Kemulian Nabi di Mata Imam Ali as dalam Nahjul Balaghah
ICC Jakarta – Haul Rasulullah saw yang diperingati pada sabtu malam, 26 Oktober 2019, di ICC Jakarta, bersama Pimpinan Jami’ah al-Mustafa Internasional, Ayatollah Ali Reza A’rafi. Saya rasa di dalam catatan Anggota Syurae Negahban (Dewan Wali Iran) ini banyak poin penting yang ingin beliau sampaikan. Namun waktu sendiri membatasi beliau untuk menyampaikan antara lain darinya, kepada hadirin yang datang dari berbagai wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Dalam hemat saya, Ayatollah di dalam ceramahnya terlihat semangat dan lantang. Dengan penjelasan yang sederhana dalam mengutip riwayat-riwayat terkait. Satu persatu poin-poin disampaikan dengan kalimat-kalimat singkat, namun sangat luas dan dalam jika beliau jabarkan. Seorang alim seperti beliau yang sangat menguasai materi, memang perlu “dipantengi” terus untuk memperoleh siraman-siraman ilmu dari beliau.
Ada sebagian yang terlewat oleh saya, dan beberapa poin yang saya dapat dari penjelasan beliau dengan mengutip kalimat-kalimat Imam Ali, di dalam peringatan haul Rasulullah saw, adalah berikut:
Pentingnya Peranan Keluarga
Poin pertama, mengenai pentingnya peranan keluarga bagi setiap generasi. Dipetik dari sebuah keutamaan yang dimiliki Rasulullah, bahwa beliau saw dilahirkan dari keluarga para pendahulunya, dari Adam, Ibrahim sampai kepada ayahnya (Abdullah bin Abdul Muthalib). Mereka adalah pribadi-pribadi yang suci dari keluarga-keluarga yang jauh dari keburukan. Intinya, keluarga lah yang melahirkan orang-orang besar.
Di dalam psikologi dan antropologi pun diterangkan, bahwa keluarga berperan penting dan sangat berpengaruh bagi generasi-generasi penerus. Sampai kepada kita, baik dan buruknya kita membawa efek bagi anak cucu kita.
Dapat dirujuk di dalam Nahjul Balaghah, Khutbah 94, penjelasan Imam Ali tentang pribadi agung Rasulullah saw dan dalam mensifati para pendahulu beliau, bahwa mereka adalah pribadi-pribadi suci yang jauh dari keburukan.
Sampai di sini, sedikit tambahan dari penulis dalam menalar poin ini, ialah dari penjelasan Imam Khamenei, yang kira-kira demikian bahwa ada keutamaan-keutamaan personal manusia suci, yang mustahil bisa dimiliki atau diteladani oleh kita. Misal, keutamaan khusus Sayidah Fatimah, bahwa beliau adalah penghulu kaum wanita seluruh alam, al-batul dan sebagainya. Yang dapat kita teladani dari keutamaan-keutamaan mereka, di antaranya ialah prilaku dan nilai-nilai impersonal yang ada pada mereka.
Akhlak nan Agung di Tengah Masyarakat Jahiliyah
Poin kedua, akhlak agung Rasulullah saw yang diabadikan di dalam Alquran: وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ; Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS.Al-Qalam 4). Bahwa, di masa beliau adalah masa kegelapan jahiliyah. Di tengah masyarakat yang dalam kebodohan dan dekadensi moral, beliau mampu mengubah kondisi yang gulita itu menjadi masa kecermelangan dan kemajuan peradaban.
Dari apa yang dilukiskan Imam Ali, setidaknya ada tiga kegelapan yang meliputi masyarakat jahiliyah di masa itu, yaitu bahwa mereka jauh dari:
1-Nilai-nilai keilmuan; mereka buta huruf dan dalam kepercayaan atas taqlid buta.
2-Nilai-nilai kemanusiaan; prilaku mereka tidak manusiawi (seperti mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup,-penulis).
3-Nilai-nilai ketuhanan; mereka memuja berhala. Ka’bah (yang dibangun atas ketauhidan oleh Nabi Ibrahim as) di masa itu dipenuhi dengan patung-patung berhala.
Namun kemudian, dalam kegelapan-kegelapan jahiliyah tersebut beliau terangi masa yang tiada kasih sayang di antara mereka itu, dengan akhlaknya yang penuh kasih sayang terhadap umat manusia. Agungnya akhlak Rasulullah saw memikat masyarakat dan mereka menaruh kepercayaan penuh kepada beliau. Kemampuan memecah semua kegelapan itu (dalam masa risalah beliau yang singkat) adalah sebuah mukjizat besar Rasulullah saw (yang dapat kita saksikan kini).
Banyak tema dari ungkapan Imam Ali tentang kekasihnya, Rasulullah saw, yang dapat diangkat di antaranya:
1-Akhlak agung Rasulullah saw.
2-Kesabaran yang luar biasa di atas kesabaran Para Nabi ‘Ulul Azmi.
3-Keberanian beliau yang tak tertandingi oleh siapapun yang pemberani. Imam Ali sendiri yang tak diragukan sifat keberaniannya menggetarkan semua lawan-lawan yang pemberani, mengakui bahwa keberaniannya adalah karena keberanian Rasulullah saw.
Pada saat ajal Rasulullah saw telah dekat, diterangkan dalam riwayat-riwyat terkait bahwa beliau bersandar di dada Imam Ali hingga beliau wafat. Jibril as ketika itu datang dan menyampaikan kepada Rasulullah bahwa malaikat maut mohon izin kepada beliau. Seandainya beliau tidak mengizinkannya, dia akan pergi. Pada akhirnya, beliau wafat dan para malaikat pun turun dari langit. Mereka berdatangan secara berkelompok untuk bertakziyah di sisi jenazah suci nan agung Sang Penutup Nabi saw.