ICC Jakarta – Arikel ini lanjutan dari bagian kedua mengenai “Sayidah Khadijah, Istri Tercinta dan Cinta Sejati Rasulullah saw”, oleh Euis Daryati, Lc. MA. dengan Subtema; Pernikahan Sayidah Khadijah as dan Nabi Muhamad saw, dan Sayidah Khadijah as dan Kenabian Nabi Muhamad saw sebagai berikut;
Ke-Islaman dan Keagungan Sayidah Khadijah as
Setelah mendapatkan wahyu pertama, Nabi Muhamad saw memulai perjuangannya dalam berdakwah dan menyeru orang-oarng untuk menyembah Allah Swt. Dengan kondisi masyarakat jahiliyah seperti itu yang penuh kebodohan dan khurafat, tentu mengajak mereka untuk meninggalkan perbuatan seperti itu sangatlah sulit. Berbagai tantangan dan rintangan mulai menghadang tugas suci Nabi Muhamad saw. Pada saat itu, Sayidah Khadijah as senantiasa mendampinginya dan mendukung dakwah suaminya dengan jiwa, raga dan hartanya. Tidak diragukan lagi tentang peran penting Sayidah Khadijah as dalam dakwah Islam. Sehingga ada istilah yang mengatakan Islam terjaga dengan pedangnya Ali dan tersebar dengan hartanya Khadijah. Sayidah Khadijah seorang perempuan yang sangat kaya raya, beliau telah menggunakan semua hartanya demi dakwah Islam.
Dengan kondisi masyarakat Arab Jahiliyah seperti itu, menjadi orang-orang yang pertama masuk Islam itu merupakan suatu kebanggaan. Beberapa waktu setelah memulai dakwahnya, Nabi Muhamad saw, Sayidah Khadijah as dan Imam Ali as adalah tiga orang pertama yang beribadah dan solat di Ka’bah.
Berkaitan dengan ini Imam Ali as berkata, “Rumah yang berpusatkan Islam saat itu hanya rumah Nabi Muhamad saw dan Khadijah as, dan aku merupakan orang ketiganya.” [1]
Kebanggaan ini hanya diraih Sayidah Khadijah as, beliau merupakan perempuan pertama yang masuk Islam dan menerima seruan dakwah Nabi Muhamad saw.
Keagungan Sayidah Khadijah as di sisi Allah Swt dan alam semesta begitu tinggi sehingga pada Mi’raj pertama Nabi Muhamad saw, Allah Swt memberikan salam kepadanya. Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw bersabda, “Pada saat Mi’raj, saat kembali dari perjalanan langit, aku berkata kepada Jibril as, “Apakah engkau ada hajat dan keperluan?” “Iya, hajatku adalah sampaikan salam kepada Khadijah dari Allah Swt dan dariku.”
Saat Rasulullah saw menyampaikan kepada Sayidah Khadijah as, beliau berkata, “Allah Swt, adalah salam atau keselamatan. Salam atau keselamatan berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Dan, juga salam dan keselamatan untuk Jibril.”[2]
Pengorbanan Sayidah Khadijah as dalam Boikot Syi’b Abu Thalib
Berdasarkan perintah Allah Swt, Nabi Muhamad saw telah berdakwah menyampaikan ajaran Islam dalam beberapa fase; sembunyi-sembunyi, kerabat terdekat dan terang-terangan. Setelah tiga tahun berdakwah secara sembunyi-sembunyi, Allah Swt memerintahkan Nabi Muhamad saw untuk berdakwah secara terang-terang dan lebih meluas. Tentu, dakwah Nabi Muhamad saw tersebut banyak menghadapi berbagai tantangan dan rintangan yang lebih dahsyat dari para musuh Islam. Berbagai tuduhan-tuduhan pun dilontarkan kepada Nabi Muhamad saw dan para pengikutnya, mulai dari mengejek, menuduhnya sebagai tukang sihir hingga gila. Mulai dari memberikan berbagai ancaman dan siksaan, dan berbagai trik-trik lainnya yang ditujukan kepada Nabi Muhamad saw. Namun, semua rintangan itu tidak mampu melemahkan semangat Nabi Muhamad saw untuk berdakwah dan menyeru mereka untuk masuk Islam. Bahkan beliau dengan lantang mengatakan, “Andaikan matahari diletakan di satu tanganku dan bulan di tangan yang lainnya, maka aku tidak akan berhenti untuk melakukan ini.”
