih mendekonstruksi sikap dan cara pandang pelajar yang terkontaminasi paham radikal, dalam kenyataan tidak jarang ada guru yang justru membenarkan dan mengarahkan pelajar untuk bersikap makin intoleran.
Memotong Mata Rantai
Wrong (2008) menyatakan yang dimaksud dengan radikalisme secara sederhana adalah penolakan ekstrem terhadap apa pun yang eksis, dan menolak status quo atau apa pun yang dianggap berseberangan dengan keyakinan ideologis kelompok radikal. Seorang pelajar atau mahasiswa yang sejak lama telah terkontaminasi paham radikal, maka batas untuk tumbuh dan berubah menjadi teroris niscaya hanya soal waktu.
Seseorang yang sejak dini dikonstruksi untuk mengembangkan benih-benih permusuhan dan kebencian terhadap orang yang dianggap sebagai out-group-nya, dalam perkembangan kepribadiannya niscaya tidak hanya tumbuh menjadi pribadi yang soliter, eksklusif, dan berjarak dengan lingkungan sosialnya, tetapi juga berpotensi menjadi asosial, dan tidak segan menjadikan keyakinannya sebagai pembenar melakukan aksi radikal kepada orang lain yang dinilai berbeda.
Pencegahan dan memotong mata rantai calon-calon teroris, yaitu para pelajar dan mahasiswa yang telah terpapar paham radikal agar tidak tumbuh menjadi pelaku teror di masa depan perlu dilakukan. Selain mendekonstruksi terhadap cara berpikir mereka yang keliru, yang tidak kalah penting ialah bagaimana merekonstruksi dan mengembalikan lembaga pendidikan menjadi habitat yang benar-benar netral serta steril dari pengaruh intoleransi dan radikalisme.
Lembaga pendidikan yang notabene merupakan habitat bagi perkembangan pemikiran ilmu pengetahuan modern dan literasi kritis peserta didik perlu disterilkan dari berbagai pengaruh buruk yang memungkinkan pelajar mengembangkan sikap yang salah. Adalah tugas rektor, kepala sekolah, dosen, dan guru untuk lebih mampu menawarkan alternatif kegiatan dan sosialisasi nilai-norma sosial yang selalu konformitas pada tatanan sosial yang penuh toleransi dan menghargai perbedaan.
Bagaimana merevitalisasi proses pembelajaran nilai-nilai Pancasila yang lebih sesuai dengan karakteristik generasi digital ialah tantangan yang menjadi PR bagi lembaga pendidikan saat ini. Melawan paham radikal tidaklah mungkin dilakukan hanya dengan mengandalkan pada pendekatan yang sifatnya kuratif dan punitif. Di luar peran aparat, yang tidak kalah penting ialah bagaimana lembaga pendidikan mampu menawarkan counter culture yang efektif untuk melawan penyusupan paham radikal. (media indonesia)