Imam Ali An-Naqi as. yang juga dijuluki dengan Al-Hadi adalah putra Imam Jawad as. Ia dilahirkan di Madinah pada tanggal 15 Dzul Hijjah 212 H. Ibunya bernama Samanah yang lebih dikenal dengan sebutan Sayyidah.
Setelah ayahnya syahid, Imam Hadi as. hidup dalam suasana yang penuh kekangan yang diwujudkan oleh Mutawakil Al-Abasi. Dengan mengadakan penyerangan dan penghancuran terhadap kuburan Imam Husein as., para pengikut Syi’ah hidup lebih terkekang dan merasa ketakutan dari pada masa-masa sebelumnya. Ia dengan tujuan ingin mengasingkan Imam Hadi a.s. dari mereka dan dapat mengontrolnya dengan seksama., memerintahkan untuk memindahkan Imam as. ke Samirra`.
Mutawakil pernah memerintahkan Yahya bin Hurtsumah, salah seorang komandan pasukannya untuk menggeledah rumah Imam Hadi as. barangkali dapat ditemukan bukti-bukti atas usahanya mengadakan perlawanan terhadap pemerintah yang dapat dijadikan tuduhan untuk menjatuhkan hukum terhadapnya.
“Telah kugeledah rumah Imam Hadi dan aku tidak menemukan di dalamnya kecuali Al Quran, kitab-kitab doa dan ilmu pengetahuan”, cerita Yahya bin Hurtsumah.
Dengan situasi yang sangat mengekang tersebut, Imam Hadi as. masih sempat untuk memperkuat benteng pertahanan di dalam diri masyarakat sehingga mereka dapat menghadapi situasi dengan tegar dan pantang menyerah. Khumus, zakat dan pajak-pajak yang diserahkan oleh para pengikutnya masih tetap sampai ke tangan Imam a.s., baik secara diam-diam maupun terang-terangan guna disalurkan demi kepentingan pergerakan melawan pemerintah sehingga perlawanan tersebut tetap hidup bernyawa.
Ia syahid pada tahun 254 H. di usianya yang ke-42 tahun. Ia diracun oleh Mu’tazz, salah seorang khalifah dinasti Abasiyah yang dilakukan langsung oleh Mu’tamid Al-Abasi.
Pemberontakan-pemberontakan yang dipelopori oleh keturunan Ali as.
Salah satu kekhawatiran yang menghantui para penguasa dinasti Bani Abasiyah yang lalim saat itu adalah pemberontakan-pemberontakan yang dipelopori oleh keluarga Ali as. Mereka menghadapi pemberontakan-pemberontakan tersebut dengan serius dan tegas sehingga ia tidak sempat berkembang dengan pesat. Ketika berhasil menangkap para pemberontak, mereka langsung disiksa dengan siksaan yang sangat amoral dan tidak perikemanusiaan. Hal ini mereka lakukan karena mereka merasa mulai melemah akibat permainan politik yang telah mereka lakukan selama ini. Demi mencegah meluasnya pemberontakan-pemberontakan yang muncul, mereka terpaksa harus menggunakan cara-cara di atas.
Sikap Imam Hadi as. dalam Menghadapi Kaum Ghulat
Dalam menghadapi kaum Ghulat yang menjadikan para imam as. sebagai Tuhan, mereka memiliki satu sikap yang jelas dan tegas. Imam Hadi as. pernah berkata: “Kekufuran berdiri di atas empat tonggak penyangga: kefasikan, ghuluw (sikap berlebih-lebihan dalam mencintai Ahlul Bayt as.–pen.), keraguan dan selalu menyimpan syubhah (baca : menciptakan kritik-kritik tak logis dengan tujuan untuk mempertanyakan keabsahan agama–pen.)”. Mereka selalu berusaha memahamkan kepada umat bahwa diri mereka tidak memiliki hubungan apa pun dengan para pemimpin Ghulat. Mereka adalah pembohong besar. Mereka berani membuat hadis-hadis palsu dan mengatasnamakan para imam as.
Membuat hadis-hadis palsu dengan mengatasnamakan para imam as. –dari satu sisi– dapat merekrut pengikut bagi mereka dan –dari sisi lain– dapat membantu mereka dalam merusak syari’at. Demi mementahkan propaganda mereka ini, para imam as. selalu menjelaskan sikap mereka yang tegas berkenaan dengan mereka dan mengenalkan hadis-hadis yang telah mereka rekayasa kepada masyarakat umum.
Sikap Imam Shadiq as. yang tegas ini telah berhasil memadamkan pergerakan kaum Ghulat. Akan tetapi, pada masa Imam Hadi as. –karena melihat kesempatan yang baik– mereka mulai muncul kembali untuk mempropagandakan keyakinan-keyakinan mereka.
Di antara pemimpin-pemimpin kaum Ghulat yang pernah dilaknat oleh Imam Hadi as. adalah Hasan bin Muhammad yang juga dikenal dengan sebutan Ibnu Baba dan Muhammad bin Nushair bin Hatim Al-Qazwini. Muhammad bin Nushair mempercayai tanaasukh (keyakinan bahwa ruh para imam as. –setelah mereka meninggal dunia– akan berpindah kepada manusia yang masih hidup–pen.) para imam as. dan menganggap dirinya sebagai utusan Imam Hadi as. Di samping itu, ia juga berani menghalalkan hal-hal yang diharamkan oleh syari’at.