Hingga akhirnya, orang-orang kafir Quraisy, khususnya para pembesarnya sangat kesal menghadapi Nabi Muhamad saw dan para pengikutnya, sampai akhirnya mereka memutuskan untuk mengusir Nabi Muhamad saw dan kaum muslimin dari Mekah dan menempatkan mereka di sebuah lembah yang dinisbatkan kepada Abu Thalib. Nabi Muhamad saw dan kaum muslimin diboikot di Syi’b Abu Thalib.
Pada semua fase dakwah Nabi Muhamad saw, Sayidah Khadijah as senantiasa berada di garis terdepan untuk membantu dakwah Islam. Selain mendampingi Nabi Muhamad saw, juga menggunakan seluruh harta kekayaannya untuk itu, tak terkecuali pada masa pemboikotan di Syi’b Abu Thalib. Pada usianya yang sudah tidak muda lagi, beliau meninggalkan semua kehidupan yang nyaman dan pergi ke Syi’b Abu Thalib bersama Nabi Muhamad saw.
Hubungan Sayidah Khadijah as dengan Sayidah Fathimah as
Sejak masih dalam kandungan Sayidah Khadijah as, Sayidah Fathimah as senantiasa menjadi teman dan menjadi penenang bagi ibundanya . Seringkali Rasulullah saw mendengar Sayidah Khadijah as berbicara sendiri. Saat ditanya Rasulullah saw, Sayidah Khadijah as menjawab bahwa beliau tengah berbicara dengan janin yang ada di dalam perutnya. Begitupula saat para perempuan Quraisy meninggalkan Sayidah Khadijah as karena menikah dengan Nabi Muhamad saw, Sayidah Fathimah as yang masih dalam kandungan ibundanya menasehatinya agar senantiasa bersabar.[3]
Saat Sayidah Khadijah as wafat, saat itu Sayidah Fathimah as masih kecil. Beliau memegangi ayahandanya dan berkata, “Ayahku, kemana ibunda?” Rasulullah saw tidak tega melihat putri kecilnya bertanya seperti itu. Saat itu turunlah Malaikat Jibril as dan berkata, “Sampaikan salam dari Allah untuk Fathimah, dan katakana pada Fathimah bahwa ibundanya tinggal di sebuah istana di surga yang semua pondasinya terbuat dari emas, dan tiang-tiangnya terbuat dari batu Yakut merah. Dia duduk di antara Asiyah dan Maryam.” Setelah mendengar ucapan Malaikat Jibril as, Sayidah Fathimah as pun tenang.[4]
Tahun Duka dan Kesedihan Nabi Muhamad saw
Setelah berlalu beberapa tahun dari dakwah Nabi Muhamad saw, dengan segala kesulitan dan rintangan yang dihadapinya, ujian datang menimpa Nabi Muhamad saw. Pembela paling gigih dakwah Nabi Muhamad saw yang mampu menghadang gangguan-gangguan para pembesar kaum Quraisy telah meninggal dunia. Abu Thalib ialah paman Nabi Muhamad saw ialah orang yang sangat membela dan mendukung dakwahnya. Selama Abu Thalib masih hidup, para pembesar Quraisy tidak berani mengganggu Nabi Muhamad saw. Nabi Muhamad saw sangat bersedih atas meninggalnya Abu Thalib.
