Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran, Ayatullah Sayyid Ali Khamenei, menghadiri majelis duka malam Asyura di Huseiniyah Imam Khomeini, Teheran, pada 5 Juli 2025. Momen tersebut menandai konsolidasi nasional pasca agresi militer Israel selama 12 hari terhadap Iran.
Acara itu diikuti ribuan orang dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk para pejabat tinggi Iran seperti Ketua Parlemen, Ketua Mahkamah Agung, dan Wakil Presiden Pertama. Nuansa keberpihakan terhadap nilai keadilan dan semangat perlawanan terhadap kezaliman menjadi tema utama dalam ceramah yang disampaikan Hujjatul Islam Masoud Ali.
Dalam pidatonya, Masoud Ali menegaskan bahwa tragedi Karbala adalah pelajaran abadi tentang keteguhan melawan tirani. Ia menyebut Iran di bawah kepemimpinan Ayatullah Khamenei sebagai pusat poros perlawanan global terhadap apa yang ia sebut sebagai “barisan penindas yang dikomandoi oleh Zionisme internasional.”
“Meneladani semangat Asyura, bangsa Iran tidak akan pernah tunduk kepada barisan penindas, karena semboyan ‘pantang hina’ telah menjadi prinsip perjuangan,” ujar Masoud Ali.
Ayatullah Khamenei sendiri tidak menyampaikan pidato resmi dalam majelis tersebut. Namun menurut kesaksian hadirin, beliau memanggil pelantun maktam kenamaan Iran, Mahmoud Karimi, dan membisikkan sesuatu ke telinganya. Saat mulai melantunkan syair, Karimi menyampaikan, “Yang Mulia berkata kepada saya, ‘Lantunkan ini: Engkau akan tetap berada di dalam jiwaku dan hatiku, wahai tanah air…’”
Presiden Iran saat ini, Masoud Pezeshkian, menyampaikan rasa syukurnya atas kehadiran Ayatullah Khamenei melalui akun X resminya. Sementara itu, mantan Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif, menyebut momen tersebut sebagai jawaban telak terhadap propaganda musuh.
“Kehadiran tanpa rasa takut Ayatullah Khamenei dalam pertemuan publik tradisional menggugurkan kebohongan para analis bayaran,” tulis Zarif. “Sudah waktunya dunia sadar bahwa bangsa Iran tidak akan pernah tunduk.”
Zarif juga menyerukan kepada negara-negara arogan yang dipimpin Amerika Serikat agar “berpihak pada sejarah dan berhenti mengancam Iran.”
Pernyataan itu disampaikan setelah sejumlah pejabat tinggi Israel mengeluarkan ancaman yang menyebut Ayatullah Khamenei sebagai salah satu target dalam kampanye tekanan pascaperang. Namun kehadiran beliau di tengah publik membungkam seluruh narasi tersebut.
Menghadapi Perang Psikologis
Tahun ini, masyarakat Iran menyambut bulan Muharram dalam suasana berkabung mendalam, menyusul gugurnya ratusan warga sipil dan militer akibat agresi Zionis. Tragedi ini tidak hanya memicu duka nasional, tetapi juga menyulut gelombang solidaritas dan semangat patriotik yang mewarnai peringatan Asyura.
Dampaknya terasa luas di tengah publik: menurut survei lembaga riset IRIB, 77 persen masyarakat Iran menyatakan bangga atas respons negara mereka terhadap serangan Israel. Survei itu melibatkan 4.943 responden dari 33 kota besar dan kecil, dengan komposisi 51,6 persen laki-laki dan 48,4 persen perempuan.
Operasi True Promise III yang dilancarkan Pasukan Garda Revolusi Islam (IRGC) dinilai memperkuat solidaritas nasional. Serangan balasan yang dimulai pada 13 Juni menghantam sejumlah fasilitas penting milik Israel dan mematahkan klaim superioritas militernya.
Namun saat perang berhenti secara mendadak pada 24 Juni, propaganda musuh bergeser ke medan psikologis. Salah satu narasinya adalah menyebarkan kabar bahwa Ayatullah Khamenei “bersembunyi” dan tak lagi memegang kendali. Narasi itu terus diulang oleh media asing berbahasa Persia.
Namun semuanya terbantahkan pada malam Asyura. Ayatullah Khamenei hadir langsung di Huseiniyah Imam Khomeini saat hadirin tengah khusyuk menyimak pembacaan syair duka. Serentak, mereka berdiri dan meneriakkan “Haidar, Haidar”—panggilan kepada Imam Ali (as), yang juga menjadi nama beliau.
Setelah menenangkan suasana, Ayatullah Khamenei memanggil Mahmoud Karimi dan memintanya melantunkan lagu patriotik legendaris “Ey Iran”. Lagu ini dikenal luas oleh berbagai generasi rakyat Iran sebagai simbol cinta tanah air.
Menurut sejumlah pengamat, ini adalah pertama kalinya lagu patriotik dinyanyikan secara terbuka dalam majelis Asyura yang biasanya bersifat sakral dan religius. Pesan yang tersirat sangat gamblang: iman dan tanah air bukan dua kutub yang berlawanan, melainkan saling memperkuat.
Sumber berita: https://www.presstv.ir/
Sumber Gambar: https://www.tehrantimes.com/