ICC Jakarta – Hanya dengan membaca Alquran belum tentu seseorang paham maksud dibalik setiap firman Allah. Bahkan, untuk seorang yang mengerti bahasa Arab sekalipun, tak menjamin ia memahami kandungan Alquran yang kaya makna. Apalagi, unruk sebagian besar Muslimin yang hanya membaca terjemahan. Jika tak bingung, bisa jadi ia akan sesat memahaminya.
Di sinilah fungsi tafsir sebagai penjelas Alquran. Banyak ilmu yang mesti dipahami dibalik firman Allah yang agung, di antaraya, hadis Rasulullah, asbabun nuzul, dan nasikh-mansukh ayat, Arab klasik, balaghah Arab, ilmu ma’ani, ilmu bayan, qiraah, usul fikih, dan masih banyak ilmu lain yang mustahil dipahami Muslimin awam. Karena itulah, ulama hadir untuk meramunya, kemudian menghasilkan interpretasi Alquran bernama tafsir.
Banyak karya tafsir yang dihasilkan ulama, baik ulama klasik, hingga modern. Kita mengenal Tafsir At-Tabari, Tafsir ibn Katsir, Tafsir As Suyuthi, Tafsir As-Sa’di, dan sebagainya. Karya tafsir ulama tersebut masih sering menjadi rujukan hingga kini. Tapi, mulanya tak ada tafsir pada era Rasulullah.
Mengingat, para sahabat kala itu dapat langsung bertanya pada Rasulullah terkait makna ayat. Baru, pada abad kedua atau ketiga Hijriyah, ilmu tafsir dianggap sangat penting menyusul mulai banyaknya Muslimin yang salah memahami Quran. Apalagi, saat itu bacaan Alquran pun mengalami banyak salah lisan karena tulisan yang gundul. Hingga, kemudian Abul Aswad ad-Dualy membuat kaidah i’rab Arab yang memberikan harakat pada bahasa Arab.
Setelah ditemukannya i’rab tersebut, muncul periode tafsir Quran. Kala itu, ulama membuat sebuah acuan dalam menafsirkan firman Allah, yakniUlumul Quran. Itulah sumber induk yang berisi tentang ilmu-ilmu Alquran. Ulmul Quran terus mengalami perkembangan mengingat banyaknya ilmu Alquran.
Sejak adanya Ulumul Quran, tafsir terus berkembang di tanah Arab dan wilayah kekuasaan Islam. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Meski jarak Indonesia amat jauh dari Tanah Suci, ilmu tafsir telah dikenal masyarakat Muslim nusantara sejak abad ke-17 Masehi. Hanya saja, perkembangannya amat lamban, hingga baru pesat berkembang di abad ke-20.
Kiki Muhammad Hakiki dari IAIN Raden Intan Banten dalam artikelnya “Peta Perkembangan Tafsir Alquran di Indonesia Sebelum Abad ke-20” dalam buku kumpulan artikel terbitan Litbang Kemenag Alquran di Era Global; antara Teks dan Realitas menuturkan, tafsir Alquran sebelum abad ke-20 masih terbilang langka, hanya beberapa saja yang ditemukan.
Hal ini sangat berbeda dengan era setelah abad ke-20 di mana perkembangan tafsir Alquran di Indonesia amat pesat. Pasalnya, di era sebelum abad 20, tafsir tak mendapat perhatian khusus dan justru menjadi materi pelajaran yang tinggi dan berat.