Beberapa bulan setelah itu, seorang lagi dari pembela dan pendukung paling gigih dakwah Nabi Muhamad saw pun meninggal dunia. Beliau ialah Sayidah Khadijah as, istri tercinta dan termulia Nabi Muhamad saw. Istri yang telah mengorbankan jiwa raga dan hartanya demi dakwah Islam. Semua harta kekayaannya digunakan untuk menyebarkan agama Islam. Nabi Muhamad saw sangat terpukul atas meninggalnya istri tercintanya. Istri yang senantiasa memberikan kenyamanan dan mendampinginya dalam keadaan sedih maupun senang. Karena begitu dalam duka yang dirasakan oleh Nabi Muhamad saw, maka tahun itu dinamakan ‘’Ammul Huzn atau Tahun Kesedihan’.
Sayidah Khadijah as tutup usia pada tanggal sepuluh Ramadan tahun sepuluh Bi’tsat saat itu beliau berusia 65 tahun. Beliau hidup bersama Nabi Muhamad saw, dan mendampinginya di saat sulit dan senang selama 25 tahun.
Kedudukan Sayidah Khadijah as di Mata Nabi Muhamad saw
Beberapa tahun setelah wafat Sayidah Khadijah as, Nabi Muhamad saw menikah dengan beberapa perempuan. Namun, sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, tidak ada seorang istri pun yang dapat menyamai kedudukan Sayidah Khadijah as di mata Nabi Muhamad saw, juga sangat dicintai sepertinya. Rasa kehilangan Nabi Muhamad saw sangat dalam setelah kepergian Sayidah Khadijah as dari dunia ini. Meski bertahun-tahun lamanya setelah kepergian Sayidah Khadijah as, Nabi Muhamad saw senantiasa mengingat-ngingatnya, memuliakan saudara-saudaranya dan teman-temannya. Suatu hari, beberapa tahun setelah wafatnya Sayidah Khadijah as, Halah saudari Sayidah Khadijah as datang ke Madinah. Nabi Muhamad saw dengan sangat antusias menyambut kedatangannya, dengan semangat beliau kembali mengingat Sayidah Khadijah as, “Selamat datang, wahai Halah!”
Aisyah istri beliau tidak begitu senang menyaksikan kondisi seperti itu seraya berkata, “Kenapa selalu mengingat-ngingat dengan sedih perempuan Quraisy tua itu… padahal bertahun-tahun dia telah meninggal dunia, dan Allah pun telah memberikan pengganti yang lebih baik.”
Nabi Muhamad saw tampak murka mendengar ucapannya seraya berkata, “Demi Allah, tidak pernah aku mendapatkan yang lebih baik darinya. Dia beriman kepadaku saat orang-orang mengkafirkanku, dia membenarkanku di saat orang-orang mendustakanku, dia membantuku dengan hartanya di saat orang-orang membuatku menderita. Dan, Allah Swt telah menganugrahkan kepadaku anak-anak melaluinya bukan istri lainnya.”
Mendengar hal itu Aisyah pun terdiam dan berkata, “Sumpah demi Allah, setelah ini aku tidak akan membicarakannya lagi.”[5]
Tiap kali Nabi Muhamad saw menyembelih kambing, beliau pun akan menyuruhnya memberikan ke teman-teman Sayidah Khadijah as, “Beritahukan kepada teman-teman Khadijah, agar mereka dikirimi daging ini.” Aisyah sempat memprotes perilaku Nabi Muhamad saw ini, namun beliau menjawab, “… aku menyukai yang disukai Khadijah.”
Beliau pun terkadang mengirim hadiah untuk teman-teman Sayidah Khadijah as, “Berikan hadiah ini kepada Fulanah, karena ia teman dan pecinta Khadijah.”
Aisyah istri Nabi Muhamad sering merasa cemburu atas perlakuan Nabi Muhamad saw terhadap Sayidah Khadijah. Kecintaan Nabi Muhamad saw kepada Sayidah Khadijah as sangat dalam, dan penghormatannya kepadanya sangat tinggi. Ini semua dikarenakan kemuliaan kepribadian Sayidah Khadijah as dan pengorbanan yang sangat total terhadap dakwah risalah Nabi Muhamad saw.
Permohonan Terakhir Sayidah Khadijah dari Rasulullah saw
Di rumah dan kamar paling sederhana Sayidah Khadijah tinggal, namun tempat itu menjadi tempat lalu-lalangnya para malaikat. Semua kekayaannya telah dikorbankan untuk dakwah Islam. Saat itu ada Sayidah Khadijah, Rasulullah saw dan Sayidah Fathimah as yang masih kecil. Semuanya terdiam sunyi tidak ada kata terungkap hanya saling memandang. Sayidah Khadijah kemudian menangis keras menatap Rasulullah saw dan putrinya, memeluk dan menangisi putri tercintanya itu. Kemudian menatap Rasulullah sunyi tanpa bersuara dan akhirnya pecah tangisnya dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku yakin sekarang itu berada di akhir-akhir hidupku. Wahai kekasih Allah, aku yakin aku belum berbakti sepenuhnya kepadamu, mohon maafkan segala kekuranganku ini, ya Rasulullah!”
Mendengar hal ucapan istri tercintanya Rasulullah saw menjawab dengan suara keras, “Tidak, wahai istriku, engkau telah menghabiskan hartamu untuk perjuangnku. Engkau orang yang paling dekat denganku padahal banyak kerabatku yang menjauh dariku. Engkau yang paling banyak berjuang untukku, engkau jangan berkata seperti itu.”
Kemudian Sayidah Khadijah memeluk putrinya seraya berkata, “Putriku, ajalku akan tiba, yang paling aku takuti adalah siksaan kubur. Sampaikan pada ayahmu, aku malu minta sesuatu kepadanya langsung, karena aku takut tidak sopan kepada ayahmu, bisakah aku ungkapkan langsung kepadamu supaya ayahmu tidak mendengarku?”
Sayidah Fathimah menangis memeluk erat ibunya dan kemudian menghadap ayahandanya seraya berkata, “Ayahku, ibu ingin mengatakan sesuatu, namun tidak mampu menyampaikannya langsung kepadamu.”
“Iya, biar ibumu menyampaikan kepadamu dan aku menunggu di depan pintu.” Jawab Rasulullah saw sembari beranjak bangun.
Kemudian Sayidah Khadijah memeluk erat putrinya seraya berkata, “Putriku Fathimah, aku takut ini adalah akhir hidupku di dunia fana, aku takut dengan siksaan kubur. Aku ingin meminta serban ayahmu yang biasa dipakai saat menerima wahyu agar menjadi kafanku, tapi aku tidak berani memintanya langsung karena takut tidak sopan kepadanya.”
Kemudian Sayidah Fathimah menghadap Rasulullah saw dan menyampaikan permohonan ibundanya. Rasulullah saw kemudian datang melepaskan serbannya seraya berkata, “Bergembiralah Khadijah, istriku, berkali-kali Jibril datang menyampaikan salam Allah swt untukmu dan telah mempersiapkan istana di surga untukmu.”
Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Jibril datang membawakan kafan untuk Khadijah, seraya berkata, “Salam dari Allah untuk Khadijah, ia akan kembali ke hadapan Allah, dengan kafan dari Allah swt dan serban dari utusan Allah swt.”
Setelah wafat Rasulullah saw sendiri yang meletakkan jenazah Sayidah Khadijah, istri tercintanya di liang lahat dan meletakkan serbannya pada jenazahnya. Sayidah Khadijah dimakamkan di Ma’la di situ juga ada pusara Abu Thalib, Abdul Muthalib dan Abdu Manaf.
Salam atasmu, wahai Sayidah Khadijah, istri tercinta Rasulullah saw.
Sumber: Ikmalonline
[1] Nahjul Balghah, khutbah ke-192 [2] Majlisi, Biharul Anwar, jil 16, hal 7-11 [3] Majlisi, Biharul Anwar, jil 43, hal 2 [4] Riyahan asy-Syariah jil 2, hal 203 dinukil dari Cesyme dar Bastar, Pur Sayid Aghai, hal 257 [5] Al-Isti’ab fi Ma’rifatil Ashhab, jil 4, hal 1824; ‘Alamun Nisail Mukminat, hal 321-324